Kita adalah pemimpin. Seorang ayah pemimpin bagi keluarganya. Seorang guru pemimpin bagi murid-muridnya. Pemimpin adalah pembimbing. Dalam istilah ilmu manajemen, pemimpin diartikan sebagai seseorang yang mampu mempengaruhi orang lain, sehingga orang lain tersebut mau mengerjakan apa yang diminta oleh seseorang tersebut. Sedangkan keteladanan dapat berarti menjadi contoh yang baik, bagi orang lain. Pemimpin teladan yaitu pemimpin yang mampu mensinergikan antara perkataan danperbuatan. Keberhasilan para pemimpin adalah ketika mereka menyeru dengan perbuatan. Orang tidak akan mempercayai seorang pemimpin dan sulit untuk menerima perkataannya ketika ia hanya pandai berkonsep (berucap), tanpa berani mempertanggungjawabkan ucapannya dalam bentuk perbuatan .
Baca juga: (Ngantri itu Santri)
Keteladan adalah harga mati bagi seseorang pemimpin, karena ia adalah panutan bawahanya. Maka di sinilah fungsi sebagai pemimpin harus dilaksanakan. Pertama, sebagai pembimbing dan konsultan. Fungsi sebagai pembimbing yang dimaksud adalah seorang pemimpin mampu memposisikan dirinya sebagai teman hidup, teman bergaul, dan tempat berkeluh atau berkesah. Sedangkan fungsi sebagai konsultan berarti seorang pemimpin harus sering berkomunikasi dengan orang-orang yang dipimpinnya. Dia harus siap menerima konsultasi bawahannya dan dimintai solusi setiap punya masalah, sehingga akan merasa tenang. Kedua, sebagai pelindung. Seorang pemimpin harus mampu menjadi benteng bagi bawahannya, menjaga ketenteraman dan ketengannya. Ketiga, sebagai motivator yang mampu mengobarkan api semangat yang menyala, memacu dan memotivasi satu dengan yang lainnya untuk berlomba-lomba dalam meningkatkan prestasi dan menjadi teladan bagi teman-temannya.
Bagaimana Pemimpin Teladan di Pesantren?
Untuk dapat melihat peta kepemimpinan yang baik atau tidak bisa kita ambil contoh kepemimpinan dalam sudut sempit, semisal pesantren. Pesantren merupakan tempat belajar santri, baik yang senior maupun yang junior. Di pesantren santri diajarkan bagaimana bertindak menjadi pemimpin dan yang dipimpin. Pemimpin di pesantren adalah pengurus yang telah diberi amanah untuk menjadi “kepanjangan tangan” pengasuh (kyai).
Tak jarang kita jumpai pengurus pesantren yang bertindak semena-mena dalam mendidik santri. Mereka lebih memilih cara anarkis dalam mananamkan “nilai-nilai kepesantrenan”. Padahal kalau cara yang lembut masih bisa dilaksanakan mengapa harus memilih yang kasar? Pengurus yang kasar cenderung ditakuti bukan disegani. Membangun kesadaran santri dengan kekerasan akan sangat sedikit pengaruhnya. Pelanggaran terhadap peraturan akan tetap marak, jika ditangani dengan kekerasan.
Pengurus yang cara bertindaknya keras atau kasar, sering kali diawali atas dasar “balas dendam” saat dirinya masih menjadi santri yang pernah dikasari oleh seniornya dulu. Kalau sudah seperti itu, sungguh mengenaskan pesantren memiliki pemimpin yang seperti itu, jauh dari harapan masyarakat bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan terhormat yang nantinya diharapkan mampu “melahirkan” pemimpin teladan untuk mengayomi dan mendidik masyarakat dengan kebaikan akhlaknya: mampu mensinergikan antara perkataan dan perbuatan, sebagai bukti ketinggian dan kemapanan ilmunya. Pemimpin yang menjadi uswah (teladan) dalam kehidupan yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Pemimpin yang tidak hanya cerdas intelektual, yang dengannya ia pandai beretorika, punya sejuta konsep kehidupan yang hadir dari lisan-lisan mereka dan diaktualisasikan lewat kehidupan keseharian.
Seorang pemimpin (baca: pengurus pesantren) dengan keteladanannya akan mampu memotivasi bawahannya (baca: santri). Mereka akan meneladani apa yang dilakukan oleh pengurus. Seorang pengurus dijadikan barometer oleh santri dalam bertindak. Sebaliknya, jika ia gagal memberikan teladan bagi santri, maka mereka akan kurang termotivasi dalam bertindak. Mereka seperti kehilangan arah dan bertindak semaunya. Itulah sebabnya seorang “ayah” gagal melarang “anak”-nya merokok pada saat ia juga tidak bisa berhenti merokok. Karena itulah pengurus seharusnya memberikan contoh yang baik dalam kehidupan santri. Sebenarnya memberikan contoh teladan itu merupakan hal yang mudah, namun “menjadi” contoh teladan itulah yang sulit.*