Hujjah Aswaja : Perjamuan Makanan dalam Acara Tahlilan

Perjamuan Makanan dalam Acara Tahlilan

Dalam setiap pelaksanaan tahlilan, tuan rumah memberikan makanan kepada orang-orang yang mengikuti tahlilan. Selain sebagai sedekah yang pahalanya diberikan kepada orang yang telah meninggal dunia, motivasi tuan rumah adalah sebagai penghormatan kepada para tamu yang turut mendoakan keluarga yang meninggal dunia.

Dilihat dari sisi sedekah, bahwa dalam bentuk apapun, sedekah merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Memberikan makanan kepada orang lain adalah perbuatan yang sangat terpuji. Sabda Nabi SAW:

عَنْ عُمَرِوبْنِ عَبَسَةَ قَاَل أَتَيْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمْ فَقُلْتُ يَا رُسُوْلُ الله مَاالْإِسْلاَمُ قَالَ طِيْبُ الْكَلَامِ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ (رواه احمد،١٨٦١٧)

“Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasul menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR. Ahmad [18617]).

Kaitannya dengan sedekah untuk mayit pada masa Rasulullah SAW, jangankan makanan, kebun pun (harta yang sangat berharga) disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada si mayit. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أٌمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا (رواه الترمذي، ٦٠٥)

“Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, ‘Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya, “Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan mensedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR. Tirmidzi [605]).

Baca Juga : (Jenggot, Celana Cingkrang dan Cadar dalam Perspektif Syariah)

Ibnu Qayyim al-Jawziyah dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istighfar, doa dan haji. Adapun pahala membaca Al-Qur’an secara sukarela dan pahalanya diberikan pada si mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa dan haji.” (Ibnu al-Qayyim, al-Ruh, hal. 142).

Jika kemudian perbuatan tersebut dikaitkan dengan usaha untuk memberikan penghormatan kepada para tamu, maka itu merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Sabda Rasulullah SAW:

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فلا يؤذ جاره ومن كان يؤمن بالله واليوم الأخر فليكرم ضيفه ومن كان يؤمن بالله واليوم الأخر فايقل خيرا أو ليصمت (رواه مسلم، ٥٥٥٩)

“Dari Abi Hurairah, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hormatilah tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata dengan kebaikan atau (jika tidak bisa), diam.” (HR. Muslim [5559]).

Seorang tamu yang keperluannya hanya urusan bisnis atau sekedar ngobrol dan main catur harus diterima dan dijamu dengan baik apalagi tamu yang datang untuk mendoakan keluarga kita di akhirat, sudah seharusnya lebih dihormati dan diperhatikan. Hanya saja, kemampuan ekonomi harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tidak boleh memaksakan diri untuk melakukan acara tahlilan. Berhutang ke sana ke mari atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris lain. Hal tersebut jelas tidak dibenarkan. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya perjamuan itu diadakan ala kadarnya.

Lain halnya jika memiliki kemampuan ekonomi yang sangat memungkinkan. Selama tidak israf (berlebih-lebihan dan menghamburkan harta) atau sekedar menjaga gengsi, suguhan istimewa yang dihidangkan, dapat diperkenankan sebagai suatu bentuk penghormatan serta kecintaan kepada keluarga yang telah meninggal dunia.

Dan yang tak kalah pentingnya masyarakat yang melakukan tahlilan hendaknya menata niat di dalam hati bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata karena Allah SWT. Dan jika ada bagian dari upacara tahlil itu yang menyimpang dari ketentuan syara’ maka tugas para ulama untuk meluruskannya dengan penuh bijaksana.

 

Related Post