*Penulis: Achi Walfi
Penulis adalah salah satu siswa kelas X SMA Nuris Jember*
Terik matahari membakar mahkot. Di tengah angin aku berlari mesra. Bersama kawan tak berasa tak peduli. Aku disini mengais kehidupan untuk yang kucintai.
Aku berlari menembus angin mengejar teman-temanku, di lantai lunak beratap awan. Waktu aku ingin menangkap salah satu dari mereka, tiba-tiba saja aku terpeleset. Baju putih kebanggaan yang ku pakai ternoda oleh hitamnya lumpur pembawa rezeki dan rok abu-abu inipun berubah berwarna coklat lumpur. Tiba-tiba saja aku teringat orang yang paling kucintai di rumah karena langit mulai berkaca-kaca. Aku berlari mengiring bebek-bebek milik pakde Fiki dengan penuh keringat jatuh bangun hingga tibalah aku di istana bambu penuh kehangatan.
**
“Selamat pagi, perkenalkan ini Guntur pindahan dari Jakarta”. “Pagi”, sapa lelaki berwajah sombong sambil tersenyum manis.“Guntur silahkan duduk di samping Sabrina”
Terjadi kesunyian diantara kita berdua, ya antara aku dan Guntur. Wajahnya yang manis namun terlihat sombong membuatku tersedak saat ingin menyapanya dan sepertinya dia juga merasakan kalau senyumku tidak disertai dengan ketulusan.
Matahari mulai beranjak dari singgasananya, menandakan bahwa aku harus kembali. Dalam sunyinya perjalan aku mengingat kejadian kemarin yang membuat sepatuku rusak. Bagaimana aku bisa mendapatkan sepatu baru? Berpikir-berpikir dan terus berpikir tapi hanya ruang gelap dan hampa yang terbayang di ujung otakku hingga aku tiba di tujuan. Sunyinya rumahku membuatku sedikit tenang.
“Sudah kembali sayang?”
“Iya,”
“Ayo ke dapur”
“Iya, bu”
Sekali lagi, setelah makan siang aku mengingat sepatuku yang rusak dan kujemur di belakang rumah. Warna hitam yang dulu pekat kini tlah memudar, alas rebawahnyapun telah mengelupas bagaikan kulit pisang lepas dari dagingnya.
**
Kubuka lembar baru dalam bulan ini. Mentari bersinar indah, bunga-bunga menyapa sepanjang jalan. Langkah demi langkah kupijak menuju sebuah gudang ilmu di sebuah desa di seburang.
Putih abu-abu menghiasi pandangan. Suara gemuruh ilmu terasa di telinga. Buku-buku indah tertata menghadang. Membuat kalbu tergetar keinginan meraba. Menyentuh membuka lalu kupandang lama. Menjadikanku lebih tinggi dari berbagai kalangan.Kulangkangkahkan kakiku menuju sebuah ruangan diujung sekolah.
“Mengapa kamu tidak memakai sepatu, Sabrina?” tanya guruku.
“Sepatu saya rusak, Bu”
“Baiklah, besok saya mau liat kamu memakai sepatu”
“Baik, Bu”
Setelah aku mendengar perkataan guruku itu, aku mulai bingung apa yang harus aku lakukan. Aku tidak mungkin meminta sepatu baru pada ibu. Di tengah lamunanku tiba-tiba guruku mengumumkan sesuatu kalau ada lomba matematika yang berhadiah 500.000,00. Disini aku mulai tersenyum.
**
(Baca juga: Pelepah Pisang)
Aku tidak mengatakan apa-apa pada ibuku. Di rumah aku hanya belajar dan makan, bahkan aku tidak membantu ibuku sama sekali. Tetapi anehnya, ibu tidak menanyakan apapun tenyang itu padaku. Selesai belajar aku pergi menuju rumah pakde Fiki. Melewati jalan berlubang terhantam sinar matahari dan melawan angin hingga aku tiba di rumah pakde Fiki. Karena sudah kenal, aku langsung mengambil bebek sendiri. Setelah siang berlalu akupun mengembalikan bebek ini di istananya.
**
Hari demi hari aku lewati begitu saja, dengan rasa lelah yang teramat aku rasakn hingga tiba dimana hari ini adalah hari lomba matematika di sekolahku. Aku mengambil nomor dan memasuki ruangan. Di ruangan ini aku melihat siapa saja temanku yang mengikuti lomba ini, bahkan Guntur si anak barupun juga ikut mencoba lomba ini.
Aku terdiam menatap angka-angka ini. Ia bagaikan menari di otakku dan menantangku untuk menyelesaikannya. “Baiklah, akan aku selesaikan” gumamku dalam hati. Ketika aku selesai mengisi semua soal, bunyi bel terdengar menandakan waktu telah habis. Aku kemudian keluar mencari ibuku yang tadi ikut. Ketika aku sungkem mencoba menghirup bau surga, terdengar suara guruku yang akan segera mengumumkan hasilnya setelah 30 menit berlalu. Disaat itulah emosiku memuncak, berpikir bagaimana kalau bukan aku pemenangnya, apa yang akan terjadi selanjutnya?
“Dan untuk pemenang lomba matematika jatuh kepada ananda Sabrina,”
Aku menangis mendengar semua itu, apa itu benar yang ku dengar?
Aku menangis, dan bersyukur karan dengan ini aku bisa memiliki apa yang seharusnya aku miliki.