Shalat Gaib

Soal:

Ketika seorang ulama besar dan karismatik dipanggil pulang ke rahmatullah, seluruh umat akan merasa kehilangan panutannya. Sebagai rasa turut berduka dan belasungkawa, kaum muslimin yang tidak sempat melakukan shalat jenazah secara langsung, biasanya melakukan shalat ghaib untuk mengantar kepulangan beliau kepangkuan Ilahi. Bagaimana hukum melakukan shalat ghaib tersebut?

Jawab:

Shalat ghaib adalah shalat jenazah yang jenazahnya tidak berada di hadapannya, tapi berada di lain tempat. Bisa jadi berada di desa lain ataupun dinegara lain. Nabi Muhammad SAW pernah melaksanakan shalat ghaib. Dikisahkan dalam sebuah Hadits:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِيْ الْيَوْمِ الَّذِيْ مَاتَ فِيْهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا. (صحيح البخارى.رقم ١١٦٨)

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA,”Sesungguhnya Nabi SAW memberitahukan kepada kaum muslimin tentang wafatnya Raja Najasyi pada hari meninggalnya Raja Habasyah tersebut. Lalu beliau berangkat ke mushalla bersama orang-orang. Para sahabat membuat shaf (di belakangnya) dan Nabi SAW pun bertakbir empat kali.” (Shahih al-Bukhari, [1168])

(Baca juga: Hujjah Aswaja : Al-Barzanji Pengarang Sholawat Al-Barzanji)

Hadits diatas secara tegas menjelaskan bahwa shalat ghaib itu termasuk sunnah Rasul. Maka, tidak ada alasan untuk melarangnya, dan hendaknya kita sebagai umat mengikuti jejaknya. DR. Muhammad Bakr Ismail mengatakan:

تَجُوْزُ صَلَاةُ الْجَنَازَةِ عَنِ اْلغَائِبِ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ وَكَثِيْرٍ مِنَ عُلَمَاءِ الْحَنَابِلَةِ فَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم صَلَّى عَلَى النَّجَاشِيِّ مَلِكِ الْحَبَشَةِ حِيْنَ عَلِمَ بِمَوْتِهِ. وَصَلَّى عَلَى زَيْدٍ بْنِ حَارِثَةَ وَجَعْفَرٍ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا حِيْنَ عَلِمَ اسْتِشْهَادَهُمَا بِمَوْتِهِ (وَهِيَ اِسْمُ مَكَانٍ وَقَعَتْ فِيْهَا مَعْرَكَةٍ حَامِيَةٌ وَغَيْرُ مَتَكَافِئَةٍ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالرُّوْمِ. (الفقة الواضح من الكتاب والسنة، ج ا ص ٤١٧)

“Kalangan Syafi’iyah dan banyak dari ulama Hanbali membolehkan shalat ghaib. (Hal ini) Telah terbukti bahwa Rasulullah SAW melaksanakan shalat ghaib untuk Raja Najasyi, penguasa negeri Habasyah ketika beliau mendengar kabar tentang kematiannya. Rasulullah SAW juga melakukan shalat ghaib untuk Zaib bin Haritsah dan Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahu anhuma ketika beliau mendengar bahwa keduanya telah gugur sebagai syahid di Mu’tah (yakni nama daerah tempat berkecamuknya peperangan yang dahsyat. Di mana jumlah kaum muslimin tidak seimbang dengan bala tentara Romawi).” (Al-Fiqh al-Wadhih min al-Kitab wa al-Sunnah, juz I, hal 417)

Namun demikian, shalat ghaib tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi untuk bolehnya shalat ghaib. Yakni dengan syarat sulitnya untuk datang melakukan shalat mayyit. Syaikh Nawawi dalam kitabnya Nihayah al-Zain menyatakan:

وَالْمُتَّجَهُ أَنَّ الْمُعْتَبَرَ الْمَشَقَّةُ وَعَدَمُهاَ. فَحَيْثُ شَقَّ الْحُضُوْرُ وَلَوْ فِي اْلبَلَدِ لِكَبِرِهَا وَنَحْوِهَا صَحَّتْ. فَحَيْثُ لاَ وَلَوْ خَارِجَ الْسُّوَرِ لَمْ تَصِحَّ كَمَا نَقَلَهُ الشِّبْرَامَلِّيسِيْ عَنْ ابْنِ قَاسِمٍ، فَلَوْ كَانَ الْمَيِّتُ خَاِرجَ السُّوَرِ فَهُوَ قَرِيْبًا مِنْهُ فَهُوَ كَدَاخِلِهِ. وَاْلمُرَادُ بِالْقُرْبِ هُنَا حَدُّ الْغَوْثِ.(نهاية الزين فى إرشاد المبتدئين، ١٦٠)

“Menurut pendapat yang muttajah (yang dianggap kuat), bahwa yang diperhitungkan dalam kebolehan shalat ghaib adalah ada atau tidak adanya masyaqqah (kesulitan). Maka, ketika ada kesulitan untuk menghadiri shalat jenazah, sekalipun dalam satu daerah, karena daerahnya terlalu luas atau lainnya, maka sah melakukan shalat ghaib. Jika tidak ada kesulitan, sekalipun diluar daerah, maka tidak sah. Sebagaimana dikutip oleh al-Syabramallisidari Ibn Qasim. Maka andaikata ada mayyit yang ada di luar daerah tapi masih dekat, maka dianggap masih di dalam daerahnya. Yang dimaksud dengan dekat di sini adalah batas jangkauan suara oarang berteriak.” (Nihayah al-Zain,160)

Paparan di atas mengantarkan kita pada kesimpulan, bahwa shalat ghaib hukumnya boleh selama memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan seperti mayyit berada di daerah lain yang sulit dijangkau sebagaimana yang dilaksanakan Rasulullah SAW untuk Raja Habasyah.

 

Related Post