*Penulis: Afifah
Penulis adalah salah satu siswa SMA Nuris Jember
“Ma, aku tidak mau pergi. Apalagi sampai masuk pondok!”
Perkataan itu baru saja keluar dari bibir Nadia. Saat itu mega merah mulai tenggelam di sore hari dan langit merah menyelimuti petang hari.
“Kamu tetap harus pergi!”
Mama bukannya tak peduli dengan keinginan gadisnya itu, tetapi tekad perempuan itu sudah utuh dan tak bisa untuk diubah. Apalagi Nadia terkenal dengan ulah usilnya sehingga banyak dibenci tetangga. Maka pesantren bisa menjadi jawaban untuk mengubah perangai perempuan itu.
Sore yang berisi obrolan tak hangat itu segera pergi. Secepat fajar terbit di ufuk timur. Nadia pun menggenakan pakaian yang terasa aneh, bagaimana tidak ia membukus rapi lekuk tubuhnya dengan rapi, tak lupa berjilbab agak panjang.
Tetapi, pakaian itu hanya sementara. Sebab ketika Mama sudah tak terlihat batang hidungnya. Perempuan yang memiliki lesung pipit itu segera melepas jilbanya.
“Pakai jilbabmu!”
Nadia langsung mencari asal suara, tetapi ia yakin jika suara itu bukan suara Mama.
“Ustazah…”
Nadia gelapan memanggil perempuan yang langsung berusaha menata jilbabnya kembali.
Melihat hal tersebut, Nadia langsung memalingkan wajah dan berkata, “Jangan sok ngatur hidupku deh!”
Ustazah yang bernama Alivia itu memeras sabar.
“Hidup di pondok artinya kamu harus komitmen dengan segala peraturannya. Jika tidak kamu bisa mendapat sanksi.” Jelas Ustazah Alivia.
“Dan aku nggak takut dihukum!” sahut Nadia sangat jelas.
Perkataan perempuan itu membuat seluruh teman-teman yang nantinya sekamar dengannya langsung ke luar dan mencari asal keributan.
Sontak pandangan santri di wilayah Dalbar langsung tertuju pada Nadia. Untungnya salah satu santri segera meraih tangan Nadia dan membawa ke kamar mandi.
“Kamu santri baru kan?”
Nadia mengangguk.
“Aku Naila.”
Mereka langsung berkenalan. Nadia bahagia dengan mendengar suara lembut Naila hingga tak terasa semua perkataan dari perempuan berkerudung pink itu diikutinya.
Hari demi hari mereka lewati bersama. Naila pun semakin tahu sifat asli Nadia. Waktu itu, Naila sedang mengikuti lomba di luar pesantren hingga ia tidak ikut salat Isya di masjid. Dan ketika ia masuk kamar Naila menemukan Nadia yang berusaha membobol lemari santri lain.
“Apa yang kamu lakukan?”
“Apa yang kamu lihat sekarang? Sekalipun kita dekat, kamu nggak bisa ngatur-ngatur hidupku!”
Naila hanya bisa mengelus dada. Ia tak menyangka Nadia akan berlaku seperti padanya. Hanya saja perkataan kasar Nadia itu membuat basah pipihnya. Segera perempuan itu berlari ke kamar mandi. Belum genap tangisan Naila kering, ia dikejutkan suara ketokan yang begitu panjang.
“Cepat keluar! Gantian!”
Naila menyelesaikan tangisnya. Ia segera keluar dari kamar mandi, tak hanya itu orang yang memakai kamar mandi sebelah juga ikut keluar. Betapa terkejutnya Naila, ketika orang yang keluar dari kamar mandi adalah Ustazah Alivia.
“Jadi, santri itu harus sopan.” Ucap pengasuh kamar Naila dan Nadia itu.
“Jangan sampai diulangi lagi ya!” lanjut Ustazah Alivia kemudian. Sehabis tragedi di kamar mandi. Nadia dan Naila langsung kembali ke kamar, teman-teman santri ke kamar masing-masing. Ustazah Alivia juga langsung memulai pelajaran mengkaji kitab.
“Ustazah kenapa lemariku rusak ya?” tanya salah seorang santri.
Mendengar itu Naila langsung teringat ulang Nadia. Tetapi perempuan itu tak enak hati jika mengatakan yang sebenarnya.
“Tadi saya lihat Naila merusak lemarimu.”
Nadia langsung bersuara di balik pintu kamar tanpa sedikit pun berucap salam.
“Allah.”
Ustazah Alivia menjerit memanggil nama Allah.
“Kamu jangan menuduh sembarangan.”
“Jika Ustazah tak percaya silakan cek lemari Naila.”
Ustazah Alivia segera menyuruh Naila membuka lemarinya, kemudian perempuan yang menyukai warna putih itu segera menggeledah setiap sudut lemari Naila.
“Apa ini?” tanya Ustazah Alivia setelah menemukan dompet yang didalamnya terdapat foto Nazil.
“Itu punya saya, Ustazah.” Aku Nazil, “Jadi, kamu pencurinya!” Lanjut Nazil sambil menatap mata Naila dengan garang.
Naila langsung mengelak tuduhan itu, tetapi bukti sudah ada di lemarinya.
“Kalau Naila butuh tambahan uang bilang. Jangan mencuri, Nai.”
Naila tak segera menjawab perkataan Ustazah Alivia, sungguh Naila tak menyangka jika semua teman-temannya tak percaya dengan dirinya.
***
Butuh waktu lama untuk bangkit dari keterpurukan. Begitu pun Naila, tetapi sekalipun ia tak bersuara kejadian yang sebenarnya. Perempuan itu yakin jika Nadia akan terbuka mata hatinya suatu ketika.
Sekalipun jarak Naila dan Nadia kian meregang, tetapi ia yakin suatu saat akan mendekat seperti semula. Di pondok, Naila juga kehilangan gairah. Apalagi sejak kejadian setahun lalu ia dituduh mencuri, tak ada lagi yang mendekat padanya.
Gairah Naila hampir habis. Puncaknya ketika ia jatuh pingsan dengan darah yang begitu banyak.
“Nai, kamu tidak apa-apa?”
Naila mencari asal suara, ia tak menyangka Nadia ada di dekatnya.
Senyum pun mengembang dari perempuan itu. Setelah itu gelap kembali menyelimuti tubuhnya.
Nadia langsung membopong Naila dibantu teman-teman santri yang lain untuk dibawa ke UKS. Petugas UKS meminta dikirimi ambulans. Nadia kebingungan melihat kondisi Naila. Ia tak tahu harus berbuat apa. Kecuali menangis.
Dan tangisan itu pula turut membasahi wajah Naila.
“Nai.. aku minta maaf.”
“Aku yang seharusnya minta maaf. Satu tahun aku menyimpan rasa malu untuk mengungkapkannya.”
“Kamu temanku yang baik.”
Nadia terisak, ia tak menyangka Naila masih menganggapnya teman.
Ambulan pun meraung-raung, rumah sakit segera terlihat. Tetapi nyawa Naila tak terselamatkan.
Nadia hanya menyambut dengan tangisan, apalagi Ustazah Alivia datang dan membawa buku harian Naila yang berisi surat tentang Nadia.
Nadia segera membaca surat itu.
Sahabatku, Nadia.
Sebelumnya aku minta maaf telah banyak salah kepadamu. Tujuanku ingin membuatmu menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Bukannya aku menjadi orang yang sok di depanmu, tetapi aku benar-benar peduli mulai kita pertama bertemu sampai saat ini.
Aku perhatian dengan kebiasaanmu karena tahu umur adalah rahasia Illahi. Bisa-bisa aku pergi ke Rahmatullah sebelum melihat tingkahmu berubah.
Maafkan aku.
(Baca juga: Filosofi Air)
Pesan itu singkat tapi cukup membuat banjir di mata Nadia. Bertepatan itu, Nadia juga didatangi Mama.
“Tadi Mama ke pondok dan mencarimu. Mereka bilang kamu ke rumah sakit ini. Makanya Mama segera ke sini.”
Melihat Mama, Nadia langsung teringat awal masuk pondok yang berlokasi di Antirogo ini. Jika bukan rencana Mama, ia tak mungkin bertemu dengan Naila yang sedemikian baik itu.
“Aku punya salah besar kepada almarhumah, Ma.”
Hanya kalimat itu yang keluar dari bibir Nadia.
“Semua orang bisa bersalah, tetapi tidak semua orang mengakui kesalahannya. Bagi Mama kamu adalah bunga yang menyerbak keharuman. Bunga Mama yang berubah menjadi santri sejati.”
Nadia mencoba tersenyum, sekalipun pahit sekali.