*Penulis : Ayu Novitasari
Tropis selalu melapisi pelipis. Angan yang dulu selalu berpegangan seakan lepas begitu saja. Senja yang selalu diajarkan terhapus oleh waktu dan keadaan. Termenung. Jari-jemari yang selalu melantunkan sajak-sajak impian, ikut terbawa ketidakinginan. Masih terbesit nyanyian layang, yang sempat terbayang. Jauh mata memandang garis tepi senja alam. Hanya tersisa kenangan.
Kini akan ku lantunkan nyanyian alam, bersama hujan yang berdatangan. Teringat akan awan yang telah ditanam. Meski kini sunyi menyelimuti diri. Aku duduk termenung menunggu sang kasih. Awan hitam tersenyum sinis, mendungpun terambing kebingungan. Akan angan yang tak kunjung datang, aku akan tetap menentang.
“ Aku punya tanaman!.” Ucapnya.
“ Tanaman apa?” Tanyaku sedikit menodong.
“Tanaman awan, aku ingin kau menanamnya, merawatnya, dan memetik hasilnya. Ambillah.”
Tak ku mengerti ini adalah hadiah istimewa yang pernah ku miliki. Senjapun tersenyum menyaksikannya. Burung, menari seakan turut bahagia. Ku belai halus tanaman awan yang ku pegang. Ia melangkah sedikit demi sedikit meninggalkanku dalam kebahagiaan. Kulihat jejaknya sedikit aneh.
“Tunggu! Akan ku tanam di mana tanaman awan ini?”
“Tanamlah dalam Hati dan Otakmu, maka ia akan tumbuh dengan cepat.”
“Jika aku tidak sanggup?”
“Pupuklah dengan kesabaran dan keikhlasan. Aku akan kembali.”
Iya lantas pergi meninggalkanku bersama tanaman awan. Bulan menampakkan batang hidungnya. Rupanya ia berhasil menangkap sinar matahari, kulihat bintang menari riang mengelilinginya. Perlahan angin meniup badannya dan aku terlelap bersama alam.
Tak menunggu waktu lama, tanaman awan sedikit demi sedikit tumbuh dan berkembang. Bersama senja aku selalu mendampingi tanaman awan ini. Sajak-sajak kegembiraan selalu memancar tanpa ada kekhawatiran. Detik jarum terus berdetak, hujan menutupi kebahagiaan senja, dan aku tetap terdiam.
Terharu, melihat tanaman awan tetap bertahan meski panas dan hujan terus melanda. Masih tetap dalam sajak ketenangan, kekhawatiran masih belum datang, dan aku masih terdiam.
(baca juga: Sepatu Putih)
Rindu terus menggumpal. Tanaman awan terus tumbuh tanpa diriny, aku masih belum beranjak dari keterdiamanku. Tak disangka perlahan kegelisahan merasuki diri. Tubuhku perlahan goyah akan kerinduan. Senja sedang malas, ia tidak menunjukkan batang hidungnya. Diriku semakin gelisah karenanya, apakah dia akan kembali, dan memetik hasil tanaman awan bersamaku. Aku masih berharap, rindu semakin membuat tubuhku hangat. Masih ku ingat sajak terakhirnya. Sajak yang selalu membuatku tetap bertahan bersama tanaman awan.
Kulirik jejaknya yang terakhir kali sudah hilang. Kekhawatiranku semakin terbang. Ingin berlari untuk menemui tubuhnya atau berlari untuk meninggalkan dunia. tetapi, sajaknya terngiang akan tanaman awan.
Merasa tidak kuat, aku bangkit dalam diamku. Ku bertanya kepada semua orang sekitar, nihil mereka bahkan tidak menjawab, sibuk dengan kata-kata yang tidak berguna, sibuk mencari dunia, bahkan aku tidak ada apa-apanya bagi mereka.
(baca juga: Di Mana Ada Surga, Seindah Indonesia)
Tak sanggup rasanya melangkah, ku geret saja keduanya. Tanaman awan masih terdiam tenang ditempatnya. Tanaman itu tidak merasa risau. Terdapat sekotak niat dalam hatiku untuk meninggalkan tanaman awan. Selangkah menjauh, terdengar suara.
“Apakah kau akan meninggalkanku? Lihatlah tanaman awan, petiklah hasilnya.” Sang kasih kembali, aku hanya tertegun. Secangkir kerinduan ia suguhkan, aku tersenyum. Tanda tanya mengelilingi otakku, akankah ia akan mengembalikan kerinduan?.
“Seiris jejak yang bersajak ini
ku persembahkan untuk kasih
yang enggan beranjak”
Jember, 19 Februari 2018
Di ruang alam yang berbeda.
*Penulis merupakan siswa SMA Nuris Jember kelas XI IPS 1. Kini dia aktif di ekstrakurikuler jurnalistik website dan juga anggota ekstrakurikuler sains bidang sejarah. Dia juga pernah juara 3 menulis cerpen se-Jatim.