Penulis : Ayu Novita Sari
“Kau tahu layangan yang tersangkut itu?”. Katanya sambil menunjuk ke arah pohon gersang. “Aku ingin mengambilnya tetapi tubuhku terlalu kecil.” Ia melirik seseorang yang sedang asyik dengan bukunya. “Kau lumayan lebih tinggi dariku, kenapa kau tidak sedikitpun ingin membantuku?.”
Seseorang itu bangkit dari duduknya. “Kenapa kau mengharapkan barang yang sudah terbuang itu, kau bisa membuatnya sendirikan tanpa harus bersusah payah mengambilnya.” Angin menghempas daun lemas.
***
Langit biru cerah telah menelankan warnanya, membiarkan langit jingga menggantikan posisinya. Hingar-bingar pasar ternyata masihberkobar, manusia ternyata lebih senang bersua dalam tawar menawar di waktu senja. Dalam bisingnya suasana, Aisyi menawar sehelai jilbab berwarna merah muda yang menarik perhatiannya.
“ Tak bisa kurang kah pak?.” Tawarnya.
“Tak bisa dek, ini sudah harga pasar.” Jawab penjual tanpa menghiraukan wajah melas Aisyi. “Kalau adek tak mampu untuk membeli, tak usah lah beli barang ini.” lanjutnya. Aisyi melihat sisa uang di dalam dompetnya sisa uang yang cukup untuk bertahan selama satu minggu. Aisyi melangkah meninggalkan gerai tersebut, hanya tiga langkah ia menjauh. Tiba-tiba.
(baca juga: Perca)
“Berapa harga jilbab warna merah muda ini pak.” Tanya seseorang yang menambah sakit hati Aisyi karena jilbab merah mudanya akan didapatkan orang lain. Aisyi melanjutkan langkahnya.
“Kau inginkan jilbab cantik ini nak?.” Suara itu mengejutkan sekaligus menghentikan langkah Aisyi. Ternyata perempuan paruh baya sudah berada di sampingnya. Sempat ia melirik barang bawaannya, dan benar saja salah satu dari barang bawaan itu terdapat jilbab merah muda yang diingikannya.
“Ini untukmu, ambillah!.” Perempuan itu meraih tangan Aisyi dan meletakkan jilbab itu di telapak tangan Aisyi. Sunyi. “Ibu melihatmu menawar jilbab ini dengan murah, padahal harga aslinya tidak terlalu tinggi, bisa di bilang tidak pantas untuk di tawar.” Aisyi menunduk mendengar perkataan perempuan itu.
“Maklum lah bu, saya seorang santri yang harus mengirit isi dompet saya.” Perempuan itu kaget mendengar pernyataan yang di utarakan oleh Aisyi.
“Orang tuamu?.” Tanya perempuan itu.
“Mereka meninggal dua tahun yang lalu, waktu dalam perjalanan menjenguk saya di pesantren. Kecelakaan beruntun itu menewaskan mereka semua sekaligus melenyapkan semua yang kami punya.” Jelas Aisyi.
“Kami?.” tanya perempuan itu menyelidik.
“Ya kami. Saya punya saudara perempuan, tetapi dia sekolah di luar pesantren bermodal rumah kontrakan dari hasil ia menjadi penulis. Alasan dia tidak ingin melanjutkan di pesantren karena ia ingin bekerja untuk mebiayai hidup kami. Sekaligus membiayai sekolah saya di pesantren dengan tulisannya.” Lanjut Aisyi membayar ribuan pertanyaan perempuan tersebut.
“Kau ingin mendapatkan uang yang banyak nak?.” Aisyi heran dengan pertanyaan perempuan tersebut. “ibu punya pekerjaan untukmu, kau bisa bantu saudaramu bahkan kau tidak perlu meminta uang padanya.” Perempuan itu menyelidik raut wajah Aisyi yang kebingungan.”Ini nomer hp ibu, jika kamu tertarik kamu bisa hubungi ibu.” Perempuan itu melangkah menjauhi Aisyi.
“Aku mencarimu dari tadi, ayo kembali ke pesantren waktu belanja kita hampir habis.” Suara itu menyadarkan lamunan Aisyi. Rizqa teman Aisyi menarik tangan perempuan itu yang pikirannya masih sepenuhnya dikuasai tawaran perempuan tadi. Sayup – sayup suara angin malam mengantarkan rasa risau yang mengendap di dalam relung dada. Lantunan ayat-ayat suci-Nya menggema ke seluruh seantero pesantren sejuk di pinggiran kota itu. Seseorang berdiri menengadahkan wajah lembutnya di bawah helayan sinar rembulan. Imajinasinya jatuh dibayangan ruang dan waktu yang mencekiknya dalam ruang yang sangat sempit.
***
(baca juga: Risalah Senja kepada Teman)
Ruang yang cukup untuk 25 santri belajar ilmu pengetahuan itu, memiliki kipas angin yang tidak pernah mengeluh untuk menyejukkan ruangan. Di pojok depan ruangan terdapat lemari yang berisi kitab – kitab dengan tataan yang rapi. Seisi penghuni riuh dengan kertas yang mereka pegang masing – masing. Semua mimik santri yang berada dalam kelas berubah menjadi masam karena kertas yang dibagikan wali kelas mereka.
“Aduh aku udah nunggak dua bulan, gimana ngomongnya ya sama Aisyah.” Benar saja, kelas Aisyi baru saja mendapatkan surat tunggakan SPP yang harus diunasi. Perempuan itu mengeluarkan sesuatu dalam saku bajunya, terlihat selembar kertas yang tertuliskan sederet angka. “ apa aku ambil saja ya, tawaran ibu itu?.” tanya hati Aisyi. Terik matahari menambah gerahnya hati. Angin tak cukup untuk menenangkan hati yang sedang bergejolak. Aisyi berjalan menuju wartel telepon pesantren yang disediakan untuk menghubungi keluarga. Pikirannya was – was akan tawaran yang ibu itu berikan. Setelah cukup lama mengantri, tiba gilirannya. Pelan ia menekan tuts telepon duduk itu, setelah beberapa detik menunggu jawaban akhirnya ada suara di sebrang sana.
“Halo?.”
“Assalamualaikum bu, ini saya Aisyi yang waktu itu ketemu di pasar.”
“Oh ya ibu ingat. Gimana, kamu bersedia dengan tawaran yang ibu berikan waktu itu?. Ibu tidak memaksa, maksud ibu hanya ingin membantumu saja.”
“ Saya tertarik dengan tawaran yang ibu berikan. Saya mau bekerja dengan ibu.” Suara Aisyi sedikit berat.
“Hahaha … akhirnya kamu setuju dengan tawaran ibu. Baiklah nanti malam kamu mulai bekerja. Saya akan menemui kamu nanti malam.” Aisyi tidak mengerti pekerjaan apa yang akan ia jalankan. Terdengar suara tut … tut .. di sebrang telepon bertanda telepon terputus.
Gelap telah menampakkan tubuhnya. Burung telah menyudahi kesibukannya, mereka telah kembali ke sangkar ternyaman mereka. awan gelap menutupi terangnya bulan, hingga tak sampai menyinari bumi. Di tempat pos tamu santri Aisyi menemui ibu yang ternyata memiliki nama Yani itu.
“ Ibu akan menjelaskan cara kerjamu!.” Pernyataan ibu Yani memecahkan malam yang sangat mengikat hati dan pikiran.
***
“ Tawarkan barang ini kepada teman – temanmu, tapi kamu harus berhati – hati jangan sampai ketahuan dengan ustadzahmu.” Betapa terkejutnya Aisyi ketika dia tahu kalau pekerjaannya sebagai pengedar barang haram. Cukup besar memang bayaran yang ditawarkan. Entah apa yang berada dalam pikiran Aisyi, otaknya tidak bisa berfikir secara jernih dan ia mengiakan tawaran itu. ternyata tugasnya tidak hanya mengedarkan barang itu di dalam pesantren. bu Yani memfasilitasi HP untuk Aisyi jika ada orderan barang itu di luar pesantren.
“Berarti saya harus kabur dari pesantren jika ada yang order luar pondok?.”
“ Pintar sekali!. Apa yang kamu putuskan tentang semua ini tidak salah.” bu Yani memberikan sekotak yang sudah jelas isinya barang haram itu. Dengan bermodal menjadi saudara Aisyi, ia dengan mudah menyelundup ke dalam pesantren.
Menyisiri koridor yang berderet kamar para santri, Aisyi membolak balik kotak yang berada di genggamannya. Di hari pertama ia mendapat pekerjaannya ia mulai menyelidik konsumennya, sasarannya yaitu santri yang tipikalnya suka melanggar peraturan. Tidak menunggu waktu lama, ia berhasil merayu konsumen pertamanya dengan mudah. Merasa berhasil dengan konsumen pertamanya ia semakin kecanduan untuk menarik santri yang lainnya untuk tertarik mengonsumsi barang haramnya.
Hari yang dulu cukup cerah untuk dijalani dan diperjuangkan. Telah berubah menjadi hari yang cukup suram tanpa kesadaran. Tokoh utama dalam kehidupan menelankan diri dalam samudra terdalam. Masa yang diimpikan tak sejalan dengan kenyataan, sungai terasa ikut berhenti mengalir karena takut terjerumus ke jurang yang salah. burung seakan berhenti berkicau, meminta kepekaan agar tersadar dalam tidur malam seseorang dalam kegelapan yang benar – benar gelap. Tetapi gelap telah berhasil mengusir sinar. Dan tinggal rembulan yang tertinggal sendiri.
Jika ingat tentang fasilitas HP yang di diberikan Bu Yani Aisyi meletakkan di bawah lantai dalam gudang, pondasi yang sudah mulai runtuh memudahkan Aisyi membuka keramik. Beberapa kali mendapat orderan di luar pondok yang berhasil ia jalani tanpa ketahuan membuatnya semakin lihai dalam pekerjaannya itu. Memiliki pelanggan tetap di dalam pesantren memperlancar uang di kantongnya. Kenikmatan yang sungguh melenakan dan rugi untuk ditinggalkan. Malam yang hening membuatnya lancar melakukan aksinya, dengan mengendap dalam kesunyian. Malam ini Aisyi merasa ingin sekali mengecek Hpnya, ketika hendak mengambil Hpnya tim keamanan pondok sedang patrol malam dan ia hampir ketahuan. Ternyata benar saja malam ini Aisyi dapat pekerjaan untuk mengirim barang di luar pondok. Ketika ia melihat alamatnya, ia tidak asing dengan jalannya. Ya, dekat dengan kontrakan Aisyah saudaranya.
Tepat tengah malam, yang hanya sebagian manusia peduli badan saja yang masih terjaga. Aisyi, bersiap – siap untuk melakukan aksinya itu. Ternyata malam ini tidak selancar dengan malam – malam sebelumnya kejadian buruk hampir terjadi menimpanya. Pertama ia kepergok dengan teman sekamarnya tapi alasan ke kamar mandi berhasil mengelabuhi. Kedua ia hampir melakukan kesalahan yang fatal, ketika ingin loncat pagar ada satu orang bagian keamanan yang mengetahui, tapi ia berhasil keluar pagar dengan selamat tanpa tertangkap.
Melangkah dengan langkah yang cukup sedikit cepat, agar waktu tidak terlalu menyita malam, karena shubuh ia harus kembali ke pesantren. bermodalkan tenaga yang cukup untuk berjalan karena malam gulita dalam tengah malam begini tidak ada angkutan umum yang bisa mengantarnya. Satu jam setengah cukup untuk dirinya mencari alamat pengordernya.
“Aisyi?.” Tanya konsumen tersebut. Dilanjuti dengan anggukan Aisyi.” Saya sudah menunggumu dari tadi, ayo masuk dulu.” Tangan lelaki itu merangkul bahu Aisyi, sontak Aisyi langsung melepaskan rangkulan itu. Bau alkohol di sebuah ruang yang cukup pengap itu cukup membuat dadanya merasa tak nyaman, Aisyi melirik jam tangannya yang memerintahkannya untuk segera kembali ke pesantren.
“O… o.. om, saya mau pamit dulu.” Ucapnya dengan gugup.
“Kenapa terburu- buru? Ayolah kita nikmati malam yang dingin ini berdua. Aku juga sudah membelimu ke Yani dengna harga yang kau mau.” Laki-laki itu langsung menarik dengan mudah tubuh Aisyi kedalam sebuah kamar yang tidak terlalu besar. Penuh dengan botol minuman alkohol dan bau anyir yang tak nyaman. Laki – laki itu berusaha mengambil kehormatan terbesar Aisyi, perlakuannya sangat kasar sampai Aisyi tak bisa berkutip. Tetapi, di suatu titik waktu Aisyi mengambil sesuatu yang berada tak jauh dari kasur laki – laki bejat itu. Botol. Belum sempat laki-laki itu berhasil melakukan aksinya Aisyi memukul kepalanya dengan botol hingga laki-laki itu tidak bisa berkutip karena pingsan akibat benturan itu.
Malam hampir menjelang shubuh. Dengan berlari menyusuri jalan ia tidak bisa berfikir hanya satu dalam pikirannya. Ia ingat kalau daerah ini dekat dengan kontrakan Aisyah, Aisyi berlari menuju gang yang menyambungkan langkahnya ke dalam rumah yang redup dengan lampu yang memiliki sedikit watt. Ia mencoba mengetuk dengan sisa tenaganya. Seseorang pun keluar dengan mimik yang kebingungan.
“Aisyi? Apa yang terjadi.” Suara Aisyah lirih dengan menggandeng saudaranya itu.”Kau kenapa?.” Aisyi tak menjawab dan menumpahkan air matanya di sandaran terhangatnya. Ya setelah kedua orang tua Aisyi sudah meninggal karena kecelakan itu. Aisyah menjadi sandaran dan tempat keluh kesahnya. Tetapi dalam hal pekerjaannya yang sebagai pengedar beberapa bulan teakhir ini, tak menceritakan sebaris kalimat ataupun kisahnya. Aisyah bersifat bijak, cuek, tetapi penyayang. Aisyah juga anak perempuan pintar sehingga sekolahnya di dapat dengan beasiswa. Cukup lama mereka berpelukan dalam waktu yang cukup lama, Aisyah merasa aneh dengan saudaranya itu.
Suara derap kaki manusia yang kedengarannya berbondong-bondong menyadari mereka.
“AISYI, DIMANA KAU. KELUAR JANGAN SEMBUNYI.” Jelas sekali suara itu adalah suara salah satu ustadzah pesantren Aisyi yang sangat ia kenali. Aisyah dengan wajah yang tak mengerti apa-apa, memandang kebingungan ke arah saudaranya itu.
“Aisyah, aku minta tolong temui mereka. Untuk ku, untuk saudaramu ini.” Aisyi memeluk erat tubuh Aisyah. Dengan rasa was-was Aisyah berdiri dan menemui orang yang berada di balik pintu utama itu. Baru saja ia membuka pintu ia langsung di ringkuh tak mengerti.
“Ini dia, dasar munafik. Kafir kamu Aisyi kau telah dusta pada agamamu.” Kebingungan memuncak dalam pikiran Aisyah. Kembar seiras. Ya, wajah Aisyah yang sangat mirip dengan Aisyi telah menjadi akhir cerita kesalah pahaman ini. dengan kasar Aisyah di gelandang dengan tonyoran keras teman santrinya karena terlalu geram. Ternyata pesantren tidak mengetahui jika Aisyi memiliki saudara kembar seiras. Aisyah terdiam.
Beberapa jarak dari diri Aisyah. “Maafkan aku Aisyah!”. Gumam seseorang.
***
Terik matahari membakar hati seseorang yang berada dalam lingkaran kerumunan manusia yang penuh amarah. Suara cacian menumpahkan hati yang tak bersalah. Belaian angin tak terasa lembut bahkan terasa perih. Aisyah tertunduk pasrah atas apa yang terjadi pada dirinya. Cercaan, cacian, bahkan terpaan batu terlempar tepat pada tubuhnya. Perih.
“Kau lihat apa yang telah kau perbuat, kau jerat mereka dengan barang haram. Kau juga seorang pembunuh, kau telah mencoreng nama baik pesantren, keluarga, bahkan kau telah menodai dirimu sendiri. Apa kau tidak berfikir sedikitpun tentang hal itu Aisyi?.” Pernyataan itu adalah pukulan yang kata terberat yang pernah Aisyah dengar. Aisyi, telah berbuat hal yang tidak pernah terfikir pada otaknya. Ia naikkan pandangannya sungguh miris, sederet santri lain tertunduk lemas benar saja mereka adalah para konsumen setia Aisyi. Ia lirik barang didekatnya barang yang membuatnya sekarang berada pada tempat yang tidak semestinya dia yang berada di posisi itu.
Pandangannya buram akibat darah yang mengalir dari terpaan batu yang mengenai pelipisnya. Sederet polisi datang meringkuhnya, ia tak bisa menjelaskan apa-apa. Pasrah. Ketika ia diglandang masuk kedalam mobil polisi ia sempat melihat Aisyi memandangnya dengan rasa iba. Aisyi hendak lari ke pelukan Aisyah tapi terhentikan dengan kedipan pasrah Aisyah. Angin seakan berhenti, awan tak bergerak seperti biasanya, dan burung mengucapkan salam selamat tinggal.
***5 tahun kemudian
“Pak saya mau bertemu dengan tahanan yang bernama Aisyi Armita.” Seorang perempuan bercadar itu berdiri tepat di depan meja polisi yang bertugas sebagai penerima tamu.
“Anda siapa?.” Selidik polisi tersebut dengan memperhatikan perempuan di depannya seperti ada yang menjanggal.
“Saya saudaranya.”
“Jika anda saudaranya, kenapa anda tidak tahu kalau saudari Aisyi meninggal 3 tahun yang lalu.”
“Meninggal?.”
“Ya, dia meninggal tertusuk oleh teman satu selnya.”
Detik yang pernah ia tinggal ternyata meninggalkan kisah yang sangat muluk. Terngiang dalam pikiran kisah masa lalu yang menceritakan sebuah peristiwa yang memiliki dua tokoh yang tertukar akan perannya. Aisyah yang harus merelakan kisah hidupnya demi saudara yang sangat ia cintai. Kisah yang tak seharunya ia lalui dengan nyawa yang seharusnya masih ia miliki. Penyesalan yang tak lagi berguna mancabik hati seseorang yang sempat tak memiliki hati atas apa yang ia lakukan.
Di depan makam yang sudah ditumbuhi rumput mungil, seorang perempuan menaburi mawar yang bertandakan rasa maaf. Nama yang ada di nisan adalah namanya. Ya pelaku utama sudah kembali. Angin berhembus membelai mesra jilbab perempuan itu.
“Aisyah, maafkan saudaramu ini. Aku akan bertanggung jawab atas segalanya, pakai lah nama yang seharusnya memang ada dalam batu nisan ini. Aku akan mengharumakan namamu di depan dunia. Tegur aku lewat mimpiku jika aku salah dalam hidupmu.” Bulir cairan bening terasa hangat mengalir melewati menik mata dengan ikhlas. Dingin.
“ Aisyah?. Mari kita pulang, langit sedang mendung.” Seorang laki-laki berdiri tepat di belakang perempuan itu.
“Jika aku jauh dari dirimu ingat Aisyi kau jangan rindu. Tetapi jika rindu memaksamu untuk bertemu denganku, kau berdirilah di depan cermin dan tersenyumlah, karena aku ada didepanmu saat itu.” Aisyah kecil memeluk hangat Aisyi mungil.
Penulis merupakan siswa SMA Nuris Jember kelas XII IPS 1. Dia aktif di Msains Sejarah dan juga ekstrakurikuler Jurnalistik Website Pesantrennuris.net