Hari Anak Nasional 2018, Persimpangan Jalan Arah Masa Depan Bangsa
Oleh: Achmad Faizal*
“Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”Soekarno, Proklamir Kemerdekaan Indonesia.
Ada optimisme dalam adagium yang dikumandangkan oleh Sang Proklamir Kemerdekaan Indonesia ini. Baik kepada orang tua yang notabene banyak makan asam garam, terlebih kepada pemuda. Tersirat demikian pesan hidup Soekarno tersebut, barangkali akan menjadi sinergi yang hebat jika segenap rakyat baik kalangan tua atau pun muda bahu-membahu membangun bangsa melalui pemikiran terbuka, dan tindakan yang terarah dengan jiwa patriotik.
Di saat isu nasional menyeruak, entah soal BBM dan bahan makanan pokok beberapa yang naik harganya. Ada pula isu SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) yang kerap memecah-belah. Perbedaan pendapat soal tokoh yang diidolakan dalam memimpin negeri sampai cekcok hal yang sepele soal antrean naik commuter line.
(baca juga: Kado Ulang Tahun Mengesankan, Alumni Nuris Wisuda Pascasarjana di National Chiayi University Taiwan)
Segala fenomena yang dewasa ini, barangkali semua dapat dicermati di berbagai media informasi, ketika pemuda tumbuh dalam lingkungan pengidap narkoba, terlibat tawuran, menganiaya guru, terdoktrinasi anarkis dan nyinyir, sungguh memperihatinkan bukan. Dan yang tua malah sibuk berebut kursi dan pengaruh dengan citra palsu, korup, saling hujat dan hujam, bahkan ada yang abai akan situasi bangsa ini.
Sepertinya kompleksitas bangsa ini semakin rumit saja jika kita melihat ini dengan kacamata minus tanpa membuka hati. Lalu siapa yang kita teladani, apa yang dapat memotivasi dan menginspirasi kehidupan kita, atau bagaimana kita seharusnya menghadapi informasi yang menggelikan setiap hari?
Namun, harapan kemajuan bangsa itu selalu ada. Penulis meyakini masih ada yang peduli dan tak mudah terprovokasi apalagi mendendam. Selama pemudanya masih militan berproses, berjiwa tinggi, berbudi luhur, cendekia dalam berpikir, makmur dalam hidup dan kehidupan, segala sendi negara mampu hangat kembali dalam kemesraan peradaban bangsa yang besar.
(baca juga: Tidak Sekedar Jadi Santri, Dunia Bogapun Dikuasai)
Di persimpangan jalan kemerdekaan bangsa yang menuju ke usia 73 tahun ini, optimisme yang dititipkan oleh pejuang kepada generasi kekinian perlu kita baca ulang. Mari cermati dalam-dalam, hela nafas kita, redam emosi, dan asah empati ini meski hidup selalu berat dijalani. Tak perlu kita ikut rusuh saat berbeda ngefans sepakbola nasional, apalagi saling bacok begitu saja saat kehilangan buku seperti yang viral di Garut, Jawa Barat.
Saat kita harus saling mengingatkan dan berupaya membentuk situasi yang damai, tentu harus membuka cakrawala hati kita dengan ikhlas. Lihat saja Lalu Mohammad Zuhri yang memenangkan atletik lari 100m internsional usia di bawah 20 tahun; Samantha Edithso, juara catur FIDE World Championship 2018 usia 10 tahun yang berlangsung di Minsk, Belarusia, akhir Juni lalu.
(baca juga: Perancis Juara Dunia 2018; Negara (bukan) “Ekspansi” Muslim dan Pesan Harmonisasi Kultural)
Masih ada kabar motivatif lainnya seperti, Lawrence Dean Kurnia dan Jevon Lionel Koeswoyo yang berlaga di 7th World Junior Wushu Championship di Brasilia, Brasil, pada 6 -16 Juli 2018 lalu, tim wushu junior Indonesia memenangkan dua emas, 10 perak dan tujuh perunggu. Dan masih banyak kabar positif lainnya yang lebih greget diketahui bukan.
Momen tepat, pada hari Senin kemarin, 23 Juli 2018, adalah peringatan Hari Anak Nasional yang telah ditetapkan oleh pemerintah sesuai Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 44 yahun 1984 bukanlah merupakan hari libur nasional. Kita perlu hayati lagi peringatan ini. Semoga anak-anak bangsa lebih sibuk dengan kreativitas, mengasah empatik yang berlandaskan hati terbuka, berpikir kritis yang konstruktif, bertindak positif untuk kemaslahatan yang masif. Ya, semoga.
*staff pengajar bahasa dan sastra Indonesia di MA Unggulan Nuris