Para ulama memperkenalkan dua sistem bermadzhab yakni, Madzab Qauli dan Manhaji. Madzab Qauli, adalah mencari hukum suatu masalah. Segolongan ulama dari kalangan madzhab al-Syafi’i menjelaskan bahwa tidak boleh ber-taglid kepada selain madzhab yang empat, karena selain yang empat itu jalur periwayatannya tidak valid, sebab tidak ada sanad yang bisa mencegah dari kemungkinan adanya penyisipan dan perubahan. Berbeda dengan madzhab yang empat.
Para tokohnya telah mencurahkan kemampuannya untuk meneliti setiap pendapat serta menjelaskan setiap sesuatu yang pernah diucapkan oleh mujtahidnya atau yang tidak pernah dikatakan, sehingga para pengkutnya merasa aman (tidak merasa ragu atau khawatir) akan terjadinya perubahan, distorsi pemahaman, serta mereka juga mengetahui pendapat yang shahih dan yang dha’if. (Lihat: Sayyid bin Ahmad al-Saqqaf, Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, hal.59).
Imam Abu Hanifah bertemu Imam Malik ketika menunaikan ibadah haji. Begitu pula Imam Syafi’i cukup lama menjadi murid Imam Malik. Lihat: Aswaja an-Nahdliyyah, hal 24-25. Dengan mengikuti hasil pendapat ulama yang sudah terbukukan di dalam beberapa kitab madzhab tersebut.
(baca juga: Shalat di Raudhah)
Madzhan Manhaji,yakni memcahkan problem hukum dengan berpedoman kepada metode istiqra’ (penelitian hukum) yang digunakan dalam suatu madzhab. Pada perkembangan selanjutnya, para ulama pesantren terus menerus berusaha mengembangkan sistem bermadzhab ini. Karena zaman bergulir begitu cepatnyam waktu melesat tidak dapat dicegat, dan perubahan tidak mungkin dielakkan, sementara fiqih Islam harus hadir memberikan solusi untuk menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan, maka umat Islam dituntut untuk dapat berkreasi dalam memecahkan berbagai persoalan tersebut.
Salah satu bentuknya adalah dengan mengembangkan fiqih sosial sebagai upaya mengembangkan pola bermadzhab secara tekstual (madzhab qawli) menuju pola bermadzhab metodologis (madzhab manhaji) dalam fiqih Islam, sebagaimana digagas oleh Dr. KH. Sahal Mahfudh.
Mengutip hasil halaqah P3M, ada beberapa cirri yang menonjol dalam fiqih Sosial. Ciri-ciri tersebutdi antaranya adalah melakukan interpretasi teks-teks fiqih secar kontekstual, perubahan pola bermadzhab, dari madzhab secara tekstual (madzhab qawli) menuju pola bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji), verifikasi ajaran secara mendasar, dengan membedakan ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu), dan pengenalan metodologi filosofi, terutama dalam masalah budaya dan sosial. (KH. Dr. Sahal Mahfudh, dalam Duta Masyarakat, 18 Juni 2003).
(baca juga: Doa Sesudah Sholat Witir beserta Kaidah dan Fadhilahnya)
Namun demikian, usaha ini hanya bisa dilakukan dalam persoalan sosia kemasyarakatan (hablun min al-nas), tetapi tidak bisa masuk pada wilayah hubungan seorang hamba kepada khaliq-nya. Artinya, dalam hubungan dengan sesame manusia, kaum muslimin harus mampu membuat berbagai terobosan baru untuk menajwab dinamika sosial yang terus bergulir dengan cepat. Namun itu tidak berlaku dalam hubungan vertical seorang hamba dengan Sang Khaliq. Sebab yang dibutuhkan dalam ibadah adalah kepatuhan seorang hamba yang tunduk dan pasrah hanya menyembang kepada-Nya. Sebagaimana kaidah yang diungkapkan oleh Imam Abu Ishaq al-Syathibi (w 790 H/1388 M) dalam al-Muwafaqat-nya.
اَلْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ بِالنِّسْبَةِإِلَى الْمُكَلَّفِ اَلتَّعَبُّدُ دُوْنَ الْاِلْتِفَاتِ إِلَى الْمَعَانِى، وَأَصْلُ العَادَاتِ اَلْاِلْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِى ( الشاطبي، الموافقات في أصول الأحكام، ج ٢ ص ٣٠٠)
“Asal dalam masalah ibadah adalah ta’abbud, tanpa perlu melihat maknanya. Sedangkan asal dalam mu’amalah (interaksi antara sesama manusia) adalah memperhatikan maknanya (esensinya). “ (Al-Syathibi, al-Munawafaqat fi Ushul al-Ahkam, juz II, hal 300).
Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2008. Hujjah NU. Surabaya: Khalista.