Munder

Penulis: Ayu Novitasari

Angin melunak menyelimuti malam. Berbisik, mendesis menyelubung ke gendang telinga peraduan. Permenungan tenang yang mendesau mengendap di dada. Tubuh seakan mengembang, mimik menyeringai meleraikan perasaan. Alam masih terasa mengancam, bunga api menguasai ruang mengajar megah. Tertatih setitik cahaya memelas seorang hati. Peredaran bumi seakan berhenti.

Jalan aspal mendesah, merintih tergesek ban karet truk yang ditumpangi Menik. Truk itu berhenti tepat di tugu Selamat Datang Desa Bunder. Tidak cukup banyak jalan yang Menik ketahui dalam Desa Bunder ini, ia hanya memahami jalan utama beraspal ini.

Berjalan menyusuri mengikuti jalan, cara terampuh yang menjadi pilihan. Udara bagaikan berpusar, suara gerimis terasa meringis. Udara dingin tak cukup menghilangkan dahaganya. Menik merogoh tasnya. Nihil. Botol airnya tak menyisakan satu tetes airpun. Ia melacak alam sekitar, pikirannya dipengaruhi oleh buah yang pertama kali ia kenal . Cukup asam rasanya, tapi setidaknya dapat menghilangkan rasa hausnya. Dengan mengambil beberapa buah ia harap cukup untuk persediaan dalam jalannya.

Malam masih muda, gelagar bunyi burung malam melengking dalam gendang telinga. Kilat mulai mengerjat-ngerjat. Menik melangkah semakin pelan. Jauh ia melangkah tidak ada tanda-tanda pemukiman warga. Jangankan permukiman, gubuk pun ia tidak menemukan selama ia menyusuri jalan. Semprotan cahaya membuat langkah pelannya menjadi lari. Agak buram, rembulan pucat membuat kaca matanya tidak berfungsi selayaknya.

Ia kibaskan semak yang ada di depan. Cukup mudah dilakukan, di balik semak ia melihat seonggok bangunan cukup besar. “ Mungkin ini villa” pikirnya. Tepat berada di depan pintu villa, Menik melihat seorang wanita yang langsung membuka pintu.

“ Permisi, apakah di sini  penginapan.” Tanya Menik.

“ Silakan masuk manis, selamat datang di penginapan Nyai.” Perempuan itu langsung menyambar tangan Menik dan menarik badannya ke dalam villa.

“ Namamu siapa manis?. Oh … Menik.” Perempuan itu menilik nama yang terjahit rapi di jaket Menik.

“ Panggil saja saya Nyai Nihak.” Perempuan bernama Nyai Nihak itu menyodorkan buah yang tidak asing bagi Menik. “ Ini buah munder, makanlah!.” Menik menggigit, mengunyah, dan menelannya.

Bagai bara dalam sekam. Samudra pemahaman menjadi garda paling depan. Angin mendesau membangunkan tubuh yang gontai kelelahan. Matahari tertawa menyeringai, buaian selimut menambah kehangatan. Melanjutkan tidur dalam daerah yang beriklim teduh sangat tepat dilakukan. Tapi menik tersadar akan tujuannya pergi ke Desa Bunder ini. Sejenak ia meregak dan berusaha menguasai dirinya sendiri. Nyai Nihak tercenung memandang Menik sudah berpakaian rapi lengkap dengan tasnya.

“ Nyai saya mau pergi dulu. Sebelum matahari terbenam pasti saya kembali.”

“ Seharusnya itu yang harus kamu lakukan.” Nyai Nihak menjulurkan buah yang bernama Munder lagi, kepada Menik. Apa boleh buat Menik harus menerimanya mungkin untuk jaga-jaga ketika ia kehabisan air.

Alam terasa lembut dan peka, dengan sekejab ia sudah berbaur dengan alam. Sesuai dengan informasi dan petunjuk dari buku catatan ibunya, Air Terjun Antogan berada di Desa Bunder. Lamat-lamat ia jelajahi hutan demi menemukan Air Terjun Antogan. Bermodal buku catatan ibunya ia membaca denah yang ada. Buaian angin segar melambaikan rambut halusnya. Seakan bercengkrama merangkul alam, ia menjejaki anak tangga demi anak tangga.

Memang wajib diakui keindahan Antogan bukan hanya dongeng. Dengan lembut Menik membelai bening air terjun Antogan itu. Angin kelam menyapanya, semakin mencengkam seperti ada yang memperhatikan geraknya. Menik melihat banyak lubang menyerupai goa kecil. Menik tertarik kepada lubang yang ukurannya lebih besar dari pada yang lainnya.

Muram dan sayu, selangkah ia memasuki lubang itu. Seseorang menepuk pundaknya dari belakang.

“ Hai … .” gertaknya. Heran, angin seakan berhenti. Hening, deburan air yang jatuh seakan menjadi pengiring waktu.

“ Ada yang salah?.” Ucap Menik membubar jalankan keheningan.

“ Saya Sairik, anak asli Desa Bunder sini. Apa yang kamu lakukan di Antogan ini.” Sairik menatap sesuatu yang dipegang Menik, raut mukanya melukiskan rasa penasaran yang amat mendalam. “ Dapat dari mana kamu buah itu?.” Percikan air membasahi keduanya, kibasan angin memperlancar arah geraknya.

“ Saya sekedar wisatawan seperti umumnya, yang ingin tahu keunikan air terjun Antogan ini. Tidak salah bukan!.”  Menik melangkah semakin menjauhi Sairik. Menik tergugah untuk pergi dari tempat itu rupanya waktu masih ingin bermusuh dengannya, tidak menjadi masalah masih ada waktu yang lain untuk esok hari. Ia berjalan dengan diikuti Sairik di belakangnya. Tidak sebersit pun Menik merasa takut kepada pemuda itu.

“ Dimana jalan menuju Desa Bunder.” Menik langsung bertanya, yang membuat Sairik terperanjat.

“ Mari ikuti saya.” Sairik melangkah mendahului Menik. Aneh. Menik merasa sudah pernah melewati jalan ini tidak ada satu rumah pun yang ia lihat, apalagi desa.

“ Wisatawan dari mana?.” Tanya Sairik menatap lekat mata sayu Menik.

“ Saya Menik asli Bandung.”

“ Bermalam dimana?.”

“ Villa Nyai Nihak.” Sairik langsung terdiam seribu kata mendengar jawaban Menik. Hening. Menik memandang siluet Sairik. Waspada adalah materi yang harus dikuasai Menik saat ini.

“ Apa yang sebenarnya kamu cari di sini. Tidak usah takut atau risau mungkin saya bisa membantu, hanya itu yang dapat saya lakukan.” Sairik memandang Menik yang sekarang melangkah beriringan mengelilingi desa. Menik tidak menggubris tawaran Sairik, ia memfokuskan pandangannya ke ruangan alam sekitar.

“ Tuluskah kamu menawarkan bantuan itu, apakah kamu bermaksud lebih dari ini?.” Menik menghentikan langkahnya yang langsung diikuti Sairik.

“ Saya tidak mengharapkan lebih dari ini. Saya ikhlas membantu, hanya itu saja yang bisa saya tawarkan.” Sairik melanjutkan langkahnya.

“ Apa yang kamu ketahui tentang desa Bunder dan air terjun Antogan. Bisakah kamu berikan informasi tentang keduanya?.”

“ Desa Bunder adalah desa yang sangat asri. Dilengkapi dengan antogan yang menambah pernik dalam desanya. Tetapi itu dulu sebelum peristiwa itu terjadi, peristiwa itu merubah semuanya dan juga aku.”

“ Peristiwa apa.?”

“ Peristiwa … .” Belum selesai ia menjelaskan, Sairik berhenti berkata dan melangkah. Pandangannya tertuju pada seorang lelaki tua yang berdiri tepat di depan mereka.

“ Saya harus pulang. Kalau ingin bertemu, temui saja aku di air terjun Antogan lagi. Saya akan selalu menunggumu di sana.” Sairik pergi bersama lelaki tua itu. Risih. Lelaki tua itu menatap sinis ke arah Menik. Semburat cahaya matahari semakin redup. Hari sudah sore.

Lambaian gorden putih villa Nyai Nihak, menghalangi keleluasaan angin untuk masuk. Bunyi gesekannya pun mengganggu Menik yang sedang menggarap tulisannya. Menik bangkit berniat untuk menutup saja jendela kamarnya. Niatannya terurung akibat bunyi deruan pintu yang sedang berusaha dibuka seseorang berhasil membubarkan konsentrasinya. Nyai Nihak ternyata.

“ Saya tahu, Menik kesini bukan sekedar liburan bukan. Nyai tidak memaksa bahwa kamu harus bercerita tentang tujuanmu pergi ke desa ini. tapi jika kamu ingin berbagi tentang tujuanmu kesini, Nyai bersedia mendengarkan dan membantu kamu.” Nyai perlahan mendekati Menik yang sedang duduk di kasurnya.

“ Mungkin hanya perasaan Nyai saja. Saya hanya sekedar wisatawan seperti umumnya. Cukup itu saja.”

Nyai Nihak terdiam tak merespon satu kata pun dari cerita yang Menik ucapkan. Nyai Nihak mendekati Menik yang sekarang ikirannya mungkin melayang mengimajinasikan kejadian ataupun kebenaran yang membuat hidupnya tidak tenang.

“ Nyai tidak tahu apa yang kamu pikirkan dan apa yang akan kamu lakukan.” Nyai Nihak beranjak dari saktanya, meninggalkan Menik yang menikmati semprotan cahaya rembulan. Aneh. Harum, aroma sedap malam tak cukup melerai kekecewaan. Hanya kebenaran alam yang dapat menjawab seribu satu pertanyaan.

Nyanyian merdu gamelan banyuwangian cukup menjadi burung malam kelelapan. Menik menjadi perempuan yang selalu resah dan gelisah. Ia berjalan menuju taman belakang. Tapi, melihat ruangan yang cukup redup Menik rasakan penasaran yang mendalam. Deretan buku yang berjejakan terselip buku tua dan using.

“ Apa yang kamu lakukan disini.” Nyai Nihak datang tak diundang. Berhasil membuat Menik gelagapan. “ Pergilah ke kamarmu tidak baik menggeledah tempat yang bukan tempat untukmu.” Menik langsung tak enak hati, ia berjalan gemetar. Tatapan sinis Nyai Nihak bukan main kali ini. Mata dan hati seseorang merasa resah kala itu, terjaga dalam tidurnya. Cahaya bulan tak sampai langsung ke pelataran kamar, tersangkut gorden yang bergoyang.

Sayup suara burung liar berpeluang tampil di alam lepas. Cerita apik terjalin dan hampir saja terpegat. Bumi tua ini semakin merasa risau akan melunaknya samudra pemahaman. Bunga api akan segera dimainkan, tanpa serpihan buih di sekelilingnya. Rasa yang akan segera terlepas dari jeratan ikatan palsu yang hanya mengada-ngada. Rindu terus menggumpal dan akan rontok dengan hati dan perasaan.

(baca juga: Debater)

Kabut masih menyelimuti jalan hutan menuju Antogan. Pandangan Menik agak kabur akibat kaca matanya yang mengembun. Tidak jadi masalah ia jajaki langkah demi langkah jalan setapak itu. Merasa risau sebenarnya, pertanyaan apakah Sairik datang menemuinya apakah tidak adalah sebuah pertanyaan yang pantas ia pertanyakan waktu itu.

Keadaan Antogan masih sama dengan yang kemarin yang berbeda hanyalah ada seorang laki-laki yang sedang duduk di pertengahan anak tangga menuju Air Terjun Antogan itu. Dengan teliti Menik memilah pandangannya pada siluet seseorang itu tidak salah lagi itu adalah Sairik.

“ Kau ternyata datang juga.” Sapa Sairik. Menik mendekati Sairik dan duduk di sampingnya. Sairik memandang lekat mata sayu Menik. Indah tatanan bulu matanya, merenyuhkan hati yang sudah lama tak bertuan.

“ Kau tahu buku ini Sairik?.” Benar sekali buku itu adalah buku yang ada dalam ruangan tadi malam. Rupanya Menik berhasil mendapatkannya tanpa ketahuan Nyai Nihak sedikitpun.

Sairik terperanjat atas apa yang Menik sadurkan. darimana ia mendapatkan buku ini? Kerutu hati Sairik yang tidak mungkin didengar Menik.

“ Ini hanya sekedar buku Bahasa Using biasa. Tidak terlalu penting isinya.”

“ Apakah kamu yakin, bagaimana kalau kamu berbohong.” Raut muka Sairik langsung memerah seakan melebam akibat jotosan kalimat Menik. “ Bagaimana jika aku tahu isi buku itu.” Menik tersenyum sinis.

“ Kau sepatutnya tidak berada di sini Menik. Lagi-lagi kau membawa buah munder itu.”

“ Sudah kuduga kamu pasti tahu tentang semua ini, dan adakah yang salah dengan buah munder ini.” Sairik merasa telah berhadapan dengan orang yang tidak biasa. Lantas ia tarik tangan Menik dan mencoba membawanya jauh sejauh jauhnya dari tempat itu.

(baca juga: Sepotong Senja Untuk Ayah)

Angin tenang berubah menjadi raungan yang menyelimuti siapa saja yang ada di dekatnya bahkan bisa-bisa badan yang gontai bisa terhempas jauh entah kemana. Dengan penglihatan seadanya Menik melihat derapan kuda lengkap dengan gardunya melintas dan berhenti di depannya.

Seorang wanita cantik dengan perlahan keluar dari sakta gardunya. Tak disangka tak di duga perempuan itu ternyata Nyi Roro Kidul, yang menurut babad Tawangulun yang ia temukan di villa Nyai Nihak merupakan permaisuri Raja Tawangulun. Nyi Roro Kidul menggerakkan tangannya seakan memerintahkan sesuatu benar saja tak menunggu waktu lama ada seseorang datang dengan menyeret sesuatu.

Betapa terkejutnya Menik bahwa yang datang adalah Nyai Nihak yang sedang menyeret ibu tercintanya. Tidak perlu di komando kaki Menik langsung berlari dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan Menik memeluk erat tubuh ibunya.

Tidak begitu lama ia memeluk ibunya. Nyi Roro Kidul langsung menghempaskan tubuh Menik hingga terpental di hadapan Sairik. Sairik langsung membantu berdiri, Rempeg langsung menyambar Sairik secepat kilat dan membawanya pergi dari tempat itu. Raungan angin lebat kembali terjadi. Kali ini seorang lelaki gagah sudah berdiri tepat di samping ibu Menik. Benar sekali ia adalah Tawangulun.

“ Apa yang kamu inginkan dari tempat ini.”

“ Saya tidak menginginkan secuilpun sesuatu dari tempat ini. saya hanya ingin ibu saya kembali.”

“ Apakah kau tak melihat ibumu sudah bahagia di dunia lain yang jauh menyenangkan dari duniamu yang kumuh. Apakah kau masih menyuruhnya untuk bisa hidup bertahan di dunia kumuhmu gadis manis.”

“ Kau tidak seharusnya membuat ibuku seperti itu. Memperbudak orang-orang yang tak bersalah. Kau leluhur yang tidak tahu arti dari sejarah. Kau dan juga Mbah Rempeg adalah perampas kebahagiaan orang.”

Tanpa berikir panjang Tawangulun menghempaskan tubuh Menik kesana dan kemari. Kokok ayam menghentikan penyiksaan tanpa berarti itu. Semuanya kabur Menik dengan sisa tenaganya mencoba berdiri dari kelemahannya. Ia berjalan entah kemana mencoba mencari ruang dan waktu yang membuat pikirannya tak lagi dikuasai olehnya.

Menik melirik ke bawah pohon yang cukup mengundang rasa penasarannya, pohon buah Munder. Ia melihat ibunya berdiri memperhatikannya.

“ Apa yang terjadi ibu?.”

“ Kau tidak salah datang ke sini. Dunia kita sudah berbeda nak, kau harus memperjuangkan duniamu. Munder yang telah engkau makan sekian banyaknya itu adalah kunci sehingga kau bisa mengetahui kebenaran ini. pulanglah, kerjakan apa yang seharusnya kamu kerjakan. Sejarawan sepertimu haruslah menulis tentang leluhur yang harus dipercayai tanpa harus mencari asalnya sampai dalam.”

Menik meraih barang-barangnya yang tergeletak di tanah. Villa yang tempati hanyalah pohon besar di tengah belantara hutan. Nyai Nihak dan Mbah Rempeg ternyata leluhur yang tidak mengundang untuk diganggu. Sairik berdiri di ujung jalan sekali lagi ia menatap lekat mimik Menik.

“ Maaf, tidak seharusnya lelembut sepertiku menyukai mata sayumu yang tidak pantas aku miliki. Makanlah buah munder maka kau akan keluar dari sini tanpa kau lupa dengan apa yang telah terjadi.” Sairik terseret mundur dari hadapan Menik. Tanpa dikomando air bening mengalir. Baru ia akui jika dia juga menyukai lelembut dari desa bunder itu.

(baca juga: Takrir)

Kalimat-kalimat Antogan yang tertata rapi di catatan ibu, merupakan rangkaian rantai yang membuat kisah yang tidak akan menjadi abu dalam sekam. Munder adalah buah yang saat ini ia pegang. Karena ia merasa haus ia menggigit, mengunyah, dan menelannya.

Penulis merupakan siswa SMA Nuris Jember kelas XII IPS 1. Dia aktif sebagai anggota ekstrakurikuler Jurnalistik Website Pesantrennuris.net

Related Post