Debater

Penulis: Ayu Novita Sari

Angin berjalan mengitari langit. Ruang alam yang serasa pengap terpecah melebur, dengan hempasan angin kejora. Rayap berbisik pada tanah, agar membantu merobohkan tembok kokoh. Belayan lembut sutra cukup menemani fajar kantuk di penghujung bulan. Tubuh semampainya berdiri kokoh ditemani matanya yang hitam arang memandang bumi kemerahan. Sayup-sayup kumandang adzan menyadarkan lamunan fajar. Tenang. Nyaman. Sejuk memaksa merasuk ke pori-pori kulit. Dengan mata tertutup ia mengambil satu helaan nafas.

Diruang yang cukup luas berisikan orang-orang hebat masa depan. Seorang anak asing memasuki dengan langkah yang gugup. Ia pandangi seisi ruangan hingga ia menemukan titik dari sekian banyaknya objek. Ia melihat seseorang yang selalu ada dalam bayangannya.

“Assalamualaikum kak?.” Iklil membuka suara yang membuat seisi ruangan terpusat padanya.

“Ada yang bisa saya bantu?.” Seseorang mengangkat suara. Iklil tak melanjutkan suaranya. “Adek cari siapa?.” Suara itu membubar jalankan lamunannya.

“Saya ingin bertemu Bu Mela kak.”

“Mejanya yang sebelah sana.” Seseorang itu menunjuk salah satu meja yang berada di pojok ruangan itu. Senyuman itu meneduhkan hati siapa saja yang melihatnya.

“Terima kasih kak.” Pamit Iklil dibarengi dengan anggukan seorang perempuan itu.

Di ruang dan suasana yang berbeda. Semua sibuk dengan peralatan tehnik lengkap dengan pajangan hasil karya mereka.

“Hal lu udah ngomong nggak ke Anis, kalok lu masuk final?.” Tanya Ujik.

“Nggak gua mau bikin kejutan ke dia.” Jawab Sahal dengan tangan yang masih mengotak atik robot mobil buatannya.” Gua mau ke Anis dulu!.” Sahal berhenti dari aktifitasnya dan membersihkan peralatannya.

Anis membereskan berkas-berkas yang sedari tadi ada dimejanya. Ruang ekskul yang menjadi saksi kesibukannya selama masa SMA sudah seperti teman yang tak bisa ia utarakan. Suara decit pintu mengalihkan pandangannya.

“Siang ratu.”

“Apaan sih, gua geli dengernya.”

“Ini nih yang gua nggak suka, lu tuh nggak bisa diajak so sweet.” Sahal melangkah mendekati Anis. “Ke kantin yuk.”

“Gua nggak bisa, masih punya janji sama Bu Mela, ketemu jam istirahat.” Jawab Anis dengan mimik yang merasa bersalah.

“Kapan sih lu nggak sibuk?.”

“Entah!. Gua duluan ya!.” Berlalu meninggalkan Sahal dalam ruangan.

“Kapan sih lu punya waktu buat gua.”

Kipas angin berputar dengan mestinya. Angin mendesir pasir yang lemah dan semakin lemas, ruangan yang cukup besar itu penuh dengan pahlawan yang memperjuangkan kepintaran SDM negara. Di bagian tengah ruangan, Bu Mela berdiam di tahtanya, jika pekerjaannya sebagai pembina utama ekskul selesai.

“Ada yang bisa saya bantu bu?.”

“Jadi gini Anis, bulan depan ada lomba debat. Saya mengusulkan nama ini untuk menjadi timmu.” Anis mengambil selembar kertas yang disodorkan Bu Mela. Tertera disana nama yang tidak asing baginya. Nabila Ilmagfiroh adik kelasnya di kelas XI IPA 1 dan teman seangkatannya di kelas XII IPA 1 yaitu Ningrum Septia. ”Jadi, kamu bisa mengabari mereka sekarang karena besok kalian harus latihan.”

“Baik bu.” Anis keluar ruangan dengan rasa yang tak bisa ia utarakan. Ia harus menghabisi hari-harinya selama satu bulan untuk bimbingan itu. Bagaimana dengan waktunya dengan Sahal yang akan tersita. Angin menghembus membelai rambutnya. Nakal.

***

Anis membolak balikkan tubuhnya di atas kasur. Jam menunjukkan jam sembilan malam, tetapi ia masih tidak mendapatkan satu pesan chat ataupun telepon dari Sahal. Ia teringat dengan kejadian di ruang ekskul tadi, mungkin itu adalah kejadian yang sudah beberapa kali terjadi, tetapi kesibukannya membuat ia sering tidak mengerti perasaan Sahal. Rasa bersalaah menghantuinya, bayangan yang selalu mendukungnya mengiang dan rasa rindunya masih belum rontok. Inisiatif hati dan otaknya untuk meminta maaf besok hari sudah menguatkan tekatnya. Dengan ide yang muncul tiba-tiba untuk membuatkan Sahal sarapan pagi.

Shubuh sekali Anis sudah terjaga dalam tidurnya. Ia sudah menyiapkan bahan-bahan yang akan di olahnya. Keributannya di dapur membangunkan bunda tercintanya.

“Masak apa sih kak?.” Tanya bunda

“Ini bun mau buat, sarapan. Kakak mau minta maaf ke Sahal, jadinya biar so sweet gitu.”

“Lucu ya kamu kak. Bisa so sweet juga.” Goda bunda. “Udah ah bunda mau shalat dulu.”

“Apaan sih bunda, jadi malu kan.”

Kemarahan Sahal sudah terlihat dari pagi. Ia memang sengaja tidak menjeput Anis dan malah membonceng Vila, mantannya. Yang sontak membuat teman-temannya tercengang, melihatnya di parkiran yang datang bersama mantannya itu.

“Lu kesambet apaan?.” Ujik menimpalinya dengan sinis.

“Lu jalan duluan aja ke kelas, gua sama temen-temen gua disini.” Sahal tidak menggubris ocehan Ujik. Vila yang menggandeng tangannya sontak saja kaget karena tangan Sahal melepaskan tangannya yang memeluk lengannya.

“Gua mau bareng sama lu.” Timpal Vila.

“Gatel banget sih lu jadi cewek, udah sana pergi. Kalok nantik Anis ngeliat bisa abis lu.” Tak lama Ujik menyelesaikan ocehannya. Anis muncul dari luar gerbang seorang diri. Ia memerhatikan kejadian yang menyambutnya. Tatapan Sahal yang penuh dengan rasa sayang, tetapi genggaman Vila yang membuat hatinya panas. Anis perlahan mendekati mereka.

“Lu udah makan, belum?.” Anis membuka percakapan yang membuat semuanya kaget. “Kalok belum makan ayok sarapan sama gua, gua bikinin lu sarapan. Tapi kalok lu nggak mau gua bisa ngasik ini ke pak kebun.” Lalu Anis berjalan meninggalkan mereka. Dia tidak merasakan adanya langkah yang mengejarnya. Ia merasan bahwa Sahal memang benar-benar bosan dengan kesibukannya.

Kelas sudah ramai karena ditambah anak-anak yang masih belum menyelesaikan tugasnya. Anis membolak balik buku bacaannya tanpa punya selera untuk membacanya. Keramaian yang terjadi tidak sama sekali membuatnya fokus pada situasi. Tetapi, semua menjadi tenang ketika seseorang memasuki kelasnya.

“Tawaran sarapan pagi masih berlaku kan, atau lu udah ngasik ke pak kebun?.” Sontak saja Anis kaget dan mendongakkan wajahnya. Sahal sudah berdiri di samping kursinya, dengan tatapan wajah yang hangat. Anis keluar kelas dengan membawa kotak makannya, yang langsung diikuti Sahal.

Anis duduk di depan kelas, dengan meletakkan kotak makannya di samping duduknya. Sahal langsung mengambil tempat di samping Anis.

“Gua makan ya!.” Anis tetap memandang ke arah depan. “Lu masak sendiri ceritanya nih, lumayan sih.” Anis hanya membalas dengan anggukan. “Lu kenapa Nis? Sakit!.” Anis menarik nafas panjang, mendengar pertanyaan Sahal.

“Gua minta maaf masalah kemarin. Pasti lu udah bosan.” Anis menundukkan kepala.

“Lu bisa so sweet juga ternyata ya. Lu pasti cemburu.” Sahal mengalihkan pandangannya membalas tatapan Anis. “Gua ngerti kok Nis, lu tuh udah cinta sama kesibukan lu. Gua nggak bisa misahin lu sama itu semua. Masalah tadi pagi gua nggak jemput lu karena di tengah perjalanan gua ketemu Vila motornya mati jadi gua ajak dia.”. “Gua nggak marah kok sama lu, saling percaya. Itu yang gua mau.” Sahal mengelus kepala Anis dengan lembut.

Senyum teduh yang tersurat meluluhkan hati yang hampir membeku. Angin menghembus pelan dalam penjelajahannya. Awan berubah bentuk sesuka hatinya. Tenang.

***

“Jadi kalian adalah delegasi yang akan mewakili sekolah kita di lomba debat tingkat nasional. Dua tim, tim Anis dan tim Iklil.” Begitu pernyataan Bu Mela. “Jadi kalian bisa mulai bimbingan besok. Sekarang boleh kembali ke kelas.” Pernyataan yang di lanjutkan dengan anggukan mereka dan mereka beranjak ke luar ruangan.

Iklil tidak langsung pergi ke kelasnya karena masih jam istirahat. Ia berniat pergi ke perpustakaan tetapi ketika ia melihat seseorang yang selama ini ada di bayangannya ia langsung mengurungkan niatannya. Ia melangkah menghampiri seseorang itu. Tetapi langkahnya terhenti ketika ia melihat seseorang itu bersama dengan orang lain. Terdiam.

“Gua denger-denger lu ikut debat ya.?”

“Cepet banget ya beritanya nyebar. Tahu dari siapa?.”

“Ngak penting, semangat ya!. Lu pasti bisa nunjukin yang terbaik ke mereka.”

“Makasih.” Anis tersenyum.

Koridor sudah sepi, semua siswa sudah meninggalkan sekolah ketika menedengar bel pulang. Tetapi Iklil, menatap kosong papan tulis di depannya. Lamunannya pecah ketika seseorang berdiri di depan pintu.

“Kenapa belum balik?.”

“Kak Anis?.”

“Kamu yang ikut debat juga kan? Kebetulan aja lewat terus lihat kamu sendiri disini. ada masalah?.”

“Hmmm … ngak kak, ini mau pulang.”

“Iya udah, kakak duluan ya!.”

Iklil tersenyum. Anis menyusuri koridor, tetapi ia ingat sesuatu ketika melihat ruang laboratorium yang sering dipakai Sahal membuat karya robot bersama dengan teman-temannya. Ketika ia membuka lab benar saja semua orang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Seseorang diantara mereka sadar akan kedatangan Anis.

“Anis?. Ngapain kesini?.”

“Kamu belum pulang?.”

“Iya, ini masih nyelesain proyek. Mungkin aku pulang nanti sore. lu pulang sendiri hari ini bisa kan?.”

“Ngak masalah sih.”

Harapan Anis untuk pulang dengan dengan Sahal diurungkannya karena melihat kesibukannya. Ia terpaksa menunggu angkot, tetapi seseorang datang dengan membawa minuman.

“Kakak sendiri?.” Sambil menyodorkan minuman.

“Makasih. Iya sendiri, kakak kira kamu udah pulang.” Iklil tersenyum ramah. Tetapi angkot yang ditunggu Anis sudah datang. Anehnya Iklil ikut naik angkotnya. Di dalam perjalanan tidak ada percakapan yang terjadi untuk mereka berdialog satu sama lain. Ketika Anis turun dari angkot Iklil juga ikut turun mengikuti Anis. Anis tersenyum melihat tingkah laku Iklil.

“Rumah kamu di daerah sini?.” Iklil menggeleng dan di barengi dengan senyumannya. “Terus?.” Anis melanjutkan pertanyaannya. Iklil terdiam.

Anis melanjutkan jalannya sampai ia berhenti dari langkahnya di depan toko buku yang tidak terlalu besar langganannya.

“Jadi kakak mau ke toko buku?.” Iklil membuka suara.

“Iya!.”

“Sebenarnya saya juga.”

“Kenapa tidak bilang.” Lagi-lagi Iklil hanya tersenyum.

Barisan buku yang di tata di rak sesuai dengan tipenya. Mereka tenggelam sesuai selera mereka. Sampai mereka menemukan buku mereka masing-masing.

“Kakak suka novel?.” Anis tersenyum. Rupanya langit sudah mulai menggelap. Kebiasaan Anis ketika sudah berada dalam toko buku yaitu lupa waktu. Mereka berjalan menyusuri jalan sehingga langkah Iklil terhenti ketika melihat tukang bakso.

“Makan yuk, kak. Pasti kak Anis lapar.” Iklil menarik tangan Anis untuk duduk di tempat yang sudah di sediakan. Karena perut yang memang masih kosong maka Anis mengiakan ajakan Iklil. Sambil menunggu bakso datang mereka berdialog singkat.

“Kamu tahu nama saya?.” Anis membuka percakapan.

“Siapa yang nggak tau kakak.”

“Maaf. namamu siapa?.”

“Nama saya Iklil kak kelas XI IPA 3.” Anis mengangkuk paham. Tak menunggu waktu lama pesanan mereka datang.

Malam gigil menaburkan aroma mawar. Sebagian tubuh bumi tertidur lelap karena kelelahan. Jalanan ramai, karena waktu kesibukan sudah mulai selesai. Kelap-kelip lampu jalan mengiringi jalan mereka. Setelah satu jam berjalan akhirnya mereka menemukan angkot. Cukup setengah jam perjalanan menuju rumah Anis.

“Makasih ya, untuk hari ini. Semangat latihan debatnya.” Anis melemparkan senyumnya.

Malam berlalu begitu saja. Ruang dan waktu menjadi terdiam ketika kebisuan ingin bersuara. Ketika kata-kata ingin bersuara.

***

Embun bersetubuh dengan sejuk.

“Lu habis jalan sama tuh bocah?.” Sergap Sahal ketika Anis baru memasuki gerbang utama. Sahal menunjuk Iklil yang duduk di kursi taman dengan bukunya.

“Iya.” Jawab Anis singkat.

“Bagus.” Sahal berbalik meninggalkan Anis.

Anis hanya terdiam melihat tingkah Sahal. Pelatihan yang harus di jalaninya menyita waktu pelajarannya di kelas. Hari ini harinya semakin lelah ketika melihat Sahal tak menemuinya dan ketika ia melihat laki-laki itu membonceng Vila mantanya pulang sekolah.

“Kakak bertengkar sama kak Sahal?.”

“Nggak.”

“Tuh, kenapa kak Sahal ngebonceng kak Vila?.”

“Udah biasa.”

Pelatihan dilakukan sampai sore hari.

Malam semakin mencekik, Iklil tak bisa memejamkan matanya.

Pelatihan berlangsung lancar jam istirahat dimanfaatkan Iklil untuk mengisi perutnya yang kosong. Ketika melewati ruang ganti olah raga ia melihat dan mendengar percakapan di lorong.

“Lo marah?.”

“Gue cemburu.”

“Ciyelah. Cemburu sama adek kelas?.”

“Tau ah, lo nggak pernah ajak gue ke toko buku.”

“Emang lo mau?.” Sahal menarik nafas mendengarkan pertanyaan Anis.

“Pulang sekolah ikut ya beli bahan ke toko elektronik.”

“Kenapa nggak ngajak Vila aja?.” Jlepp … . sahal menggelembungkan pipinya. Anis tertawa.

Masa pelatihan berlangsung tiga minggu artinya perlombaan akan dilaksanakan satu minggu lagi. Iklil semakin mengenali Anis yang menjadi bayangan dari pikirannya. Tetapi ada hati yang lain yang telah menjadikan nyata bayangan itu.

“Kak Anis, Iklil nggak bisa ikut pelatihan hari ini.”

“Kenapa?.”

“Sakit.”

“Iya udah pelatihannya libur dulu hari ini.”

Mendengar Iklil tidak masuk hari ini. Anis langsung meluncur ke rumah Iklil setelah meminta alamatnya ke Ifan tim Iklil. Angkot yang ia tumpangi berhenti di sebuah rumah yang memiliki gerbang putih. Satpam membuka pintu untuknya, ia melihat taman yang sangat indah lengkap dengan koleksi bunga. Belum juga ia memencet belnya ia sudah dibukakan pintu oleh wanita yang umurnya sekitaran sama dengan bundanya.

“Assalamualaikum tante. Iklilnya ada?.”

“Oh, Iklil pergi kerumah neneknya di Bogor. Cantik, temannya pasti ya?.”

“Perkenalkan tante saya Anis kakak kelasnya. Saya kesini berniat menjenguk Iklil, soalnya saya dapat kabar Iklil sedang sakit.”

“Ia, dia kalau sakit suka di rumah neneknya, kemungkinan lusa sudah sekolah. Ada pesan buat dia?.”

“Ndak tan, sampaikan saja ucapan cepat sembuh dari saya.” Anis tersenyum yang lanjut dengan pelukan hangat dari bunda Iklil yang tak mengerti maksudnya. Tawaran masuk ditolak Anis dengan tolakan tugas yang menumpuk, tetapi sebenarnya tidak enak dengan keadaan yang seperti ini.

***

“Gue masuk final.” Sahal memandang perempuan di sampingnya.

“Intinya?.” Anis menutup buku bacaannya.

“Gue harus ninggalin lu ke luar kota.”

“Udah biasa kan!.”

“Aku takut.”

“Kenapa?.”

“Takut aja.”

“Ngeri ah, bahas beginian. Lu percaya aja sama gue, gue tetep nunggu lu kok.” Anis melempar senyum teduh. Sahal memegang tangan Anis.

Awan bergerak terbawa angin. Daun jatuh berguguran ketika angin nakal menyenggolnya. Cahaya mentari jatuh merasuk ke rumput taman dan bangku taman membuat bayangan. Disana ada jalan, yang membuat seseorang bingung harus memilih persimpangan jalan mana yang akan dia lewati.

“Lu bisa juga sakit.”

“Iklil manusia kak.”

“Ok, lomba kurang satu minggu lagi jadi kita harus jaga kesehatan dan fokus latihan.” Pernyataan yang di lontarkan Anis membuat semuanya mengangguk.

***

Keadaan yang difonis akan berakhir. Waktu dan ruang menciptakan sejarah yang memperpanjang waktu. Waktu yang menuntut untuk kembali tetapi ditolak karena sebuah kisah yang akan diselesaikan. Tetapi darah sudah tidak kuat untuk mengaliri tubuh, hingga tubuh tumbang di saat sendiri. Disaat rasa tumbuh dan semakin menyesakkan dada, hati menggumang untuk hal itu. Ruang rindu.

“Lu kenapa tegang gitu.” Anis memperbaiki posisi duduknya mendekati Iklil.

“Takut kak.” Iklil menatap peserta debat, tanpa menoleh sedikitpun pada Anis.

“Lu bisa Klil, percaya pada Allah. Lu hadepin aja lihat impian lu sama temen-temen lu.” Anis meraih tangan Iklil. Iklil menoleh pada Riki dan Ifan yang sedang membaca materi debat mereka lalu membalas genggaman tangan Anis.

“Kak makasih ya udah ngasik banyak pelajaran satu bulan ini.” Iklil memberi sebuah kotak berwarna biru dan meraih telapak tangan Anis agar menerima kotak itu. “Jangan buka sekarang kak, buka kotak ini ketika kakak merasa kehilangan saya.” Iklil lalu berangsur pergi ke timnya. Anis terdiam.

Proses lomba debat sangat panjang. Senja telah menampakkan tubuhnya. Matahari yang sudah kelelahan, pulang ke tahtanya. Malam menyapa tetapi debur semangat para debater tetap tersulut keringat kelelahan mulai tampak pada peserta yang lulus sampai tahap terakhir. Mosi-mosi yang di pilih menghadirkan pro kontra yang harus dipecahkan.

“Nggak papa, kalah menang udah biasa kan masih banyak kesempatan buat kita.” Anis menguatkan timnya saat diumumkan jika timnya tidak lolos. “Terpenting kita sekarang beri semangat ke Iklil, Ifan, sama Riki karena mereka harapan sekolah kita sekarang.”

Duduk di bangku taman. Anis terdiam melihat burung yang sibuk mencari rerumputan kering untuk merangkai sangkar di atas pohon. Hangat. Lamunannya bubar jalan ketika terdengar suara sepatu berlari ke arahnya.

“Kak Iklil nggak mau keluar dari kamar mandi. Final debat 10 menit lagi.” Riki mengatur nafas. Tanpa ba bi bu lagi, Anis langsung berlari menemui Iklil.

“Iklil keluar sekarang. lu nggak kasian sama teman-temen lu. Kalian udah terlanjur masuk kalian harus perjuangin bareng.”

“Saya nggak bisa kak.” Ada jawaban dari balik pintu.

“Lima menit lagi babak semi final udah dimulai. Lu kalok tetep egois gini, lu bakalan ngedis temen-temen lu. Lu nggak kasian? Mana mimpi lu.”

“Semuanya udah nggak ada kak.”

“Ok! Jangan harap kamu bisa ketemu kakak lagi.”

Ruangan sudah riuh dengan tepuk tangan suporter. Pikiran Anis masih tertuju pada bangku Iklil yang entah kemana pemiliknya tergambar disana kecemasan Riki dan Ifan. MC sudah membacakan peraturan lomba, memperkenalkan peserta final, dan debat babak terakhir ini akan segera dimulai tapi, masih belum ada tanda-tanda Iklil datang. Anis berdiri dari duduknya membereskan barang-barangnya dan berniat untuk pulang. Tiba-tiba terdengar tepuk tangan meriah menyambut seseorang. Benar saja Iklil menaiki panggung dan duduk di tempatnya. Anis mengurungkan niatannya.

Debater. Perbedaan itu akan terasa disaat kita belajar dan mengajarkan. Yang harus kita tahu perbedaan bukan awal dari perpecahan tetapi, awal dari ikatan.

***

Iklil berjalan melewati koridor. Setelah di nobatkan sebagai tim debat juara satu nasional nama Iklil, Riki, dan Ifan menjadi perbincangan di seantero SMA. Ketika melewati ruang musik ia mendengar lantunan petikan piano yang sangat merdu. Melihat dari sela-sela pintu ia mengenal perempuan itu. Anis. Bayangan yang membuatnya hidup.

“Segitunya ngeliatin Anis.” Lalu terdengar suara dari balik tubuhnya.

“Eh, kak Sahal. Nggak hebat aja udah cantik, pinter, bisa main piano, jago basket lagi.”

“Lu suka?.”

“Kan kak Anis sama kakak.”

“Bagus kalok kamu ngerti.”

Iklil berlalu. Awan mulai menampakkan mendungnya. Hujan meminta untuk membasahi bumi. Gemuruh terdengar di ujung seantero bumi. Tetapi langkah masih ingin melangkah. Waktu memaksa untuk pulang.

(baca juga: Menjelang Shubuh)

“Lu kenal Iklil?.” Suara piano Anis terhenti mendengar pertanyaan Sahal.

“Iya, kenapa?.”

“Tuh bocah kayaknya suka sama lu.”

“Terus?.”

“Gue nggak suka aja.”

Anis tertawa.

Malam mulai berlabuh dalam ruangan bumi. Dingin merasuk mengganggu tulang. Anis membolak balik kotak biru dari Iklil. Penasaran dengan isi tetapi ia masih terikat janji untuk membukanya. Ingin rasa esok cepat menggantikan malam yang dingin. Menemui laki-laki itu dan meminta ijin untuk membukanya.

Gorden putih melambai masuk ke ruangan. Mata seseorang masih terjaga walau malam sudah separuh.

Sekolah sudah ramai. Anis mempercepat langkahnya menuju kelas XI IPA 3. Iya, kelas Iklil. Dari kejauhan ia melihat Riki dan Ifan duduk di depan kelas mereka.

“Pagi dek.”

“Ehh, kak Anis. Ada apa kak?.”

“Iklil udah datang dek?.”

“Oh Iklil, seminggu ini nggak masuk kak. Alasannya nggak tahu kenapa. Tapi, anehnya guru-guru nggak pernah nanyain dia.”

“Hmm … iya udah makasih ya.”

Anis bergegas ke ruang guru berniat bertemu wali kelas Iklil, bertanya keberadaannya.

“Sebernarnya Iklil meminta untuk merahasiakan kepindahannya. Tapi anehnya ia berpesan jika ada anak bernama Anis Amartia kelas XII IPA 1 untuk memberi tahu kebenarannya agar tidak bingung. Setahu ibu cuma kamu pemilik nama itu.” Mendengar pernyataan itu Anis langsung bergegas ijin untuk pergi ke rumah Iklil. Tak menunggu waktu lama ia sudah sampai di depan rumah yang dulu sempat ia datangi. Ini kedua kalinya.

Berbeda dengan pertama kali ia mendatangi rumah ini. Kali ini dalam waktu dan suasana yang berbeda. Bendera kuning. Siapa yang meninggal?. Anis berjalan tenang, semua pandangan tertuju padanya. Seorang ibu yang pernah ia temui waktu itu tak seceria seperti waktu dulu. Air mata berhasil menutupi wajah tegarnya. Anis mencoba mengintip ke dalam ruangan terdapat tubuh lemas disana yang sedang beristirahat untuk selamanya. Kebingungan yang sangat tersurat di mimik Anis membuat ibu Iklil buka suara.

“Itu Iklil nak?.”

Jlepp …

Betapa rapuhnya Anis kali ini tidak kuat berdiri dan menjatuhkan tubuhnya. Seseorang yang sebulan lalu bersenda gurau dengannya ternyata memiliki masalah hidup yang sangat muluk. Iringan tahlil menggema dalam pemakaman umum mengiringi tubuh Iklil. Ia tak mengerti mengapa merasa kehilangan adek kelasnya itu.

“Jangan langsung pulang ya Anis. Ikut tante ke rumah dulu. Banyak hal yang akan tante tunjukkan ke kamu.” Anis mengiakan ajakan Bunda Iklil.

Ruangan yang cukup lebar itu di penuhi dengan alat medis yang sangat lengkap. Di pojok ruangan terdapat tabung oksigen yang sudah di tinggal penggunanya. Betapa terkejutnya Anis ketika melihat banyak potret fotonya dengan berbagai gaya dan kegiatan.

(baca juga: Jalan Sutra)

“Iklil mengagumi kamu Anis, tapi ia datang dalam waktu yang tidak tepat. Iklil mengidap penyakit kanker otak selama dua tahun yang lalu tapi ia berusaha untuk hidup lebih lama. Sampai akhirnya dua bulan lalu dokter memfonis umurnya kurang satu minggu lagi. Hebatnya ia bertahan melewati hari yang sudah diperkirakan. Itu karena kamu.” Anis hanya terdiam mendengarkan ia melihat banyak mimpi-mimpi yang Iklil tulis di tembok kamarnya. impian terakhirnya membuat hati Anis tersayat. Tercoret disana.

Disaat mata ini tertutup untuk selamanya seseorang bernama ANIS AMARTIA, mengiringi tubuh lemas ini di persemayaman.

“Terima kasih Anis.” Bunda Iklil memeluk Anis dengan pelukan terhangatnya.

***

Aroma tanah yang masih basah karena hujan masih tercium. Seseorang tertunduk melihat nama di sebuah batu nisan yang masih belum lama di tancapkan. Ia merasa kehilangan.

Seantero tanpa ruang.

Aku melihatmu dan aku tahu semua kegiatanmu. Aku mengagumimu tapi aku terlalu lemah untuk kesempurnaanmu. Kau bahagia rupanya dengan kehidupanmu dan seseorang yang menyanyangimu. Maaf saya pernah datang dalam kehidupanmu. Membuatmu terganggu dengan mimpi-mimpiku. Rasa kehilanganmu membutaku tersenyum saat kau membuka kotak pemberianku. Jangan takut! Aku berada di sampingmu saat itu. ANIS AMARTIA. Tersenyumlah.

Penulis merupakan siswa SMA Nuris Jember kelas XII IPS 1. Dia aktif sebagai anggota Msains sejarah dan juga ekstrakurikuler Pesantrennuris. net

Related Post