Penulis : Tasya D. Amalia
Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.[1]
Langit beratap kelabu, embun rintik di penghujung senja. Burung-burung mengepak sayap semakin kuat tatkala bulir air mulai berjatuhan dari sana. Hembusan angin menggoyang dahan pada sebilah pohon tak berdaun. Rantingnya terbuka meminta tolong. Setapak demi setapak tanah terbasahi. Menjerijit hati tak terima melihat sekuncup mawar tergeletak tak bernyawa. Mata menjadi sembab menahan tangis. Salahkah jika menjadi tenang? Terngiang kejadian silam. Ia tersenyum…“Budi, kalau besar mau jadi apa?” tanya bapak. Di pangkuan bapak, Budi melihat bintang sembari memakan es krim.”Emangnya penting ya, Pak?”“Orang itu kalau nggak punya cita-cita yang bener, bakalan jadi penjahat, kamu tahu? Mereka itu loh… yang punya rambut gondrong dan celananya bolong-bolong. Mereka suka mengganggu. Nggak berguna. Sukanya jadi sampah masyarakat. Mereka-mereka itu yang suka bapak hapuskan.”“ Wah… bapak hebat. Seperti Superhero… Siapa itu namanya… Super.. Super..”
“ Siapa… Siapa? Ayo dong yang cepet jawabnya. Masa anak bapak lemot sih… bapak hitung loh… satu, dua… ti…”
“ Su… su.. super… superman… ya… itu. Bapakku Superman.” Teriak Budi dengan bersemangat. Biarlah langit dan bumi tahu bahwa ia begitu bangga pada bapak. Mereka tertawa. Bapak tak henti-hentinya memeluk dan mencium anaknya. Malam serasa dipenuhi bintang, padahal di luar sedang hujan.
“Pak… masih lama nggak? Soalnya Budi ngantuk, besok ‘kan ada pelajaran matematika. Nanti kalau Budi ketiduran, bahaya.” Bapak tersenyum. Bapak selalu tanggapi ocehan dengan senyuman.
“Emangnya kenapa kalau pelajaran matematika? Gurunya jahat ya?” Budi menguap sebentar. Rasa kantuknya ini benar-benar tak tertahankan.“Bukan Bapak… Budi itu hanya takut kalau nanti ketiduran akan ketinggalan pelajaran. Budi inget Bapak pernah bilang kalau jadi orang kita harus berguna. Karena itu Budi mau belajar bener-bener. Apalagi matematika… Budi ‘kan nggak bisa matematika.” Bapak seketika terdiam. Budi beringsut di pangkuan bapak. Kepalanya tertelungkup di pahanya. “Nak, Bapak hanya bisa berdoa, semoga kau dapat berhasil melebihi bapak” batin Bapak. Tak terasa pipinya basah.
Beribu selebaran telah disebar. Beraneka koran harian koar-koar. Segenap petugas pasar rela mengambil harga dasar. Spanduk bertuliskan macam-macampun dipajang. Tak ada yang mau mengalah. Orang-orang berkeliaran di jalan. Seperti hendak unjuk rasa, tapi bukan, mereka sedang bekerja akibat selembar uang di saku yang bersarang. Toa-toa disiapkan. Seseorang dipilih untuk bersiar, “ Bunuh tersangka itu! bakar saja!” lantas salah satu dari yang lain melempar sebuah ban ke jalan. Sebotol bensin sukses tersiram habis. Jalanan bertambah riuh. Nyala api terbakar.
Budi diam saja memperhatikan dari balik kaca mobil yang berdebu. Bapak mengatakan ia akan pergi sebentar. Sudah lebih dari tiga jam Budi menunggu, sampai Bosan ia. Beruntung tak sengaja di hadapannya datang sebuah pertunjukkan. Budi seperti menonton film laga versi Indonesia. Apa yang mereka perebutkan sebenarnya? Oh… mungkin saja ada raksasa yang menyusup, atau sebuah kekuatan yang tersebunyi di gedung itu. tapi apa yang tersembunyi di sana? Itu… kan penjara. Pikir Budi bermain bersama tingkah laku mereka yang semakin aneh. Senjata sahut-menyahut kata dari toa diluncurkan. Berulang kali terjadi lempar-melempar serapah. Bapak mengatakan itu tak boleh dilakukan. Sangat jelek bagi anak kecil seperti Budi. Tetapi, mereka melakukannya seperti menyanyi. Terdapat alunan nada yang membangkitkan semangat. Budi menutup telinga. Melihat mereka nafsu makan Budi melebur dengan angin. Es krimnya pun mencair sudah. Bukan maksud Budi tak menghabiskan pemberian bapak. Hanya saja perutnya sudah tak selera.
Tak lama terdengar suara pintu terbuka. Bapak telah selesai. Setiap hari bapak disibukkan dengan membantu masyarakat. Beragam kasus telah berhasil dimenangkan dan banyak orang tak bersalah selamat. Budi yakin hari ini pasti begitu. Bapak duduk berdebam di kursi. Ia mengusap wajahnya kasar. Tak biasanya bapak kembali dengan wajah tertekuk. Aku menelan ludah.
Apakah ayah marah es krimnya tak kumakan? Pikir Budi. Bapak tak bicara apapun. Kakinya lantas menggenjot pedal gas dengan cepat.
Cplaasss…
Sontak Budi menoleh. Nampaklah cairan kuning membasahi kaca belakang mobil. Budi tertegun, tidakkah mereka sadar kami tidak ikut drama laga versi indonesia itu? jangan-jangan mereka salah sasaran. “Bapak… apa kita juga ikut perang-perangan?” tanya Budi polos. Tanpa menjawab bapak membawa mobil melaju. Di sana orang-orang berseragam menatap tajam. Toa-pun kembali berbunyi. “Ini dia pahlawan kita. Bagaimana pak pengacara? menang? Ha…ha…ha…”
Suara mereka menyeracau di telinga Budi. Toa- toa tua itu selalu berdenging jika digunakan. Budi tak tahu apa bapak mendengar perkataan mereka. Lagi pula Budi tak mengerti. Seberapa besar Budi memaksa untuk memahaminya tetap saja tak bisa. Saat ini yang bisa ia lakukan adalah memikirkan cara agar dapat meminta maaf pada bapak. Dalam hati, Budi berjanji akan menghabiskan pemberiannya. Apalagi es krim makanan kesukaannya. Semoga bapak tak marah.
Maaf kata, kali ini kau sia-sia… memang tak berguna. Sungguh begitu rasa ketika kata sirna.
Bapak pernah berjanji akan membawa mereka pada perlintasan kereta semenanjung dekat pantai. Katanya di sana tempat hati bapak dan ibu bercumbu. Lucu sekali kata itu, memang Budi tak mengerti maksudnya. Tapi pastilah kata itu istimewa jika dapat membuat wajah ibu merona merah saat mendengarnya. “B-U BU… D-I DI… BUDI.” Ucap teman sekelasku. Sungguh mengasikkan mendengar nama diserukan berulang kali oleh banyak orang. Tadi pagi bu guru mengajari Budi dan teman-temannya membaca. Dan lagi-lagi namanya yang digunakan. Ia ingat jika Bapak juga sering disebut namanya di radio. Di televisi juga sering muncul wajah bapak sedang berorasi. Seringkali, nama bapak digunakan.“Saya hanya berusaha membantu sebisanya. Jangan menganggap ini murni dari saya… tentu Tuhanlah yang menghendaki ini terjadi. Saya hanya merangkai kata. Saya menyusun kata-kata” Ucap bapak tatkala sebuah kasus berhasil dimenangkan. Wajah bapak bersinar terkena sinar cahaya lampu blitz yang berlarian.
Ia anggap bapak adalah superhero. Mengobrol dengannya sangatlah mengasikkkan. Tak ada kata yang menjemukkan. Semuanya sukses membuat Budi tertawa. Bapak memang pandai berkata-kata. Kata-kata bapak selalu berhasil membius orang-orang yang mendengarkannya.Namun, berbeda yang dirasakannya saat ini. Malam itu. langit tak bercahaya. Angin dimabuk bara. Para kelelawar berteriak minta tolong. Petir yang bertamu tanpa diundang menumbangkan sarang tempat tinggal mereka. Budi sedang asik menonton televisi. Di dalam kotak itu, Budi lihat sebuah spons kuning berlarian sedang menangkap ubur-ubur. Tatkala berhasil mendapatkan satu ubur-ubur yang lain datang membantu. Jadilah ia tersengat habis-habisan. Budi tertawa mendengar erangan kesakitannya. Belum selesai rasa gelinya, terdengar suara erangan lagi. Kulihat spons kuning itu tak sedang kesakitan. Ia sedang berlarilari ria dengan kawan bintangnya. Lalu siapa?
Erangan itu belumlah usai, justru semakin menyayat hati. Beranjak Budi mencari asal suara itu. melewati lorong-lorong gelap rumahnya, suara itu lamat-lamat lenyap. Budi tak boleh kehilangan asal suara itu. sebisa mungkin Budi harus mendapatkannya. Dan tepat di ujung lorong ia temukan. Mereka membelakanginya. Dari belakang, Budi tahu jika itu bapak dan ibu. Dengan sabar ibu mencoba menenangkan bapak dalam peluk dekapnya. Ia coba lebih mendekat pada mereka. Ia lihat bapak mendongak. Seketika Budi bersembunyi. Tak salah lihatkah Budi jika yang memenuhi wajah bapak adalah darah? Tak salah lihatkah Budi jika yang memenuhi wajah bapak adalah darah?
Napas Budi memburu. Saat ini yang dikatakan nalurinya adalah lari. Sesampainya di kamar, ia tarik tubuh beringsut di atas ranjang. Mata Budi menatap nanar atap yang kehitaman. Ia tak mau menghidupkan lampu agar tak mengejutkan hatinya. Suasana gelap menghantui sekarang. Tak apalah, rasanya ini yang terbaik agar Budi segera terlelap. Mungkinkah bapak begitu sebab es krim?
Seorang penumpang bus tertidur di barisan paling belakang kursi penumpang. Tak bergeming meski asap rokok mengepul menggelitik hidung arang-arang. Seolah tak peduli, ia batuk-batuk kecil lalu ototnya kembali meregang. Padahal kepulan asap putih itu memenuhi tenggorokannya. Benar-benar tak ada yang peduli, baik dia ataupun orang yang di sebelahnya. Ia tetap berpejam mata. Meski tanpa kata ia mengerti bahwa orang di sebelahnya tak berniat untuk menyebarkan racun. Sedang orang yang merokok itu memang begitu. Kecanduan membuatnya ingin merokok dimanapun ia berada. Tetapi ia tak ingin terlalu mengganggu penumpang yang lainnya. Jadilah ia duduk di kursi paling belakang. Menjauh dari orang-orang. Lagi-lagi tanpa kata. Diam.“Sudah dua bulan Bapak nggak ngomong sama Budi. Mungkin bapak marah sama Budi karena es krim yang dulu?” tanya Budi begitu hendak turun dari bus. Kaki sedikit meloncat agar dapat mendarat dengan sempurna pada atas ubin trotoar. “Masa… sih?” tangan kanan ibu dipenuhi belanjaan. Nanti malam akan ada acara di rumah. Ibu akan memasak makanan kesukaan Budi dan bapak. Beberapa tetangga juga diundang. Ibu tersenyum. Ia mengusap rambut cakar ayam milik Budi. Tangan kirinya menggenggam tangan Budi erat. Budi sedikit berjingkat menyesuaikan tinggi badannya dengan ibu. “Bapak nggak pernah marah sayang.” Ibu menghentikan langkahnya dan berjongkok menghadap Budi. “Nak… Bapak mungkin sedang capek waktu itu. Tapi percaya deh sama ibu. Bapak kali ini nggak marah sama Budi. Malah bapak juga cerita kalau bapak itu juga kangen sama Budi.”Bapak merindukan Budi. Pantas saja bapak selalu menunggunya pulang sekolah. Dari balik gorden jendela bias-bias bayang wajah bapak nampak. Mungkin bapak hendak mengatakan sesuatu. Ia terlambat menyadarinya. Seharusnya sebagai seorang anak Budi dapat memahaminya lebih cepat. Layaknya ibu yang begitu tulus menyayangi bapak. Walaupun saat ini bapak tak lagi bekerja sebagai superhero. Tapi paling tidak Budi yang harus mencoba.
Usiaku akan menginjak tiga windu bulan depan. Setiap hari aku selalu berdoa agar Tuhan tak menyabut nyawaku pada hari itu, agar aku dapat mengenang satu windu yang bahagia silam.
Rintik air menangis membasahi bumi pertiwi. Tak ada angin yang menambah keruh suasana di kala hujan datang. Hanya tetap saja pengeroyokan air terhadap rimbun pohon membuat Budi menghentikan niat untuk pergi. Air hujan membasahi halaman serta pelataran rumahnya. Jendela kacapun ikut berembun terkena cipratan air. Beberapa orang sudah hadir. Mereka sedang bersantai di ruang tengah rumah, mengobrol dengan sangat serius. Pembicaraan mereka tak cocok untuk Budi dan anak-anak kecil lainnya. merekapun pergi mengasingkan diri. Sebelum pergi dilihatnya bapak tersenyum, Budi sadar jika bapak tersenyum untuk sekedar menghargai. Bapak memang hebat. Dapat mengerti orang lain sedalam itu.
Sampai langkah Budi menghilang di persimpangan lorong ia masih berharap dapat mendengar bapak mengucapkan satu dua kata. Walaupun itu bukan untuknya. Yang terpenting Budi hanya ingin mendengar suara bapak.“Budi… kamu sedang apa, Nak?” Suara ibu. Pasti ia mencari Budi sedari tadi. Dasar anak itu bengal, ia memang menghilang. Bahkan dari teman-teman kecilnya yang lain. Rindu Budi ini telah mendalam. Usianya baru tujuh tahun, namun sesuatu yang terjadi dua bulan lalu memaksanya untuk menjadi lebih dewasa. Ia jadi lebih sering melamun dibanding bermain dengan teman-temannya. Lidah Budi terlanjur malas untuk menjawab pertanyaan ibu. Saat ini ia ingin sendiri. Batas kesabarannya telah berada di ujung. Kapan aku bisa memulangkan rindu?
(baca juga: Sabda Lemari Pengucap)
“Karena Bapak ya?” Budi terkejut. Dari mana ibu bisa tahu. Apakah ibu juga bisa membaca pikiran sekarang? “Seorang ibu pasti tahu apa yang dirasakan anaknya. Karena ibu yang mengandungmu.” Diam Budi berarti sesuatu bagi ibu. Jadi begitu jika seseorang sudah saling mengerti satu sama lain. Dengan diam saja dapat menyalurkan pikirannya. Lalu untuk apa ia mengira-ngira. Selalu berprasangka buruk pada bapak. Barang kali Budi yang kurang mengerti.
“Ayo yang lain sudah menunggu, hujan tak akan berhenti hanya karena Budi memperhatikannya terus. malah dia jadi malu dan akan menumpahkan semua airnya. Emangnya Budi mau?” Budi tergelak. Gurauan ibu membuatnya sadar. kembali dengan bergandengan tangan. Semangatnya kembali membuncah. Nanti malam seusai acara dan para tamu telah pulang. Akan ia hampiri bapak. Mau tak mau malam ini ia harus memulangkan rindu. Kasihan bapak, dua bulan ini pasti sangat menyakitkan. Dilihatnya bapak yang sedang menyuap lalapan. Ia begitu lahap. Tak sengaja merekapun bertemu pandang. Budi tersenyum dan bapak balas tersenyum.
Kuyakin Bapakku telah kembali Tuhan…Pecahan genting berdenting ramai berjatuhan. Mereka lari. Jangan tanya bagaimana! Yang harus kau lihat mereka mempunyai kaki. Sadari bahwa benda tak hidup itu menjadi manusia. Tangan-tangan kecil mulai tumbuh. Wajah datar mereka timbul. Kini beberapa dari mereka berkilah menantang aku. Tubuh kecil mereka meloncat-loncat gesit mengarah… aku harus menghindar. Melambung tinggi memecah langit. Seorang manusia pecahan genting berhasil mengenai jidadku. Tak apa hanya satu. Akan kucoba membalas mereka. Aku…
“ Budi… belum tidur nak?” tanya ibu dari kegelapan. Wajahnya basah bersimbah air wudhu.
“Budi nunggu Bapak, Bu? Jam segini kan biasanya Bapak bangun malam.” Jawab Budi terkantuk-kantuk. Jika tak sengaja ibu memanggilku sudah pasti ia akan terlelap. Sebuah mimpi yang indah telah mengodanya tadi.“Bapak sedang siap-siap di dalam. Sebentar lagi Bapak sama Ibu mau salat Budi mau ikut salat?”
Mengingat usianya belumlah sebuah kewajiban baginya untuk melaksanakan ibadah lima waktu. Apalagi mengerjakan salat sunah seperti ini. Tetapi hati kecilnya berkata harus. Kapan lagi mereka bisa salat bersama. Tanpa disuruh segera Budi beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Sedikit terbata, ia dibimbing ibu. Tandas sudah wudhu. Lalu, mereka menuju mushalla di rumah. Meski Budi telah lama tinggal di rumah ini tak sekalipun ia injakkan kaki di sini. Semuanya terasa baru. Ternyata inilah kebiasaan orangtuanya yang tak ia tahu. Pantas saja meski tanpa berkata semuanya dapat terbaca dengan sempurna. “Itu Bapak di dalam.”
Ia lambaikan tangan menyuruh Budi untuk mendekat. Ia hendak mengatakan sesuatu tetapi bapak telah menyediakan sebuah sarung untuk digunakan. Mereka menjalankan salat malam berjemaah. Budi berusaha meyakinkan diri jika ia masih sangat polos. Namun entah mengapa ia menangis dalam diam. Sebentar lagi akan didengar suara bapak, sebentar lagi, tinggal menunggu beberapa menit lagi. Apa? Bapak tak bersuara sekalipun ia seharusnya mengeraskan suaranya tatkala takbir. Kekhusyukan Budi terganggu. Budi merajuk. Tanpa menunggu salat usai lantas dibuka sarung yang ia gunakan. Sampai-sampai untuk ibadahpun bapak tak ingin mengeluarkan suaranya untukku, pikir Budi. Geram.. “BAPAK…!” teriak Budi begitu salam terakhir usai. Amarahnya menumpuk. Rindunya tumpah menutupi paru-paru. Napasnya terasa berat. “Astaghfirullah… Ada apa sayang? Kita baru selesai salat. Tidak baik berteriak-teriak.” Budi tak kuasa. Dihamburkan peluknya pada ibu. Tangisnya terberai di udara menggema di dalam mushalla. “Katakan Nak, ada apa?” tanya ibu frustasi. Bapak terlihat tak mengerti. Ia lihat mata Budi terbanjiri air mata. Raut wajahnya seketika berubah. Ia raih tangan ibu agar dapat memahami juga. Budi sudah lelah. Ia peluk ibu lebih erat. Bapak tak mau lagi jadi bapakku. Semua ini gara-gara es krim, makanan kesukaanku.
“Mendekatlah pada Bapak!” pinta ibu. Ragu-ragu ia hampiri bapak. Ia persilahkan Budi duduk di pangkuannya. Serasa dingin menyergap pori-pori. “ Bisakah kau rasakan itu, Nak? Apakah bapak membencimu atau tidak?”
Bapak tersenyum, ia mengusap rambut Budi lalu mengecup keningnya. Budi kembali menangis. Rasa-rasanya tak ada yang berubah dari bapak. Namun ia masih belum mengerti mengapa bapak belum mau berkata padanya. “Bapak bukan tak mau bicara padamu. Melainkan sesuatu telah terjadi. Dua bulan lalu, Bapak kalah dalam pertarungan. Para penjahat yang Bapak lawan berhasil terselamatkan. Padahal semalaman Bapak mengatur kata agar dapat mengalahkan mereka. Entah mengapa pemilihan kata yang salah membuat orang yang tak bersalah di rajam. Bapak merasa bersalah. Karena lidahnyalah semua itu terjadi. Karena itu…” bapak menggenggam tangan ibu berusaha menguatkannya. “Malam itu… entah bagaimana… Bapak potong lidahnya sendiri.”Ibu menutup wajah, mukenah itu dipenuhi dengan air mata. Budi masih tak mengerti. Baru setelah bapak membuka mulutnya ia akhirnya paham. Mulut itu kosong seperti goa. Lidahnya telah menghilang. Bapak memilih diam karena kata-katanya menarik paksa nyawa seseorang.
“Bapak motong lidah sendiri? Budi… mulai paham.”
“Nak… kamu jangan marah ya! Bapak nggak bermaksud dia…”
“Bapak memang superhero… Bapak adalah superman kebenaran. Budi sayang Bapak.”Budi dan Bapak berpelukan. Ia tak percaya Budi akan mengatakan hal itu.
Malam itu semua orang menangis. Segerombol kata seolah mengembun begitu saja. bahkan Budi kehilangan rasa tengkuknya. Tak ada nyeri ataupun rasa remang. Yang mereka lakukan adalah sesenggukan. Keluarga itu telah kembali dipersatukan.
(baca juga: Kardus Pengikis Rindu)
Dan disanalah Budi, duduk termenung di bawah pohon ketepeng melamun. Budi kecil tak dapat lagi menangis sebab terkuras habis semalam. Ditatapnya lagi sebuah bungkusan putih di tangan kanannya. Sengaja bapak dan ibu tak membuangnya sampai Budi tahu yang sebenarnya. Lidah itu mulai kehitaman. Sebuah pendingin tentu belum cukup untuk mengawetkan lidah bapak. Sebagian sisi-sisinya membusuk. Tak sekalipun Budi merasa jijik. Dengan lidah ini bapak melawan para penjahat. Layaknya superhero yang lain tentu bapak juga butuh waktu istirahat. Ia anggap dengan memotong lidah bapak telah menanggalkan sementara senjatanya. Namun bukan berarti bapak diam saja. Perjuangannya kali ini dengan tulisan. Artikel-artikel bapak yang tersebar di seluruh media masa banyak yang diperhitungkan. Budi yakin gelar superhero masih cocok untuk bapak.
Desingan sapu ijuk di pelataran lantai ubin putih mendengau di telinga yang penasaran. Sebelah tangan bekerja rodi cecunguk busuk tukang sapu bayaran. Berbaju lusuh berselendang keringat masam. Celana hitam kedodoran serasa sudah tak lekang oleh waktu dipakai mengais sekeping hati para tuan. Uang receh remeh temeh dari pada uang selembaran menjadi dunia harap mereka. Kricing-kricing bunyi uang di saku menjadi tawa anak-anak piyik di rumah. Bukan hanya tanah yang kekeringan, kaki para pekerja itu pecah-pecah seolah meminta air untuk menggeburkan dagingnya. Dari balik jendela dapur Budi begitu penasaran. Darimana datangnya para pekerja di rumahnya itu. sebab di kala malam datang mereka seperti hilang ditelan kelam.
“Bapaklah penyebabnya sayang. Sebagian dari mereka adalah orang yang merasa telah dibantu oleh bapak. Mereka melakukan itu untuk membalas budi. Padahal bapak tak pernah memintanya.”Bertambahlah kekaguman Budi pada bapak. Ia ingin menjadi seperti bapak. Ia ingin meniru amal baiknya, semua tingkah lakunya dan semua yang ia lakukan untuk menjaga perkataannya. Ibu yang sedang mencuci piring tak menyadari jika saat ini Budi telah menaiki kursi untuk sampai meraih lemari. Ia buka perlahan dalamnya. Kilau benda itu tak dapat memungkiri ketajamannya. Perlahan namun pasti ia mulai membuka mulut. Lidahnya terjulur keluar. Bergetar tangannya menggesek. Tak sampai satu menit selesai. Lidahnya telah kandas.
“BUDI…!” teriak ibu. Hari ini tepat satu windu umur Budi. Ia yakin benar apa yang dilakukannya. Dengan mulut berlumur darah Budi mencoba untuk tersenyum. Ibu yang kebingungan menangis. Ia merasa begitu ceroboh telah membiarkan Budi melakukan hal itu.“Kenapa nak?” tanya ibu. Budi genggam tangan ibunya. Ia tersenyum lagi. Darah segar mengalir membasahi pipi. Seperti terkena sihir ibu balas tersenyum. Ia mengerti apa maksud Budi. Dan akhirnya ia putuskan, dengan mantap ia mengiris lidahnya juga. Merekapun berpelukan. Lidah keduanya tergeletak begitu saja. mereka bangga telah berani melepas beban yang sesungguhnya. Mulutmu harimaumu.
Remuk hati tertindih rasa malu
Hanyut aku di kolam nestapa
Terbawa perasaan menyiksa tiada tara
Aku yang kini mencoba menjadi dia
Terjebak diantara hutan pohon berduri
Alangkah mendustanya aku ini
Mengapa harus berpura-pura
Kampung jarum tajam gempar. Desas–desus tentang keluarga yang mendadak menjadi bisu disebabkan lidahnya dipetik dengan sengaja. Warga ketakutan barangkali mereka semua gila. Tetapi dikala mereka tahu keluarga adalah keluarga Budi semua tutup mulut. Tak mungkin keluarga baik-baik itu melakukannya. Siang dan malam terasa begitu cepat. Warga yang penasaran mulai mencari tahu asal-usulnya. Baru dua hari berita ini tersebar banyak keluarga yang melakukan hal yang sama. Mereka semua iri akan kehidupan keluarga Budi yang bahagia walau tanpa kata. Tak butuh waktu lama. Sebulan kemudian, seluruh keluarga di kampung jarum tajam terpetik lidahnya. Tak ada lagi kata yang berkeliaran. Semuanya hening. Siapa mau sangka hal ini menjadikan kampung itu, kampung terdamai di dunia. Keluarga Budi sukses merubah pemikiran warga. Dengan saling pengertian hidup serasa tentram. Kampung jarum tajam berubahlah nama menjadi kampung petik lidah. Pengaruhnya sangatlah kuat. Bahkan setiap pengunjung yang datang tak lama pasti akan memetik lidahnya sendiri tatkala kembali pada daerah masing-masing. Luar biasa… bayangkan bagaimana jika fenomena ini mendera seluruh indonesia?
Kututup kenangan indah bersama bapak dan ibu dengan terlelap. Setelah seharian tadi kuziarahi makam mereka di kampung petik lidah. kuyakini rinduku telah berpulang sudah. Tepat pada windu ketiga umurku. Akan kumulai perjalan baru… dengan atau tanpa kata yang menarik tangan mengait lidah untuk di petik…
Penulis adalah siswa SMA Nuris Jember kelas XII IPA 1.