Kardus Pengikis Rindu*

Kardus Pengikis Rindu*
Oleh : Liya Khoiriyah

Sosok perempuan berperawakan tubuh yang berlemak tinggi. Kulitnya hitam, daya tatapannya begitu tajam dengan bulu lentik sepasang matanya yang melambai-lambai. Kepribadiannya yang amat was-was dalam hal menjaga barang kantor membuat profesinya dalam dunia perkantoran telah menembus batang hingga berdiri tegak di pucuk daun. Saat ini takdir mengkatagorikannya sebagai orang yang mujur. Memang patut disyukuri, yang awalnya hanya sebagai anggota kini telah terangkat sebagai sekretaris yang sah oleh direkturnya. Perempuan gendut itu tak hentinya menebar senyum.

Bukan berarti jabatan yang tinggi mampu menghapus kesedihan yang telah lama teremban, tetap saja keluarga kecilnya terderet golongan menengah ke bawah. Sungguh, masih tergolong orang yang tak berkantong.

Suatu ketika perempuan gendut tersebut nampak gelisah menantikan gaji, namun seolah sang direktur telah merekrut ingatannya kepada sang sekretaris, seolah ia telah lupa dengan keberadaan perempuan gendut di repotase kantornya. Selebihnya, perempuan gendut tersebut amat marah karenanya, namun ia sadar bahwa jabatannya masih sangat belia, jadi sekali saja ia berkutik nyeleneh, maka dengan berat hati ia akan terusir dengan sendirinya.

Lama karena menunggu sesuatu yang jengkel nan dongkol, ia pulang dengan tangan hampa. Perempuan gendut tersebut melajukan motor butut yang tak lagi berspion. Motor tersebut benar telah berjalan namun kecepatan sangat terbatas. Raut perempuan gendut tersebut begitu muram persis dengan awan yang terpampang di awang. Hatinya kian bergemuruh dengan gendang penuh kemarahan karena mendadak sang direktur berubah dingin kepadanya. Hal yang benar-benar tak pernah terduga olehnya, seolah petingginya telah menemukan sesuatu yang mengganjal dari kerja maupun kesehariannya.

“Kerja saja terus! Toh, saya juga tidak akan menggaji.” Ucapan itulah yang memberi kabar awal kedinginannya.
Perempuan tersebut terus melajukan motor rongsokannya. Pikirannya terus berputar layaknya putaran bumi menurut porosnya. Namun jawaban tentang masalah ini tak bisa dijangkau maupun lewat penerkaannya. Sejatinya hati dan pikirannya tengah buta karena jabatan. Sungguh adalah ia manusia yang malang.

Motor bututnya berhenti di teras sebuah rumah yang tak layak lagi dihuni. Perempuan gendut yang dengan jalan beratnya mulai memasuki mulut rumah, rautnya tetap muram sampai tubuhnya lenyap ditelan oleh mulutnya. Seorang lelaki tua, kurus, botak, tak bergigi, berkulit sawo matangg yang tak lagi segar dan berjenggot tak tebal nan putih memandangnya geram disertai hembusan napas yang tak menata. Perempuan tersebut sadar namun tetap mengacuhkannya, membuat lelaki berkaos putih lusuh tersebut menahan geramannya, sedang sosok wanita tua yang tengah menyusun kardus menatapnya sendu dari kedatangannya berharap perempuan gendut tersebut tak enggan untuk bersungkem kepadanya namun tidak! Perempuan gendut tersebut benar dan sungguh tak menghiraukannya.

Kelelahan dalam bermotor membuat ketegangan dalam otot kakinya. Kedua kakinya ingin bermanja sejenak, segera perempuan gendut tersebut berperintah kepada sosok si wanita tua. Dengan bodohnya si wanita tua tersebut menuruti apa ucap sang perempuan gendut, ia berjongkok sedang si perempuan gendut mulai menyelonjorkan kedua kakinya untuk segera mererima pijitan darinya.

Lelaki tua yang sedari terdiam kontan berdiri karena tak rela, bibirnya yang hitam karena keseringan menghisap sebuah rokok lintingan mulai bertegur untuknya.

“Itu ibumu, bukan tukan pijit bayaran. Meskipun dibayar, kami tidak akan pernah mau menerima karena kami tak mau harta, tapi kami hanya minta tanggung jawab kamu sebagai anak.”

Perempuan gendut tersebut tak merespon apa teguran bijak dari sang lelaki tua, sedang si wanita tua telah larus dalam isakan tangis tuanya.

“Lihat baju-baju kami yang berserakan! Bukan maksud kami ingin dibelikan lemari, tapi setidaknya tolong tengok keseharian kami. Kamu hanya pulang lalu tidur, dan lalu makan kalau mau, selebihnya kamu hanya berdiam di kamar. Kardus-kardus itu milik kami, itu almari kesayangan kami,”

“Hubungannya?”

“Jangan pernah dibuang! Kalau di buang, mau dikemanakan baju-baju kami?”

Perempuan gendut tersebut hanya mengangkat bahunya yang besar, kemudia ia pergi tanpa ucapan terimakasih kepada wanita tua dan kepergianya sungguh tanpa permisi.

Wanita tua tersebut mendekati sang lelaki tua yang tengah mengatur kenaikan darahnya, segera sang wanita tua mengelus punggung si lelaki tua yang tak lain adalah suaminya. Sungguh ia adalah wanita yang mengabdi kepada sang suaminya.

“Sabar pak.”

“Bapak sudah tidak tau lagi buk, bapa tidak kuat mengurus anak itu. Kartika memang berubah. Pantas kalau bosnya tidak mau menggaji, lawong anak kita sudah bisa dibilang orang yang tak beretika. Coba dulu Kartika mau dipondokkan, mungkin sifatnya tidak separah ini.”

“Ini sudah cobaan kita pak.”

Kedua manusia tua memandang sekeliling kondisi rumahnya, dahulunya adalah rumah yang indah meskipun kecil namun terawat. Perabotannya juga lengkap meski tak selengkap orang yang beruang. Namun lambat tahun oleh perempuan gendut tersebut, dijuallah anekannya sehingga tak ada yang tersisa demi mengikuti era zamannya.

Ridha orang tua tak mengikuti keinginannya, sehingga barang kepemilikannya, mulai dari motor Vario, tablet dan kosmetik telah lenyap oleh pencopet. Kemalangan kembali membanjiri kehidupannya.

Pagi buta menyapu suasana milik dunia. Kedua manusia renta tersebut terbangun dari tidur kursinya, segera keduanya berwudlu untuk tunaikan shalat dan selanjutnya bermunajat demi keselamatan hidup di dunia dan akhiratnya. Seusai beribadah, kedua manusia tua tersebut segera membereskan rumah.

Tepat pukul 07.00 perempuan tersebut hendak berangkat ke kantornya. Dari lekuk wajahnya sangat terlihat bahwa baru saja ia terbangun yang padahal hamburan warna biru telah terpajang menghiasi langit paginya sinaran matahari jua telah kuat namun mengapa ia tak terbangun di kala fajar menyapanya?

Setibanya di kantor, sepasang mata yang tajam dengan alisnya yang tebal menyambut kedatangannya, perempuan tersebut membuang wajahnya seolah sedang tak melihat sosok yang tengah menyambut kedatangannya, namun suara yang bersumber dari sosoknya “direktur” telah berhasil menggencatkan laju langkahnya.

“Masih berani ke kantor?”

Perempuan tersebut mengernyitkan keningya. Ia kembalikan langkahnya untuk berhampir kepada arah suranya.
“Maksud bapak?”

“Kalau daun itu sudah gugur, pasti ia tidak tahu mau dibawa kemana oleh anginnya. Sama sepertimu, jadi anak kok tidak ada belas kasihnya. Mereka orang tua mu, bukan tikus-tikus yang menggangu kehidupanmu. Mau jadi apa kamu nanti? Maling Kundang versi perempuan?” ucap direktur yang tak bermaksud menggunjing.

“Pulanglah! Bereskan dulu sikapmu! Nanti kalau sudah rapi, kemari lagi. Pasti saya beri gaji.”

Ucapan direktur yang terakhir berhasil membuatnya kembali pulang. Namun bukan untuk berbenah melainkan hendak untuk marah. Entah kepada siapa ia akan luapkan marah?

Kembali ia melajukan si motor butut. Emosi dalam berkendara membuatnya buta jalan, ia lajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Meski terbatas, tetap ia paksa, sehingga kelajuannnya menjadi tandas. Hampir saja ia menabrak sosok dua orang yang tengah berjalan bergandengan tangan. Antusias perempuan tersbut menghentikan motornya, ia cari dua sosok manusia yang mungkin telah ia tabrak, namun dua sosok tadi telah tak ada keberadaannya. Mungkin keduanya berhasil lari dari malapetaka karenanya.

Kembali ia menghadap jalan depan, pandangan cepatnya saat menghadap depan bertemu dengan sorot mata yang tajam. Meskipun hanya sekilas namun benar ia telah mengankap sorotanya.

“Aku tak asing dengan sorot mata itu.”

Segera ia melajukan kembali motornya dan melupakan kejadian pahit miliknya. Setibanya di rumah, ia segera bersembunyi dari balik rumah reot dan bermaksud untuk segera meluapkan amarah. Tetapi segalanya yang di rumah sedang dirundung sepi, dua manusia renta yang rutinitasnya bebersih tengah tak muncul batang hidungnya, sehingga membuat perempuan gendut itu terpaksa harus mencari keberadaannya.

Ia geledah seisi rumah, dan ternyata dua sosok tersebut sedang tertidur pulas di atas dua kuris kayu. Tidurnya sangat gemulai tak menyisakan raut yang terbeban. Perempuan gendut tersebut berjalan ke arahnya, dan bermaksud membangunknnya.

Tangannya yang kuat menggoyahkan tubuh yang tinggal tulang milik keduanya, namun tak ada respon seola keduanya tegah asyik bermimpi, mungkin sedang jalan-jalan? Perempuan tersebut menghentikan gerekannya dan memilih untuk memandang lekat paras keduanya.

“Bapak dan ibu sudah tua. Rambutnya putih, giginya ompong, pipinya cekung, bagian bawah matanya sudah menghitam. Otot tangan dan kakinya juga pada keluar seperti akar yang menjalar, mereka memang sudah tua.”

Perempuan gendut tersebut terbangun dari duduknya, ia melihat tumpukan kardus yang berisikan pakaian milik keduanya. Aliran darahnya begitu cepat karena marah setelah melihat rongsokan-ronsokan tersebut berserekan di dalam rumahnya. Bermaksud ia untuk menggusur barang milik keduanya.

“Jangan!” Henti seseorang yang kini tengah berdiri tegap di depannya.

Perempuan tersebut terperanjat, karena didapatinya dua manusia renta kini telah berdiri di depannya, sekilas sorot mata tersebut baru saja hadir dalam pandangannya. Perempuan gendut tersebut menelan ludah karena tak percaya.

“Bukannya bapak dan ibu sedang tidur? Kok sudah berdiri di sini? Cepat sekali.”

Di pandanginya dua sosok yang berwajah seri itu. Peremuan gendut tersebut terlena, bulir-bulir air mata merembes dalam hatinya. Sosok tersebut tersenyum yang amat dalam yang tengah menyisakan kerinduan. Pderempuan tersebut terjatuh tepat di depan pandangan keduanya.

“Kartika, jangan kau buang kardus kami! Anggap saja itu adalah kenang-kenangan dari kami. Kami sudah lama pergi. Jadi simpan saja sebagai tanda hadiah terakhir.”

Lelehan air mata yang membasahi pipi segera ia hapus, ia berlari kencang ke arah belakang rumah. Ia dekati dua tanah yang bergunduk. Dua tanah yang beisi sosok yang istimewa. Perempuan gendut tersebut terjatuh lunglai dengan derai air matanya yang berguyuran lebat. Ia benar-benar lemah dan tak lagi bertenaga kuat. Tangisannya yang mengamuk berhasil menggegerkan dunia dan menarik perhatian luruhnya awan-awan tebal. Langit menemaninya mengangis, tangisnya tengah berdangsa dengan tangis hujan.

“Bapak, ibu…, ini Kartika. Kartika sadar bahwa bapak dan ibu telah lama tiada tapi Kartika sedang tak kuasa, sehingga bayang-bayang bapak dan ibu di hari kemarin tetap berada. Sangat pantas jka aku disebut sebagai Malin Kundang. Bapak, ibu…, sungguh Kartika meminta maaf dan Kartika tahu bahwa kata maaf Kartika telat. Bapak……, ibu……..,” teriak Kartika kepada alam.

Tangisan hujan kian menjadi teman harinya. Tangisannya tak kunjung reda, apalagi saat ia sadar bahwa sepotong kardus lusuh yang pernah ia buang kembali mengusik hidupnya. Perempuan tersebut berlari kencang ke dalam rumah, ia rangkul tumpukan kardus lusuh dengan erat. Tubuhnya yang basah menjadikan kardus-kardus tersebut semakin lusuh. Perempuan tersebut tenggelam dalam tangisan yang penuh makna.

“Adalah kardus kenangan. Pengikis di saat kerinduan.”

*Alumni MA UNGGULAN NURIS Tahun 2014/2015

 

Related Post