Peresensi : Oleh Elok Dwi Sofyaningrum
Judul : Belajar Mencintai Kambing
Penulis : Mahfud Ikhwan
Bahasa Penulisan : Bahasa Indonesia
Penerbit : Mojok
Tahun Terbit : 2016
Jumlah Halaman : 179 Halaman
Kumpulan cerpen ini merupakan sebuah karya yang ditulis oleh Mahfud Ikhwan, seorang yang dinobatkan sebagai pemenang 1 sayembara menulis novel dewan kesenian jakarta 2014 pada tahun keenam belas kepenulisannya. Membaca kumpulan cerpen Belajar Mencintai Kambing seperti diajak mengenali sosok Mahfud Ikhwan pada awal ia menggeluti dunia menulis. Tak tanggung-tanggung, karir kepenulisan Mahfud Ikhwan saat kumcer ini diterbitkan telah memasuki usia 18 tahun. Jika diandaikan seorang anak manusia, usia 18 tahun merupakan masa paling produktif. Maka, tak dapat diragukan lagi prestasi yang diraih Mahfud Ikhwan adalah buah dari kerja keras selama belasan tahun.
(baca juga : Resensi Novel 5CM : Sahabat Sejati, Sukses Bersama)
Membicarakan cerpen-cerpen dalam kumcer Belajar Mencintai Kambing kita dapat mengetahui hal apa saja yang menarik perhatian Mahfud Ikhwan dalam dunia menulis, terutama menyangkut ide cerita. Pada cerpen pertama kumcer ini, kita dapat mengetahui hal mendasar yang menjadi persoalan para penulis muda. Apa lagi jika bukan pemuatan karya di media. Memang, salah satu cara untuk “dibai’at” menjadi cerpenis atau penyair adalah karyanya dimuat di media massa. Kira-kira itulah yang dibicarakan cerpen yang berjudul “Moh. Anas Abdullah dan Mesin Ketiknya”.
Sangat diyakini, Mahfud Ikhwan juga mengalami persoalan pemuatan tersebut mengingat cerpen yang judulnya memuat nama seseorang ini ditulis pada tahun 1999, sebuah masa ketika ia masih sangat muda tentunya. Persoalan pemuatan karya di media massa ini dibawakan Mahfud dengan mengambil konflik antara Moh. Anas dan mesin ketiknya yang terus mengeluarkan kata bejat.
Namun, yang menjadi hal menarik dari sebuah kumpulan cerpen adalah penamaan judulnya. Biasanya, sebuah antologi cerpen atau kumpulan cerpen, diberi judul sama dengan sebuah cerpen yang menjadi tema utama atau paling tidak ada makna tertentu yang menarik dari sebuah judul yang dipilih. Kumpulan cerpen ini diberi judul sama dengan salah satu cerpen yang termuat di dalamnya; “Belajar Mencintai Kambing”.
Pada cerpen inilah dapat ditemukan karakter Mahfud Ikhwan. Ide yang dibocorkannya pada lembar pembuka setelah halaman identitas buku yang berbunyi; untuk desa, tebing, orang-orang, dan kisah-kisah yang atasnya aku bersikeras pergi, namun selalu diam-diam kembali untuk mencuri.
Ya. Latar pedesaan tentu sangat kental dalam kumpulan cerpen ini. Hampir seluruh cerita yang termuat mengambil latar pedesaan, masyarakat desa, dan budaya pedesaan. Meskipun bersikeras pergi, namun agaknya Mahfud Ikhwan harus berterima kasih kepada kambing desa yang menginspirasinya. Sungguh bukan sebuah inspirasi yang biasa. Hal ini dibuktikan dengan sebuah quotes yang langsung didapatkan pada dua paragraf awal cerpen berjudul nama salah satu binatang ini, berbunyi; Kambing bisa membuatmu lebih dewasa, sedangkan sepeda akan membuatmu tetap jadi kanak-kanak.
Selain memuat latar pedesaan yang kuat, kumcer ini juga menampilkan gaya penceritaan cerpen pada umumnya. Beberapa teknik penulisan cerpen coba ditampilkan oleh Mahfud Ikhwan. Dengan jangka waktu kepenulisannya yang menginjak usia belasan tahun, tentu banyak sekali model atau teknik penulisan cerpen yang dipelajarinya. Apalagi setelah membaca beberapa cerita masa lalu seorang Mahfud Ikhwan dari salah satu sahabatnya di situs mojok, Mahfud Ikhwan memang layak disebut pejuang dalam menggeluti dunia menulis.
Salah satu judul cerpen yang memiliki ide teknik bercerita yang menarik adalah “Lelaki dan Tato Perempuan di Bahunya” dan “Pemahat”. Pada cerpen pertama yang berkisah tentang seorang lelaki yang bercinta dengan tato bergambar seorang perempuan di bahunya, pembaca dapat belajar mengembangkan gaya penulisan surealis. Gaya ini tentu menuntut sebuah imajinasi fantasi yang kuat. Penulis harus dapat membayangkan sebuah alur atau konteks (latar) cerita yang di luar nalar dan realitas kehidupan pada umumnya. Apa saja dapat diciptakan, termasuk seorang perempuan yang kemudian dapat dihidupkan dari sebuah tato. Sementara pada cerpen yang kedua, gaya surealis lebih ditekankan pada kerumitan alur yang berujung pada sebuah kesimpulan mencengangkan bahwa semua orang tercipta dari buah dada.
Kelemahan kumpulan cerpen ini adalah kurangnya sensasi religiusitas atau paling tidak mistisisme yang kental pada sosok penulis terkenal Kuntowijoyo. Mengapa Kuntowijoyo seolah absen? Padahal Mahfud Ikhwan dengan terang-terangan mengatakan bahwa Kuntowijoyo adalah guru menulisnya secara tidak langsung. Mengapa tak dapat dirasakan secara jelas sensasi ilmu yang diturunkan oleh almarhum Kuntowijoyo.
(baca juga: Resensi Hatta, Aku Datang karena Sejarah: Meneladani Sosok Hatta)
Keunggulan kumpulan cerpen ini tentu saja adalah ide cerita yang menarik. Selain itu, bagi yang penasaran dengan pertanyaan bagaimanakah seorang Mahfud Ikhwan, seorang penulis terkenal, memulai perjalanan kepenulisannya? Hal apa sajakah yang menginspirasinya? Dan bagaimanakah ia mengembangkan ide gilanya itu? Tentu Anda dapat bermesraan dengan Mahfud Ikhwan muda lewat kumpulan cerpen Belajar Mencintai Kambing.
Resensi ini disusun oleh Elok Dwi Sofyaningrum, siswa SMK Nuris Jember dan berhasil mendapat juara harapan 2 lomba resensi tingkat nasional yang diadakan oleh LPDP Universitas Indonesia.