Penulis: KH Muhyidin Abdhussomad
Keberadaan Islam ideologi transnasional di tengah masyarakat dengan beberapa doktrin keagamaan yang mereka usung adalah fenomena yang tidak bisa dihindari akhir-akhir ini. Semakin marak dan menemukan momentumnya seiring dengan era kebebasan berpendapat dan berekspresi pada era reformasi saat ini. Mereka mengecam sana-sini, memberikan stempel kafir, ahli bid’ah khufarat, sesat kepada amaliah yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka.
Sesungguhnya apa yang mereka perdebatkan adalah persoalan klasik yang telah mendapatkan jawaban yang tuntas dari para ulama terdahulu. Amaliah yang mereka persoalkan merupakan tradisi masyarakat yang dapat dikatakan telah menjadi cita dan jati diri bangsa Indonesia dan semuanya telah dijawab secara paripurna oleh salafuna al sholih. Misalnya dalam masalah kebangsaan, dalam menanggapi seruan membentuk khilafah islamiyah dan Negara Islam, ulama NU telah lama menegaskan bahwa bentuk NKRI adalah keputusan “final” dan harus tetap dipertahankan. Dimotori oleh KH. Ahmad Siddiq ulama NU telah memberikan argumen teologis dan fiqhiyyah atas pilihannya untuk mempertahankan NKRI.
(baca juga: Membaca Wirid setelah Shalat
Demikian pula halnya tradisi-tradisi keagamaan yang dituding sebagai perbuatan bid’ah dan sesat, seperti tahlilan, maulidan, dan semacamnya, semuanya telah dijelaskan secara paripurna tentang kebolehannya. Dalam hal ini telah banyak buku-buku yang menjelaskannya, termasuk buku yang penulis susun dengan judul Fiqh Tradisionalis, menjawab berbagai persoalan keagamaan sehari-hari, Tahlil dalam Perspektif Alquran dan as-Sunnah dalam perspektif kitab kuning, dan masih banyak lagi buku yang disusun oleh para tokoh NU.
Yang kemudian menjadi renungan kita adalah mengapa Islam transnasional dengan gagasan klasik yang mereka bawa itu dapat “diterima” oleh sebagian masyarakat Indonesia sehingga menjadi suatu gerakan “besar” yang berkembang dengan sangat cepat. Bagaikan gelombang yang menghantam penganut Islami pribumi, yang nota bene mereka adalah orang-orang yang memiliki keterikatan kuat dengan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satu alasan yang dapat diajukan adalah karena Islam ahlussunnah wal jamaah an-Nahdiyyah telah kehilangan ruhnya di tengah masyarakat. Jika persoalan teologis sudah dirampungkan oleh para ulama terdahulu, berarti permasalahan saat ini terletak pada generasi sekarang yang tidak memahami ajaran-ajaran tersebut, atau kalaupun mereka paham, tetapi tidak ada usaha untuk meyebarkannya, baik melalui ucapan, tulisan, atau tingkah laku keseharian. Sehingga tidak dapat disalahkan jika umat berusaha mencari pedoman lain yang menurut mereka lebih “sesuai dengan Alquran dan al-Hadits.”
(baca juga: Membaca Shalawat Seusai Pertemuan)
Sinyalemen seperti ini pernah dikemukakan oleh KH. Hasyim Muzadi, dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Bangsa dan Ideologi Transnasional” beliau menyatakan” Proses mencairnya kultur keagamaan seperti ini mengandung implikasi sosial yang perlu diwaspadai, gejala sosial ini akan menimbulkan kerawanan sosial yang cukup serius bagi kelangsungan ajaran NU. Masalahnya terletak pada anak-anak muda tersebut yang tidak memahami ajaran aswaja seutuhnya, sehingga memungkinkan ajaran-ajaran model baru gampang masuk dan mempengaruhi cara berfikir dan bertindak mereka. Kekhawatiran ini sesungguhnya sudah terjadi, ada sejumlah anak muda NU bahkan ulama NU yang “ikut-ikutan” menjadi aktifisFPI, HTI, MMI, atau PKS.
Jadi sebenarnya terdegradasinya ajaran aswaja di tengah masyarakat, buka karena dalil-dalil atau konsep yang ditawarkan ideologi transnasional lebih kuat atau lebih mapan keyakinan keislaman lain yang telah lama berkembang di Indonesia, khususnya aswaja an-nahdiyyah. Tetapi berasal dari internal sendiri yang enggan untuk melakukan penguatan ideologi. Sehingga ketika ada yang menyerang, kita tidak siap untuk melakukan “perlawanan”. Keengganan ini bisa jadi karena kita semua terlalu disibukkan dengan urusan politis praktis, sehingga melupakan pemberdayaan umat. Kita disibukkan untuk mengejar jabatan politis tertentu. Berpolitik memang tidak dilarang, tetapi jangan sampai demi mengejar ambisi politik kita melupakan misi utama kita untuk memperjuangakan Islam Aswaja.
Hal berikutnya yang terjadi sebagai imbas dari mengejar jabatan politis itu adalah hilangnya teladan yang dapat kita berikan kepada umat, apalagi jika untuk mengejar kedudukan politis itu kita ikut-ikutan melakukan tindakan yang tidak terpuji. Tidak ada lagi keteladanan dari para kyai dan ustaz atau orang-orang yang dianggap sebagai tokoh NU karena mereka semua ikut dalam permainan politik kotor. Ada satu ungkapan yang menggambarkan kenyataan ini:
Dulu para kyai NU sangat mulia. Foto mereka dipajang di dalam ruang tamu, kantor, majilis,ta’lim, dan lainnya. Diletakkan di dalam bingkai sangat indah dan mahal harganya. Para jamaah memandangnya dengan penuh rasa bangga dan hormat sembaru terbesit di dalam hatinya keinginan untuk meneladani. Namun kini berubah seratus delapan puluh derajat. Foto mereka menjadi “penunggu” jalan raya, pohon asam, dan sebagainya karena digunakan oleh calon gubernur, bupati, legislatif untuk menarik massa. Setiap jari terkena debu jalanan, kehujanan, kepanasan, dan setiap orang lewat hanya meliriknya tanpa ekspresi atau bahkan mencibirnya.
Akhirnya yang terjadi adalah umat kehilangan uswah dari para pemimpinnya. Mereka terombang-ambing, tidak mempunyai pegangan untuk dijadikan panutan. Maka ketika itu yang berlaku adalah hukum “siapa yang lebih cepat masuk, maka dia yang akan menang dan meraup anggota sebanyak-banyaknya”. Melihat kenyataan seperti ini, maka perlu ada upaya dari semua kalangan untuk kembali membumikan ajaran aswaja dalam keseharian kita. Melakukan “serangan balik” kepada ideologi transnasional memang diperlukan. Langkah strategis yang harus dilakukan adalah ngopeni basis massa NU. Melakukan penguatan ke dalam dengan kembali meneguhkan ajaran asjawa an-nahdliyyah di tengah masyarakat.
Ini adalah tugas kita bersama, para kyai, ustaz, ustazag, aktifis NU di segala lini, termasuk PMII sebagai calon intelektual NU masa depan. Para Kyai dan ustaz kembali membuka kitab kuning mereka sebagai bekal untuk memberikan keyakinan kepada umat Islam bahwa ajaran yang secara turun temurun itu tidak salah dan memiliki landasan hukum yang kuat. Para aktifis NU tidak mudah terjebak ke dalam permainan politik kotor yang dapat menghancurkan citra NU itu sendiri dan generasi muda NU, termasuk PMII, kembali berkomitmen untuk memperdalam dan “ngaji” Aswaka sehingga tidak mudaj terpengaruh oleh janji-janji manis ideologi transnasional itu.