Sosok Kesejatian Ibu, Humaira’ di Pesantrenku
Penilis: M. Iqbal Fathoni*
Tulisan saya sederhana, dan ditulis berdasarkan maksud dan tujuan yang juga sederhana. Saya merupakan salah satu santri Pondok Pesantren Nurul Islam Jember dan saat ini alhamdulillah sedang melanjutkan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya bukan anak yang terlalu pandai, bukan juga anak kebanggaan guru-guru, terutama guru matematika dan bahasa Inggris, wkwkwkw. Namun, saya sadar bahwa saya sekarang dapat berada di kampus ini berkat doa yang terucap berulang kali dari lisan kedua orang tua saya dan juga tentunya guru-guru serta khususnya jajaran pengasuh di pesantren.
Yang menjadi titik fokus tulisan ini adalah sedikit uraian yang saya ketahui mengenai sesosok guru yang mungkin jarang dijadikan titik fokus, karena perannya yang berada di balik layar. Padahal sebenarnya bukan rahasia umum lagi bahwa beliau adalah sosok yang berperan penting bagi laju pesatnya Pesantren Nuris Jember, dan juga suksesnya alumni-alumni Nuris yang sudah tersebar di seluruh pelosok negeri bahkan di luar negeri.
(baca juga: Abu Hurairah, Tidak Ada Kata Terlambat dalam Hidup)
Kata orang bijak, “Di balik lelaki sukses, selalu ada wanita hebat”. Itulah mungkin yang saya dapat sematkan kepada dua suksesor pesantren, Kyai dan Ibu Nyai. Kita tahu bahwa Nabi Saw. memiliki satu sosok istri yang beliau juluki humaira’, beliau adalah Sayyidah ‘Aisyah. Beliau adalah istri yang terpaut jauh usianya dibanding Nabi, dan beliau pula adalah salah satu istri yang (mungkin paling) cerdas di antara istri-istri nabi lainnya. Bagi saya, Ibu Nyai adalah ‘Aisyah di zaman now, yang dimiliki oleh Pesantren Nuris Jember. Beliau tepaut usia 10 tahun dengan kyai, dan juga sosok yang patut dikagumi dalam akademisi karena hingga mampu meraih gelar doktor dengan raihan niai yang sangat memuaskan.
Ibu Nyai, Dr. Hj. Fathimah M. Ag merupakan sosok yang teramat penting di pesantren. Beliau menemani perjalanan dakwah Kyai dengan penuh kesabaran. Kyai Muhyiddin Abdussomad merupakan sosok aktivis Nahdlatul Ulama’, sebagaimana para aktivis lainnya, Kyai Muhyiddin muda mungkin lebih sering berada di luar rumah untuk kepentingan organisasi yang diikuti(NU). Konon di awal-awal masa pernikahan, kegiatan padat yang dijalani kyai di luar rumah, kurang mengenakkan bagi Ibu Nyai. Hal ini merupakan hal yang sangat wajar, sebagai pengantin baru, hihi.
(baca juga: Maulid Nabi: Antara Tradisi, Keteladanan, dan Persatuan Bangsa)
Kita juga harus ingat, bahwa beliau menjadi istri sah Kyai pada usia yang sangat belia, 15 tahun. Namun, dengan berjalannya waktu, semuanya segera berlalu. Ibu Nyai mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan yang mau tidak mau harus beliau hadapi, kesabaran, dan kedewasaan menjadi modal utama bagi beliau.
Ibu Nyai juga merupakan sosok yang berperan aktif dalam pembangunan pesantren. Dalam hal materi, apapun yang dapat beliau berikan untuk pesantren, maka akan beliau berikan. Selanjutnya, dalam kesehariannya, beliau adalah sosok yang sangat mencintai kebersihan. Banyak orang yang sadar akan nikmatnya hidup dengan suasana yang bersih, namun sangat jarang orang yang mengusahakannya.
Kami sebagai santri, kebanyakan merasa malas dengan keberadaan Ibu Nyai yang tiap kali bertemu selalu meminta tolong untuk membersihkan tempat yang kurang bersih. Namun, apa hendak dikata, Bu Nyai adalah Bu Nyai, beliau tidak menghiraukan walau harus tidak disenangi oleh para santri. Beliau tetap menjalani kebiasaan beliau sebagai sosok yang sangat mengutamakan kebersihan. Semua menjadi nyata pada saatnya, para santri hanya bisa diam seribu bahasa saat pesantren putri dinobatkan sebagai pesantren terbersih dari beberapa pesantren yang telah disurvei di Jember kala itu. Cara orang tua mencinta dan menyayangi anaknya berbeda-beda, dan itulah salah satu cara Ibu Nyai mempraktikkan cinta dan sayangnya pada para santrinya. Beliau selalu mengedepankan kebersihan agar para santrinya nyaman di pesantren, dan jauh dari penyakit-penyakit berbahaya.
Setelah itu, bentuk kasih sayang beliau pada santrinya semakin nyata nampak ketika santri nya sudah menduduki bangku kelas 3. Beliau adalah orang yang menemani langsung anak-anaknya untuk sama-sama bermunajat kepada Allah, meminta kesuksesan di masa mendatang, dengan cara melakukan sholat hajat sebanyak 6x salam. Kyai yang sudah berumur, sering kali digantikan oleh ustad-ustad yang lain. Namun sekali lagi, Ibu Nyai dengan penuh ikhlas dan semangat menemani para santri yang akan menghadapi Ujian Nasional. Walhasil, kita bisa lihat sekarang alumni nuris, mereka mampu berkuliah di kota-kota besar di negeri ini bahkan sebagian sudah ada yang di luar negeri. Semoga tulisan ini dapat membuka mata dan pikiran kita, karena mencintai pesantren tanpa mencintai pendirinya adalah dusta. Terima kasih Ibu Nyai.[AF.edit]
*penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris lulusan tahun 2016, kini melanjutkan studi di UIN Syahid Jakarta