Hadis Qudsi; Allah tidaklah Jauh

Hadis Qudsi; Allah tidaklah Jauh

Penulis: M. Iqbal Fathoni*

 Dalam kajian yang tersebar di berbagai media sosial pada hari ini, barangkali kita sedikit tahu bahwa hadis adalah suatu perkataan yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw., di sisi lain kita juga tak jarang mendengar ceramah-ceramah dari pemuka agama yang menyebut istilah hadis qudsi. Pertanyaannya adalah, sudahkah kita tau apa itu hadis qudsi? Jika belum, mari kita bahas sedikit gambaran umum tentang hadis qudsi, yang nantinya akan kita korelasikan dengan kehidupan kita sehari-hari. Insya Allah

Hadis Nabi Muhammad Saw. dapat dilihat dari beberapa aspek, yang sangat umum dan tidak jarang dibahas adalah mengenai hadis dari segi kuantitas yang melahirkan mutawatir dan ahad, juga  dari segi kualitas yang melahirkan shahih, hasan, dan dlo’if. Namun dalam bacaan kali ini kita akan membahas hadis dari segi penyandarannya, khususnya hadis qudsi. Menurut Abdul Majid Khon dalam bukunya Ulumul Hadis, ia menegaskan bahwa hadis qudsi merupakan salah satu pembahasan yang penting untuk dikaji, karena kebanyakan orang terjebak dengan nama qudsi itu sendiri yang diartikan suci, lalu mereka akan menganggap bahwa semua hadis qudsi adalah shahih.[1]

Secara bahasa, lafaz Qudsi berasal dari kata Al-Quds yang bermakna kesucian, kenetralan, ketulusan, dll.[2] Maksudnya yaitu, hadis ini dinisbatkan pada Dzat yang Maha Suci (kudus).[3] Hadis Qudsi memilki beberapa nama lain, diantaranya adalah Hadis Rabbani dan Hadis Ilahiy. Dinamakan qudsi (suci), rabbani (ketuhanan), dan ilahiy (tuhan), karena bertujuan untuk memberikan penghormatan yang setinggi-tingginya mengingat sandarannya adalah Allah Swt. Jadi seakan-akan hadis qudsi itu disabdakan untuk mensucikan Dzat Allah serta menjauhkan Dzat Allah dari segala kekurangan.[4] Lalu, apakah hadis qudsi sama dengan Al-Qur’an yang juga bersumber dari Allah, jawabannya tentu berbeda. Untuk lebih jelasnya mari kita simak pengertian hadis qudsi yang dikemukakan oleh Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki:

مَا أَضَافَهُ الرَّسُوْلُ وَ أَسْنَدَهُ إِلَى رَبِّهِ عَزَّ وَ جَلَّ مِنْ غَيْرِ الْقُرْاَنِ.

“Sesuatu yang disandarkan pada Nabi Saw. dan beliau sandarkan pada Allah Swt. selain Al quran”.[5]

(baca juga: Keistimewaan Hari Jumat)

Dari definisi di atas sudah sangat jelas bahwa hadis qudsi merupakan hadis (perkataan) yang oleh Nabi dinisbatkan kepada Allah Swt., Jika Alquran yang merupakan wahyu Allah disampaikan Nabi sama persis terkait isi dan redaksinya, serta diperoleh melalui Malaikat Jibril, maka hadis qudsi hanya sama dalam segi isi, sedangkan redaksinya menggunakan bahasa Nabi secara bebas dan biasanya diperoleh melalui ilham dan mimpi. Jumlah dari hadis qudsi tidaklah banyak, dari data yang ada, hanya berjumlah sekitar 400 hadis saja.

Satu hal yang cukup unik dalam kebanyakan hadis qudsi adalah di dalam redaksinya menggunakan kata ganti orang pertama (Dlomir Mutakallim) seperti; Aku (Allah) … Hai Hamba-Ku … dll. Salah satu contoh yang mungkin sering kita dengar adalah hadis qudsi yang berikut ini;

اَنَا عِنْدَ ظَنِّيْ عَبْدِيْ بِيْ وَاَنَا مَعَهُ حِيْنَ يَذْكُرُنِيْ اِنْ ذَكَرَنِيْ بِنَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِيْ نَفْسِيْ. وَاِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِيْ مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ. وَ إِنْ تَقَرَّبَ مِنِّيْ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ اِلَيْهِ ذِرَاعًا, وَاِنْ تَقَرَّبَ اِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا وَاِنْ أَتَانِيْ يَمْشِيْ أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً.

 “Aku selalu berada pada anggapan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku selalu bersamanya selama ia mengingat-Ku. Apabila ia mengingat-Ku di dalam dirinya maka Aku mengingatnya dalam diriKu. Apabila ia mengingat-Ku di hadapan orang banyak maka Aku mengingatnya di hadapan orang banyak yang lebih baik daripada mereka. Apabila dia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat padanya satu hasta. Apabila ia mendekat kepada-Ku sambil berjalan; maka Aku mendatanginya dengan berlari.”

(baca juga: Sosok Kesejatian Ibu, Humaira’ di Pesantrenku)

Dari sini kiranya dapat kita yakini bahwa pada hakikatnya Allah Swt. tidaklah jauh apalagi menjauhi hambanya. Dalam pengertian lain bisa disebut bahwa Allah sangatlah dekat dengan kita, sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Qaaf ayat 16:

… وَ نَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ.

“… Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”

Oleh karena itu sebagai hamba yang telah mengetahui akan hal ini, sudah seyogyanya kita tidak perlu lagi bingung hendak bertanya dan mengadu kepada siapa tentang problematika hidup kita di dunia. Kita hanya cukup bermodalkan air dan beberapa peralatan saja. Ketika masalah itu datang bertubi-tubi dan seakan tiada habisnya semisal, cobalah beranjak untuk mengambil air wudlu, menggelar sejadah, mengangkat kedua tangan, memejamkan mata jika diperlukan, dan mulailah untuk menyampaikan seluruh hajat-hajat yang ada, pada Dzat yang tak pernah lupa dan teramat dekat dengan kita. Wallahu A’lam

*Penulis adalah alumnus MA Unggulan Nuris lulusan tahun 2016, saat ini sedang melanjutkan studi sarjana di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

[1] Abdul Majid Khon, ‘Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2015) h. 12

[2] Muhammad Abu Laits, Ulumul Hadits  (Malaisya: Daarul Syakir, 2011) h. 120

[3] Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al Hadits (Riyadl: Maktabah Al Ma’arif, 1996) h. 127

[4] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014) h. 334

[5] Muhammad bin ‘Alawi, Al Qawa’id Al Asasiyah Fi ‘Ilmi Musthalah al Hadits (Malang: As- Shofwah) h. 12

Related Post