Sisi lain KH. Hasyim Asy’ari, Bukan Sekedar Pendiri NU

Sisi lain KH. Hasyim Asy’ari, Bukan Sekadar Pendiri NU

Penulis: M. Iqbal Fathoni*

Pesantren Nuris – Menurut Prof. Dr. Ramli Abdul Wahid, pada hari ini kajian hadis di Indonesia dapat dikatakan masih dalam tahap permulaan. Hal ini tercermin dari keadaan karya-karya ilmiah, keberadaan literatur hadis, jumlah para sarjana dan pakar hadis yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. keterbatasan kajian hadis di Indonesia juga tercermin dari metode dan hasil penetapan hukum yang dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam dan lembaga-lembaga yang berwenang memberikan fatwa.

Kendati demikian, dalam penelusuran yang telah dilakukan, ternyata kajian hadis di Indonesia diduga keras telah dimulai sejak abad ke-17 Masehi, yang ditandai dengan munculnya kitab Hidayatul Habib fi Targhib wa Tarhib buah karya Nuruddin Al-Raniri, dilanjutkan dengan kitab Syarh Hadis Arba’in dan kitab Mawaidz al-Badzi’ah karya Abdurrauf Al-Singkili. Namun, dengan dilatarbelakangi oleh kondisi bangsa Indonesia yang tengah dijajah oleh Belanda, maka pada abad selanjutnya (ke-18) kajian hadis mengalami masa vakum. Bahkan tidak hanya dalam kajian hadis, tapi sikap agresif dan intimidatif Belanda juga berdampak pada perkembangan ilmu pengetahuan pada waktu itu.

(baca juga: Pemuda dan Organisasi)

Barulah pada abad ke-19 atau memasuki awal abad ke-20 ditemukan satu kitab hadis berjudul Manhaj Dazawi al-Nadzar yang ditulis oleh salah satu ulama Indonesia yakni KH. Mahfudz al-Tarmasi walaupun dalam penulisannya dilakukan di Mekah. Dari sinilah cikal bakal maju dan berkembangnya kajian hadis di Indonesia karena estafet keilmuan yang dibawa oleh Kyai Mahfudz ini dilanjutkan oleh salah seorang muridnya yang nantinya menjadi tokoh yang sangat berpengaruh di masyarakat, ia adalah KH. M. Hasyim Asy’ari.

Ulama yang dikenal dengan sosok yang begitu sederhana ini memilki nama lengkap Muhammad Hasyim Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim. Ia dilahirkan di desa Gedang, Jombang pada tanggal 14 Februari 1871 (24 Dzulqaidah 1287 H). Hasyim Asy’ari kecil lebih banyak menjalani kehidupannya di pesantren, dengan umur yang masih sangat muda, ia telah berkelana ke beberapa pesantren ternama di Indonesia. Setelah itu barulah ia melanjutkan studinya ke Mekah dan dari sana ia mendapatkan berbagai ilmu hingga akhirnya mendapatkan riwayat dari Syeikh Mahfudz al-Tarmasi yang disebut-sebut sangat mempengauhi pola pemikirannya.

Hasyim Asy’ari merupakan salah satu ulama yang namanya tak lekang oleh waktu, masih sering didengar hingga saat ini dan mungkin hingga lahirnya anak cucu kita nanti. Ia dikenal sebagai pendiri ormas terbesar di dunia bernama Nahdlatul Ulama (NU). Selain itu, ia merupakan salah satu ulama  yang produktif di masanya, terbukti ada beberapa kitab yang telah dikarangnya, yang hampir meliputi berbagai disiplin ilmu seperti tasawuf, fiqh, hadis dan kitab lain yang membahas tentang akhlak.

(baca juga: Kyai Dawuh, Santri Unjuk Jari)

Salah satu yang mungkin diketahui banyak orang adalah kitab yang berjudul Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, namun sangat disayangkan karena mungkin tak banyak yang mengerti terhadap isi dan peran kitab tersebut dari zaman ditulisnya hingga saat ini.

Secara umum, kajian hadis di Indonesia ditulis berdasarkan ajaran-ajaran dari pendahulunya mengenai dua fokus besar, yakni; Hadis dan Ilmu Hadis. Adapun kitab Risalah yang ditulis oleh Kyai Hasyim terbilang cukup unik karena tidak condong pada salah satu dari keduanya, melainkan kitab hadis ini ditulis dalam rangka merespon kondisi keberagamaan yang terjadi kala itu. Salah satunya adalah adanya pemikiran-pemikiran dari para pembaharu Islam dari Timur Tengah (ex: Muhammad Abduh, Abdullah bin Abdul Wahab, Rasyid Ridha, dsb) yang kurang sesuai dengan keadaan masyarakat. Misalnya kegiatan keagamaan yang sudah mengakar di masyarakat seperti Tahlilan, Slametan, Talqin, dan Ziarah dianggap sesuatu yang menyimpang.

Afriadi Putra dalam jurnalnya menambahkan tentang pentingnya mengkaji pemikiran Kyai Hasyim yang bisa didapat melalui kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah. menurutnya, kitab yang Kyai Hasyim tulis sangat berpengaruh dan menjadi rujukan utama dalam kajian hadis pada waktu itu, kitab ini juga berperan sebagai filtrasi terhadap fenomena-fenomena keberagamaan yang berkembang di kalangan masyarakat dalam menghadapi tantangan modernitas. Pembahasan yang dicantumkan antara lain tentang penjelasan sunnah dan bid’ah, penjelasan tentang macam-macam bid’ah di zaman sekarang, penjelasan tentang tanda-tanda datangnya hari kiamat, penjelasan tentang kematian dan alam sesudahnya, dan sebagainya. Wallahu A’lam

*Penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris lulusan tahun 2016 yang kini sedang melanjutkan studi sarjana di UIN Syahid Jakarta

Related Post