Acara Muslimatan, Bid’ahkah?

Acara Muslimatan, Bid’ahkah?

Penulis: M. Fuad Abdul Wafi*

Sebagai warga negara Indonesia tentu kita tidak merasa asing ketika dihadapkan dengan berbagai macam tradisi. Apalagi sebagai warga NU yang salah satu notabenenya ialah menjaga tradisi masyarakat selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Para ulama dari kalangan walisongo dan yang lain berdakwah hingga dapat menjadikan negara Indonesia sebagai negara dengan penduduk Islam terbanyak, tentunya dengan cara menyebarkan ajaran Islam dalam bingkaian akhlakul karimah. Dengan cara ini, para ulama berhasil mengislamkan Indonesia tanpa bersusah payah berperang layaknya negara Rum dan Persi pada zaman dahulu. Salah satu metode dakwah dengan akhlak adalah tidak anti terhadap adat atau tradisi masyarakat selama hal itu tidak berseberangan dengan koridor Islam yang telah dipahami oleh para ulama.

Dalam hal ini, Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi, salah satu murid Ibnu Taimiyah, berkata dalam karyanya al-Adab asy-Syar’iyyah wa al-Minahu al-Mar’iyyah:

لَايَنْبَغِيْ الْخُرُوْجُ مِنْ عَادَةِ النّاسِ إِلَّا فِيْ الْحَرَامِ

“Tidak sebaiknya kita keluar dari adat masyarakat kecuali adat tersebut dihukumi haram”.

Menjaga hati masyarakat agar tidak bergejolak itu lebih penting dari pada kita harus memerangi mereka dalam masalah adat yang hakikatnya tidak diharamkan oleh syariat. Dalam lanjutan potongan keterangan di atas, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal rela meninggalkan salat dua qabliyah maghrib hanya karena orang-orang mengingkarinya. Walhasil, untuk menvonis suatu perkara dapat dikatakan haram dengan alasan tidak ada pada zaman Nabi sangatlah lemah dan bisa dikatakan sama sekali tak berdalil. Sebab, para ulama memahami hal-hal yang tidak ada pada zaman Nabi tidak sesempit pemahaman kalangan yang selalu heboh, baik di media atau lain sebagainya dengan kata-kata bid’ah.

Termasuk tradisi yang sudah berjalan sekian tahun lamanya adalah acara muslimatan. Acara ini biasanya digelar di sebagian masjid, musala, dan rumah masyarakat. Disebut muslimatan karena yang ikut andil dalam acara tersebut adalah kalangan bani hawa. Adapun bacaan yang dibaca dalam acara itu tidak lain hanyalah surah yasin, doa dan bermacam dzikiran lainnya. Setelah acara selesai, biasanya ada sekelumit ceramah agama yang akan disampaikan oleh salah satu tokoh yang diundang khusus untuk menghadiri acara tersebut. Dengan harapan, para wanita dapat mengambil manfaat dari ceramah tersebut. Lantas, bagaimanakah Islam menanggapi realita tradisi ini? Mari kita lihat ulasan pendapat ulama  mengenai hal ini. Agar kita mengetahui hakikat hukum yang berkaitan dengan acara tersebut secara terperinci.

(baca juga: Swallow Alternatif Hapuskan Kebiasaan Ghasab)

Pertama, kita akan membahas bagaimanakah hukum seorang lelaki menasehati atau mengajari ilmu agama terhadap para wanita? Berikut dalilnya:

Hadis shahih riwayat Bukhari dari sahabat Abi Said al-Khudzri:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْد الْخُذْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : قَالَتْ النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ , فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ, فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيْهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ.

Dari Abi Said al-Khudzri ra: Beberapa wanita berkata kepada Nabi saw, “Kami dikalahkan oleh para lelaki atas dirimu, maka jadikanlah untuk kami satu hari  dari dirimu”. Lantas Nabi berjanji pada para wanita itu untuk bertemu di satu hari tersebut dan memberi mauidzah dan memerintahkannya sesuatu.” (HR. Bukhari).

Mengomentari hadis di atas Imam al-Ai’ni berkata, “Ini menjadi dalil bolehnya berkumpul dan mengajari ilmu agama kepada para wanita.”  Inilah pendapat beliau di dalam kitabnya Umdah al-Qori Syarh Shahih al-Bukhari juz 2 hal 203. Hadis shahih riwayat Bukhari:

قَالَ عَطَاء أَشْهَدُ عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَِ وَسَلَّمَ خَرَجَ وَ مَعَهُ بِلَالٌ فَظَنَّ أَنَّهُ لَمْ يُسْمِعْ فَوَعَظَهُنَّ وَ أَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ .

A’tha’ berkata, “Aku bersaksi atas Ibn Abbas bahwa Rasulullah saw keluar dan Bilal bersamanya. Lantas ia menyangka bahwa ia tidak mendengarkannya. Kemudian Nabi memberi mauidzah pada para wanita dan menyuruh mereka untuk bersadaqoh. (HR. Bukhari)

Imam Nawawi berkomentar menganai hadis di atas, “Ini menjadi dalil disunahkannya memeberi nasehat kepada para wanita,  mengingatkannya kepada akhirat, mengajarinya beberapa hukum Islam dan memerintahkannya untuk bersadaqoh. Dengan syarat tidak menimbulkan fitnah.”

Kedua, adapun hukum wanita keluar dari rumah dengan bertujuan untuk menghadiri acara muslimatan atau yang lain. Ini telah disinggung dalam musyawarah Muktamar NU:

Hasil jawaban Muktamar NU ke-8 1352 H/7 mei 1933 M.

Soal: Bagaimana hukum para wanita yang keluar dari rumahnya dengan berpakaian rapi dan memakai wangi-wangian mendatangi rapat-rapat keagamaan yang tidak termasuk fardhu ‘ain? Haram, makruh ataukah sunnah? (Gresik).

Jawab: Hukumnya haram apabila berkeyakinan mendapat fitnah walaupun tidak berpakaian rapi dan tidak memakai wangi-wangian atau tidak diizinkan suaminya atau sayidnya dan termasuk doa besar. Apabila tidak yakin, tetapi menyangka adanya fitnah, maka haram tetapi dosa kecil. Kalau hanya ketakutan fitnah, maka hukumnya haram makruh, dan apabila keyakinan tidak adanya fitnah dan melalui laki-laki lain, maka hukumnya boleh (mubah).(Ahkam al-Fuqaha’, hal. 129).

Muktamar NU ke-8, 12 Muharram 1352 H/7 Mei 1933 M. Wanita Keluar Rumah dengan Wajah, Tangan dan Kaki Terbuka.

Soal: Bagaimana hukumnya seorang wanita keluar rumah untuk bekerja dengan wajah dan tangan terbuka? (Surabaya).

Jawab: Hukumnya wanita keluar yang demikian itu haram menurut pendapat yang mu’tamad. Menurut pendapat lain boleh wanita keluar untuk jual beli dengan terbuka dan kedua telapak tangannya, dan menurut madzhab Hanafi, demikian itu boleh bahkan dengan terbuka kakinya apabila tidak ada fitnah. (Ahkamul Fuqaha, 131).

Ketiga, di sebagian daerah juga tak jarang kita melihat ada seorang wanita yang menjadi penceramah di beberapa acara seperti muslimatan, walimah nikah dan lain sebagainya. Maka dari itu, perlu kiranya untuk mengetahui hukum tersebut.

Hasil musyawaroh Muktamar NU:

Soal: Bagaimana hukumnya orang perempuan berdiri di tengah-tengah lelaki lain untuk pidato keagamaan? Boleh ataukah tidak? (Ponorogo)

Jawab: Muktamar memutuskan bahwa berdiri orang perempuan di tengah-tengah lelaki lain, itu haram kecuali kalau bisa sunyi dari larangan agama Islam, seperti dapat menutup auratnya dan selamat dari segala fitnah, maka hukumnya boleh (jaiz) karena suara orang perempuan itu bukan termasuk aurat menurut qaul ashah. (Ahkam al-Fuqaha’, hal. 157).

Di dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, karya imam az-Zabidi dijelaskan bahwa telinga Rasulullah saw pernah mendengar dua suara gadis pembantu ketika beliau sedang tiduran di atas pembaringan. Hal ini menunjukkan bahwa suara wanita tidak diharamkan seperti keharaman seruling. Namun suara wanita hanya haram ketika khawatir adanya fitnah secara pasti. (juz 6 hal 490).

Sekarang kita telah melihat beberapa keterangan para ulama yang tidak terburu-buru dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan tradisi masyarakat kecuali telah jelas akan keharamannya. Inilah bentuk kepedulian Islam untuk menyatukan umat dalam satu tujuan dan satu barisan. Karena dakwah Rasulullah dengan merangkul, bukan memukul. Beliau berjuang untuk mencari teman, bukan lawan. Selalu mengajak, bukan mengejek.

Keempat, acara muslimatan yang beredar di beberapa tempat, biasanya juga diletakkan di masjid dengan harapan acara akan lebih kondusif dan dengan fasilitas masjid yang memadai. Cuman perlu kita ketahui, bahwa bagi wanita yang sedang datang bulan atau haid. Tidak diperbolehkan mengikuti musimatan kecuali berada di luar masjid. Berikut penjelasan para ulama tentang hukum wanita haid yang berada di masjid:

  1. Para ulama fuqaha sepakat, wanita haid haram diam di dalam masjid.
  2. Para ulama fuqaha sepakat wanita haid boleh lewat di dalam masjid ketika darurat dan ada uzur
  3. Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat, wanita haid haram memasuki masjid, baik untuk diam maupun untuk lewat saja.
  4. Madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat wanita haid haram lewat di dalam masjid apabila ditakutkan darahnya mengotori masjid.
  5. Madzhab Syafi’i berpendapat, wanita haid makruh melewati masjid apabila aman dari mengotori masjid.
  6. Madzhab Hanbali berpendapat, wanita haid boleh lewat di dalam masjid apabila aman dari mengotori masjid. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, juz 18 hal 322).

Uraian ini adalah pendapat para ulama yang memiliki ilmu yang memadai dalam memahami nash-nash syar’i. Inilah metode ahlussunnah. Tidak memahami teks al-Qur’an dan Hadis kecuali yang telah dipahami oleh orang yang pantas untuk memahaminya. Oleh karena itu, perintah al-Qur’an jika kita tidak tahu tentang masalah hukum, bukan dengan membuka terjemahan Al-Qur’an atau malah memahaminya sesuai kehendak pribadi. Tetapi kita harus bertanya kepada ahlinya, yaitu para ulama. Sebagaimana yang tertera dalam surah al-Anbiya’ ayat 7:

فَاسْئَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

Bertanyalah pada ahli dzikr (ulama) ketika kamu tidak mengetahui. (QS. al-Anbiya’ : 7).

*penulis adalah staf pengajar Fikih, BMK, dan Tafsir di MA Unggulan Nuris

Related Post