Penulis: Devita Wulan*
Terlihat mendayu di ujung barat. Sebuah sorak sorai diiringi lenggok ayunan tangan terangkai.
Menepuk dada, pangkal paha, hempas badan kemanapun. Suara merdu riuh rendah lantunan puji-pujian. Merah, biru, jingga bahkan ungu. Kompak menyambut para tamu…
Samanlah ia… Dambaan Sang Sabang nan mulia.
Berputar pada poros di atas altar. Ke depan ke belakang bergerak dengan indah. Alunan musik khas mengalu. Tawalang dan mandau tak pernah lupa. Bak prajurit perang yang sedang menghadapi musuh. Bulu burung tinggang menghias kepala. Eloknya khas dayak nan perkasa.
Sayapnya kian berkibar-kibar. Merayu-rayu bagai seorang perawan di madu cinta. Geraknya perlahan namun indah. Tangan, kaki, pundak bergerak seiring seruling. Garuda mungkur dikenakan menghias kepala. Menambah pesona keindahan perawan jawa.
(Baca juga: Senja Merekah)
Kotak hitam dan putih. Berjajar, berputar, beregu Mengayunkan tangan, melenggang dan berarak. Memuji dengan satu irama yang sama.
Riuh rendah kadang memekakkan telinga. Cak…Cak..cak cak… Bali tiada akan terganti
Gerak tangan melambung, melenggang, menghempas. Warna-warni baju adat menghiasi. Kipas lipat erat terayun. Bersama senyum berkembang membentuk lingkaran suci. Pakarena… dambaan Sang Gowa.
Sajojo berlenggang. Berbaris melawan meloncat ke depan dan ke belakang. Bersorak bahagia. Rok sagu mengayun-ayun riuh.
Kasuari melengkapi menambah keragaman. Menjadi ke khas an bumi Papua.
Betapa kita adalah Satu. Satu yang tercabik menjadi ragam
Ragam yang indah tari-tari tradisional. Unik indah dan penuh makna tersirat
Betapa kita adalah Satu. Indonesiaku… Nusantaraku…Tanah airku…
Penulis merupakan alumni SMA Nuris tahun 2011