Mentari Jenggirat

Penulis: Yosni Ayu F.Z.*

“Bumiku telah makmur jenggirat blambangan sucilah kau!”

Sepuluh bukan denting yang melelahkan tapi menandakan kekuatan dalam jiwa dan raga, pengorbanaan hidup ia tempuh sekuat tenaganya.

Sebongkah berlian bertaburan di hamparan ilalang yang indah mempesona menggugah jemari-jemari yang begitu lemah, dengan alur kehidupan yang begitu panjang bagaikan bentangan samudra. Sebuah alur kehidupan Jumanto terus mengalir dalam dirinya ia lahir dari keluarga pencinta alam terbuka, tidak dari rangkulan penguat hidupnya. Darah telah mengalir di dalam tubunya sangatlah melekat sekali sulit untuk diruntuhkan, sampai-sampai Jumanto tak suka ketika ada seseorang yang merusak alam sekitar.

Masa ia SMP, orang tuanya masukan ke dalam sekolah yang berbasis alam sekitar disana yang dididik, untuk menjadi pribadi yang lebih kuat bahkan tidak mudah takut untuk menaklukkan lingkungan sekitar hingga alam terbuka sekali pun. Bukan hanya sekolahnya saja yang alam. Bahasa yang di lontarkan berupa Arab dan Inggris di sekolahnya dua bahasa itulah, yang melatih kekeuatan bercengkramanya.   

Tak ada siswa yang tidak mengenal alam  semesta Jumanto  merasa sangat bersyukur dapat mengenal alam luas,tak ada polusi udara yang masuk seperti segarnya paru-paru dunia. Suatu ketika ia mendapatkan tugas untuk menjelajahi sebuah hutan heterogen, yang merupakan salah progam dari sekolahnya di hutan itu Jumanto dibebaskan untuk menikmati seluruh keindahannya.

(Baca juga: Jalan Lurus)

Pohon yang begitu tinggi dapat memanjakan bola mata disaat ia melihat  ke seluruh penjuru hutan, seperti tak ada beban hidup yang menopang dirinya. Yang ada hanya kenikmatan yang di berikan oleh sang mahakuasa ia menelusuri hutan sendirian, tidak ada rasa takut keberanian nyalah yang menyelimuti jiwa raganya. Hanya membutuhkan waktu 2 jam saja ia telah merasakan betapa indahnya alam sekitar, tak terasa waktu semakin larut matahari telah pupus dari angkasa, akan menampakkan kelamnya.

Karena waktu yang bergulir begitu cepat tak ada kesempatan baginya untuk menyodorkan tubuhkan ke bagian hutan yang lebih dalam lagi, tapi tak jadi masalah cukup Jumanto mengenal hutan saja telah menciptakan kekagumannya terhadapa alam. Sekolah memberikan apresiasi kepada siswa yang begitu menghargai alam sekitar dengan penuh kebahagian, salah satunya adalah Jumanto ia telah berani melangkahkan jemari-jemari membuat jejak kecil di hutan itu, padahal tak banyak siswa yang berani ke sana.

Kerlap-kerlip telah mengisahkan deraian perjuangan sebesar senja yang memancar jingga yang begitu merona, detik berganti menit berputar bagaikan alur panjang kehidupan. Saatnya ia meninggal sebuah kenangan yang begitu manis di sekolahnya sudah waktunya ia melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, ribuan ucapan berlian ia lontarkan ke seluruh pahlawan yang telah menuntunya ke jalan lebih cerah. Tak lupa juga ke suasana alam yang asri angin sepoi-sepoi dedaunan melambai-lambai menandakan perpisahan telah menghampirinya, banyak ilmu didapat Jumanto sulit mudah untuk di lupakan.

Dunia yang begitu luas menjadi perjalanan langkah jemari tak bertulang namun teguh untuk menerpa derasnya angin malam, sebening tempat yang menjadi tujuan selanjutnya. Adalah kota yang mendapat julukan “The santet of java” sebuah kota yang menyimpan jutaan intan permata yang memanjakan mata sampai penjuru dunia.

(Baca juga: Tanya Pada Sisi Jalan (Saksi Sebuah Tragedi Tersimpan)

Tepat bulan Desember 2 hari setelah Jumanto lulus dari SMP ia menjelajahi salah satu kota itu. Tempat yang diselimut oleh kabut udara begitu dingin hingga tubuh paling dalam pun merasakannya bahkan tulang rusuk pun patah karena dinginya udara yang menyerbukkan serbukan aroma manis. Jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari Jumanto menjelma menjadi seorang lelaki berbalut kain bulu domba, sampai tubuhnya menggigil.

“ Waw betapa hebatnya, karunia tuhan”. Ujar Jumanto.

“ Tak kusangka tiada bandingnya”. Ujar Jumanto                                   

Belum sampai di puncak buih-buih kasat mata mulai tampak jernih walaupun masih samar-samar di wajahnya, gelembung-gelembung berseri-seri telah merona di bola matanya. Mentari belum begitu mempeson kapas halus  menyambut, muncullah tampang yang berseri-seri dari kusam karena lelah letih menerpa sepanjang jalan.

“ sungguh tiada bandingnya”. Ujar Jumanto 

“ Akan aku jaga ini”. Ujar Jumanto

Ucapan penuh rasa bangga selalu terlintas di benaknya, ia membawa ransel yang berisi ribuan alat merangkul keelokan blue fire. Busaran jahanam yang tuhan ciptakan untuk seluruh insan di penjuru dunia, ia mencari sanjungan yang indah untuk melukiskan ribuan kenangan manis.

Yang akan ia bawa sampai ke liang lahat, denting terus berputar tanpa henti seperti alur hidup manusia di samudra begitu luas. Tepat saat itu juga tampak seorang  hadir dari kejauhan, kulit terang berbalut kain katun dengan corak motif.

“Siapa dia?”. Ujar Jumanto dengan rasa penasarannya, disisi lain ia tak peduli karena baginya itu bukan orang penting. Kelopak berguguran di sekitar Jumanto kerikil menghiasi hamparan tanah sejuk semerbak aroma taman biru. 

Tanpa berpikir panjang Jumanto lansung menggelar kanvasnya sembari melukis serpihan-serpihan api  di dalamnya, dengan penuh keuletan ia menggerakkan tangan sembari melihat hiasan pusaran api biru nyata. Rasa kagum tak sulit ia ungkapkan oleh sebutir kata-kata manis dari mulutnya, di samping melukis ia juga memeluk seribu daun-daun yang akan rontok oleh derasnya angin. Langit masih kelam mentari pun enggan tampak di penjurunya, sulit untuk Jumanto menyisihkan tubuhnya  dari ruang yang penuh kebahagian seperti yang ia rasakan.

Demi perjuangannya ia tidak ingin meninggalkannya,  rasa tak relanya telah menyelimuti seluruh tubuhnya. Seorang yang masih lemah secara mata terlanjang,  tidak ada yang menemaninya selama di gunung Ijen.

 Brakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk…….

“ Minggir kau!”. Ujar lelaki berkaca mata hitam

“ Tidak, siapa kau!”. Sahut Jumanto

Bentakan suara yang menggugah Jumanto, suasana aman, damai, dan tenang tiba-tiba terdengar suara buldoser  yang sangat mengusik gendang telinganya. Hadir di hadapannya seseorang yang sama seperti yang ia lihat tadi, berbalut kain pemerintah daerah kota disekujur  tubuhnya. Dialah yang memandu buldoser itu untuk menghantam blue fire, Jumanto tidak tau untuk apa tujuannya. Masih jauh jarak buldoser itu, ia mencari tau apa tujuan seorang berkacamata hitam tersebut. Tidak ada rasa kecil hati yang terlintas di benaknya.

Keberanian bagaikan pedang  kokoh  yang menetap di dalam jiwa raganya, ia tidak peduli akan bahaya yang akan terjadi pada dirinya. Lelaki berkacamata hitam dengan pasukkan yang begitu banyaknya,  sedangkan Jumanto sebatang kara tak ada yang mendukungnya bahkan menghalaginya.

Gemeruduk di tengah-tengah langkahnya yang begitu cepat ucapan lantang ia lontarkan kepada laki-laki itu. Akhirnya tahu apa tujuan mereka datang ke tempat ini, mereka ingin menjadikan blue fire untuk kepentingan  sendiri dengan membangun sebuah gedung besar  nan megah tiada tara. Mereka ingin meracik tempat menjadi ribuan virus yang merusak keindahan alam ciptaan tuhan.

Jumanto langsung bergegas ke hadapan blue fire dengan tubuh sebatang kara untuk menghalangi buldoser menghantam keelokkannya, apalagi merubahnya dengan badan mobil yang begitu besar.

“ Aku tidak rela kau disini, pergi kau!”. Ujar Jumanto dengan lantang raut wajah penuh dengan keberanian. Laki-laki tersebut tak menghiraukannya ia tetap menghadang buldoser ke arah Jumanto. Minggirkah dia? takutkah dirinya? Seuntaian kata-kata bodoh yang tak perlu dilontarkan

Keteguhan yang ia tanamankan tidak akan surut dari di dalam jiwanya, seorang lelaki penghancur mentari yang berdosa berani menerkam alam, yang di mana itulah dunia penggugah jiwa raganya.

“Bumiku telah makmur jenggirat blambangan kokohlah kau!”. Ujar jumanto

Tamat

Penulis merupakan siswa kelas XI IPA SMA Nuris Jember yang aktif di ekstrakurikuler jurnalistik

Related Post