Penulis: Muhammad Qorib Hamdani*
Indonesia terkenal dengan keberagaman seni budaya dan tradisinya. Dalam ritual keagamaan, masyarakat Indonesia memiliki tradisinya sendiri, berbeda dengan kebanyakan negara muslim yang lain. Beberapa di antara tradisi keagamaan itu antara lain; tahlilan, maulid nabi, ziarah kubur dan masih banyak lagi yang lainnya.
Hal ini mungkin dipicu oleh proses dakwah yang dilakuka oleh penyebar agama Islam pada jaman dulu yang menggunakan pendekatan budaya. Dengan tidak mencerabut akar budaya aslinya, akhirnya muncul tradisi unik yang mungkin sangat berbeda dengan negeri asal agama Islam.
(Baca juga: Ziarah ke makam Nabi Muhammad Bidah?)
Mengenai tradisi keagamaan masyarakat Indonesia tersebut, banyak problematika yang diperbincangkan oleh beberapa kalangan yang berbeda pandangan. Bahkan, masalah ini kerap kali menjadi ajang debat bagi sebagian kalangan. Salah satu tradisi keagamaan yang sering menjadi sorotan masyarakat adalah tradisi tahlilan untuk orang yang sudah meninggal.
Tahlilan adalah doa bersama yang diselenggarakan oleh warga Nahdlatul Ulama (NU) untuk orang yang telah meninggal dunia dengan tujuan memohonkan ampunan kepada Allah. Dengan adanya tradisi tahlilan ini umat islam diajarkan untuk mendoakan orang yang telah meninggal. Dalil tentang ini adalah Al-Quran surat Al-Hasyr ayat 10 yang menjelaskan, “dan orang-orang yang datang sesudah mereka (muhajirin dan anshar) mereka berdoa, ”Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan orang-orang yang wafat mendahului kami dengan membawa iman. Dan janganah Engkau memberikan kedengkian daam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun Lagi Maha Penyayang. Dalil ini menjelaskan bahwa ukhuwah islamiyyah tidak terputus karena kematian seseorang.
Akan tetapi yang menjadi masalah tentang tahlilan adalah surat An-Najm ayat 38-39 yang menjelaskan, “bahwa seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. Hal ini semakin kontras jika menurut perkataan Imam Syafi’i yang menjadikan dalil itu sebagai hujjah tentang tidak sampainya hadiah pahala bacaan Al-Quran untuk orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, di sisi lain Imam Suyuti berkata bahwa mayoritas ulama’ mengatakan sampai kecuali Imam Syafi’i.
(Baca juga: Kata Siapa Ziarah Makan Itu Bidah?)
Imam Syamsuddin bin Abdul Wahid Al-Maqdisi berkata dalam risalahnya tentang sampainya pahala bacaan Al-Quran kepada orang yang telah meninggal, bahwa mayoritas ulama telah menjawab argumentasi Imam Syafi’i di atas dengan beberapa hujjah sebagai berikut:
Pertama, ayat QS. An-Najm diatas telah di-nasakh (diganti status hukumnya) dengan surat At-Thur ayat 21 yang menjelaskan, “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka”. Ayat ini menerangkan bahwa Allah memasukkan anak cucu ke surga karena keshalihan leluhurnya.
Kedua, ayat QS An-Najm ayat 39 di atas khusus bagi kaum Nabi Musa. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ikrimah.
Ketiga, yang dimaksud ‘mereka’ dalam QS.Al-Najm ayat 39 di atas adalah orang kafir. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Rabi’ bin Anas.
Keempat, seorang manusia memang hanya memperoleh pahala dari apa yang telah diusahakanya berlandaskan keadilan Tuhan. Akan tetapi jika melihat anugerah Tuhan, boleh saja Allah menambah pahalanya dengan apa yang diusahakannya melalui orang lain untuk sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Husain bin Al-fadhal. (perlu klarifikasi dan interpretasi karena kalimatnya kurang jelas)
Kelima, huruf jer “lam” dalam kalimat “lil insan”bermakna ‘ala, yaitu manusia hanya akan disiksa karena apa yang diusahakannya. Jadi ayat tersebut berkaitan dengan siksa, bukan dengan pahala.
Selain itu, komposisi bacaan dalam tradisi tahlilan sangat beraneka ragam mulai dari tahmid, tahlil, tasbih, takbir, sampai Al-Quran. Perpaduan inilah yang menjadikan tahlilan sebagai tradisi yang paling unik. Kombinasi bacaan ini juga acap kali menjadi bahan dalam debat, dengan pertanyaan bagaimanakah hukumnya mencampuradukkan ayat Al-Quran?
Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang komposisi bacaan ini. Ternyata Ibnu Taimiyyah memperboehkannya serta menganjurkannya. Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah berkata dalam (Majmu’ Fatawa, juz 22, halaman, 520), yaitu, “Ibnu Taimiyyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata, ”dzikr kalian ini bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah”. Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan Al-Quran, lalu mendoakan kaum muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahlil, tahmid, takbir, hauqalah dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.“ lalu Ibnu taimiyyah menjawab: “Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan Al-Quran dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi SAW besabda, “Sesungguhnya Allah memiliki banyak malaikat yang selalu berpergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil, “Silakan sampaikan hajat kalian”. Lanjutan hadis tersebut terdapat redaksi, “Kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Mu”.
Pernyataan Ibnu Taimiyyah di atas memberi kesimpulan bahwa dzikir berjamaah dengan komposisi bacaan yang beragam antara ayat Al-Quran, tasbih, tahmid, tahlil, shalawat dan lain-lain seperti yang terdapat dalam tradisi tahlilan adalah amal shaleh dan termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama alam setiap waktu.
Itulah beberapa problematika mengenai tradisi tahlilan yang kerap kali diperdebatkan dalam sosial media ataupun oleh masyarakat. Dalam hal ini kita dapat mengetahui bahwa tidak ada kesalahan dalam tradisi tahlil. Maka dari itulah sebagai bangsa Indonesia, kita harus menjaga tradisi dan budaya Indonesia dengan baik agar tradisi dan kebudayaan indonesia yang telah diwariskan oleh para leluhur tidak hilang dari bumi pertiwi yang kita cintai.
Penulis merupakan siswa kelas XI PK MA Unggulan Nuris Jember yang aktif di ekstrakurikuler jurnalistik