Seri-1 Ngaji Risalah Aswaja; antara Sunah dan Bid’ah

Penulis: M. Izzul Aroby*

KH. Muhammad Hasyim Asy’ari mengawali fasal pertama dalam kitab Risalah Ahl- al-sunnah wa al-Jamaah dengan pembahasan yang cukup unik yaitu, mengulik tentang sunah dan bid’ah.

Pembahasan sunah dan bid’ah selalu seru setiap era. Hal ini dipicu oleh kelompok berpaham Wahabi yang ingin menghapus paham “Tahayyul Bid’ah dan Kurafat” yang menurut mereka menjangkiti umat Islam seperti, ziarah kubur dan tahlilan. 

Apakah memahami sunah dan bid’ah itu penting? Orang yang pernah belajar di pesantren sedikit banyak memahami secara utuh tentang sunah dan bid’ah sehingga tidak mudah tergiring pendapat yang menyatakan bahwa tradisi yang berkembang di kalangan Nahdliyyin (Tahlilan, Maulid Nabi, Talqin dll.)  tidak mempunyai hujjah yang kuat.

Hal ini berbeda dengan orang yang tidak pernah mempelajari sunah dan bid’ah. Mereka menjadi mudah salah memahami pemaknaan sunah dan bid’ah yang diutarakan banyak penceramah di media sosial.

(baca juga: Menjawab Kegalauan Netizen, Mudik versus Pulang Kampung)

Penulis beberapa waktu lalu menuliskan kalimat “hukum tahlilan” di mesin pencarian google, adapun yang muncul dari sembilan artikel teratas adalah 3 artikel menyatakan bahwa tahlilan dianjurkan dan 6 artikel menyatakan bahwa tahlilan hukumnya dilarang dengan salah satu alasannya adalah bid’ah. Oleh karena itu, memahami sunah dan bid’ah secara tepat membuat seseorang tidak mudah terjebak narasi yang salah.

Kiai Hasyim mendefinisikan sunah dengan mengutip tulisan Abu Al Baqa dalam kitab-kitab Kulliyat yang menyebut definisi al-sunnah secara etimologi sebagai “suatu jalan meskipun tidak diridloi”. Secara terminologi sunah diartikan sebagai jalan yang diridloi Allah dalam agama (yang jalan tersebut) ditempuh oleh Rasulullah dan orang yang paham dalam masalah agama seperti para sahabat.

(baca juga: Santri Harus Melek Saham)

Bid’ah menurut Syekh Izzuddin bin Abdissalam adalah “suatu perbuatan yang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah”. Pembahasan mengenai bid’ah tidak sesempit definisi tersebut sehingga menimbulkan kesan bahwa apapun yang tidak ada semasa Rasulullah disebut bid’ah dan tidak boleh dilakukan.

Apabila ditelisik, banyak perkara agama yang tidak ada semasa Rasulullah, seperti mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf, adanya ilmu alat (Nahwu, Shorrof dll.) sampai salat tarawih sebulan penuh secara berjama’ah di masjid. Berangkat dari hal tersebut, ulama’ membagi bid’ah dalam beberapa kategori. Wallahu A’lam.[]

sumber foto sampul: nu.or.id

*Penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris tahun 2017, kini melanjutkan studi di Polie

Related Post