Filsafat Islam, Rasional Bukan Liberal!

Penulis: Roith Husein*

“Orang yang bijaksana ialah orang yang tahu bahwa dirinya benar benar tidak tahu”(socrates)

Berbicara tentang filsafat, mungkin bagi kebanyakan orang ilmu ini di anggap sebagai ilmu yang sulit untuk dipahami, sulit di pelajari, dan bahkan ada juga yang bilang ilmu ini menyesatkan. Dengan belajar ilmu filsafat kita akan menjadi orang yang terarahkan, dan paham akan kehidupan.  Namun dari sedikit orang yang minat terhadap ilmu ini, sehingga mereka kesulitan untuk menambah wawasan akan filsafat. Apalagi filsafat Islam?

Dari segi kata filsafat diambil dari bahasa Yunani Philosophy Philo yang berarti cinta dan shopia yang berarti pengetahuan, hikmah ataupun kebijaksanaan. Jika di definisikan filsafat yaitu suatu pemikiran yang kritis terhadap apa yang dipercaya guna untuk menganalisis konsep-konsep yang ada.

(Baca juga: ilmu falak dan ilmu nujum, bolehkah dipelajari?)

Lalu apa pentingnya filfasat dalam islam? Dalam dunia Islam filsafat berperan sebagai pembelajaran yang digunakan untuk mengkaji dan meluruskan permasalahan yang masih timbul dalam Al-Qur’an dan Hadits. Para pakar islami sering menyebutnya “falsafah islam”. Jadi dalam ajaran ini bukan mengacu terhadap filsafat yang liberal, bebas dan tak terarahkan dan sebagaimana pemikiran-pemikiran akan filsafat pada umumnya.

Musa Asy’ari pernah menjelaskan, bahwa sebenernya hakikat filsafat islam adalah filsafat yang bercorak islami, atau nama lainnya islamic Philosophy, bukan Philosophy of Islam yang berarti berfikir tentang islam. Jadi maksud Musa Asy’arie ialah filsafat islam adalah suatu pemikiran dengan tetap dalam sifat rasionalis, yang berada dalam taraf makna, dan dapat memberikan keselamatan dan kedamaian hati. Tujuan kita belajar filsafat islam yaitu untuk mendekatkan seorang insan kepada sang Pencipta, agar bisa bertanggung jawab dan memenuhi segala kewajibannya sebagai seorang insan.  

(Baca juga:bahaya riya)

Pada dasarnya karakteristik filsafat islam itu sama dengan filsafat pada umumnya, yaitu radikal, spekulatif, universal, rasionalis, dan sistematis. Filsafat islam juga memiliki objek diantaranya; Hakekat Tuhan, Hakekat Alam, dan Hakekat Manusia.  Bahkan dalam Al-Qur’an beberapa ciri itu dianjurkan untuk dipelajarinya dalam memahami agama islam khususnya ayat-ayat Al-Qur’an yang bagi sebagian orang maknanya terlalu sulit di pahami. Dalam surat Al-Hashr ayat 2 disebutkan :

 فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ

Yang memiliki arti “maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang orang yang mempunyai wawasan.”.  Ibn Rushd menjelaskan maksud dari ayat di atas ialah tak lain untuk mengambil hikmah dari sesuatu yang majhul dari sesuatu yang maklum. Bagaimanapun pengertian tadi termasuk qiyas islam. Maka dari itu sebagai seorang muslim wajib memikirkan atau merenungi sesuatu yang ada di alam semesta.

Sejarahnya, filsafat islam berasal dari Yunani kemudian menyebar ke mesir, Iskandariah, Suriah, dan Iran. Dari Iran filsafat islam mulai berkembang selayaknya seperti ajaran-ajaran yang lainnya. Maka dari itu muncullah beberapa filsuf islam seperti Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi atau lebih sering di panggil Al-Kindi.

Beliau menulis beberapa karya yang cukup banyak, antara lain dalam kumpulan risalahnya yang berjudul “Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyyah”. Berikutnya ialah  Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at-Tusi al-Ghazali. Nama yang sangat familiar terutama di pondok pesantren manapun nama al-Ghazali sudah menjadi buah bibir kalangan santri. Bagaimana tidak jika kitab karangannya tak pernah lepas dari genggaman para santri.

Al-Ghazali yang dikenal sebagi pengkritik argumen-argumen kaum filsuf pada masanya dengan menulis kitab berjudul “Tahafut al-Falasifah”. Dimana kitab tersebut memberikan kesan tentang kelemahan argumen filsuf muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi, dan ibn Sina. Al-Ghozali populer dengan kitabnya yang beranama “Ihya’ Ulumuddin”.

Jadi sebagai insan marilah kita merenungi nikmat yang telah Allah berikan. Tidak semerta-merta merasa puas akan hidup. Jangan merasa menjadi orang yang paling beruntung. Karena semua itu hanyalah titipan. Kita hidup untuk memikirkan kekuasaan Allah bukan kekuasaan seseorang. Semoga dari tulisan diatas kita dapat mengambil hikmahnya sehingga dapat menuntun kita kembali kepada-Nya. Dijalan yang sama, jalan yang benar. 

Sumber gambar: ilmubermanfaatkali.blogspot.com

Penulis merupakan siswa kelas XI Axioo SMK Nuris Jember yang aktif di ekstrakurikuler jurnalistik

Related Post