Penulis: Abdullah Dardum, M.Th.I*
Puasa merupakan ibadah yang bersifat privat (pribadi), yakni semata-mata hubungan kita sebagai hamba terhadap Tuhannya, puasa berbeda dengan ibadah-ibadah lain, dimana keterlibatan dan pengetahuan orang lain begitu nyata dan jelas. Dalam shalat misalnya, orang bisa melihat bagaimana kita shalat. Begitu pula dalam ibadah haji dan zakat. Hal ini bereda dengan ibadah puasa.
Jika seseorang pura-pura berpuasa, orang lain tidak akan tahu. Akan tetapi, hanya Tuhan dan dirinya sendirilah yang tahu. Sebab, siapakah yang menjamin bisa mengetahui bahwa seseorang itu berpuasa atau tidak selain Allah SWT dan yang bersangkutan sendiri? Misalnya, mungkin saja seseorang di siang hari nampak lesu, lemah dan tak bertenaga; yakni, mempunyai tanda-tanda lahiriyah bahwa dia adalah seorang yang sedang berpuasa. Namun, tentu saja hal itu tidaklah merupakan jaminan bahwa dia benar-benar berpuasa, sebab mungkin saja dia melakukan sesuatu yang membatalkan puasa ketika sedang sendirian.
(Baca juga: sisi lain dari shalat berjamaah)
Jika secara teologis ibadah puasa selalu dikaitkan dengan imbalan pahala yang bersifat metafisis, terutama pahala yang akan diterima di akhirat kelak, maka sesungguhnya menurut al-Qur’an atau sunnah Nabi SAW terdapat isyarat kuat bahwa pahala berpuasa juga memiliki dimensi sosial-psikologis yang bersifat empiris. Bahkan dampak empiris dari ibadah puasa sangat ditekankan, misalnya, seseorang dengan menjalankan puasa hendaknya akan memiliki pribadi yang jujur, hati yang lapang, senang berkorban untuk menolong sesama dan bisa menjaga hati, mulut dan tangannnya untuk tidak menyakiti orang lain serta mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Di samping itu, sama seperti ibadah-ibadah yang lain puasa memiliki dua dimensi; dimensi eksoterik (ritual), dan dimensi esoterik (spritual). Dimensi esoterik puasa di samping menjauhi sesuatu yang dapat membatalkan puasa, dan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi perbuatan dosa yang dapat mengurangi “nilai” puasa, yang paling penting adalah mengosongkan hati dari sesuatu selain Tuhan, dan inilah kiranya hakikat takwa yang menjadi harapan dari pelaksanaan puasa.
Namun terkadang banyak orang yang terlalu sempit dalam memahami puasa, sehingga puasa hanya dianggap sebagai ibadah ritual yang berupa pengekangan diri dari makan dan minum dan hal-hal yang membatalkan puasa. Dengan demikian, benar kiranya perkataan sebagaian orang yang menganggap puasa kita hanya sebagai suatu bentuk perpindahan jam makan dari siang ke malam. Padahal, meskipun puasa bersifat sangat pribadi, tetapi di dalamnya mengandung ajaran-ajaran sosial yang penting untuk kita transformasikan dalam kehidupan riil di masyarakat. Karena sekalipun puasa itu perintah Tuhan tetapi jika direnungkan dalam-dalam target dan muara etis dari puasa, dan juga ibadah lain, orientasinya sangat humanistik-horizontal.
Karena itulah Imam al-Ghazali dalam Bidayat al-Hidayah-nya (hlm. 59) berkata: “Apabila kamu berpuasa, maka janganlah kamu menyangka bahwa puasa hanyalah meninggalkan makan, minum dan persetubuhan saja. Akan tetapi, kesempurnaan puasa adalah dengan menahan seluruh anggota tubuh (yaitu pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan lainnya) dari apa yang dibenci oleh Allah SWT.”
Lebih dari itu -meminjam terminologi Quraish Shihab- ketika seseorang berpuasa sebenarnya berusaha untuk meneladani sifat-sifat Tuhan dan juga berusaha untuk meniru sifat-sifat malaikat yang disucikan dari syahwat-syahwat duniawiyyah sesuai dengan kemampuan kita sebagai manusia. Dan itulah bentuk atau model puasa yang dilakukan oleh orang-orang shaleh.
(Baca juga: filsafat islam rasional, bukan liberal)
Dalam hal ini al-Ghazali menguraikan dalam Ihya’ Ulum al-Din (1/311): “Dapat dipahami bahwa yang menjadi tujuan dari puasa adalah (melatih kita) berakhlak dengan akhlak-akhlak yang dimiliki oleh Allah dan mengikuti malaikat dalam menahan diri dari syahwat berdasarkan kadar kemampuan, karena malaikat disucikan dari syahwat-syahwat. Adapun manusia derajat atau tingkatnya di atas binatang. Ini disebabkan kemampuan manusia dalam mengalahkan syahwatnya dengan cahaya akal.”
Contoh sifat atau akhlak Tuhan yang harus diteladani misalnya, sifat al-Rahman. Orang yang berpusa hendaklah ia melatih diri dengan senantiasa mengasihi dan menyayangi sesama. Dengan meneladani sifat al-Rahim, orang yang berpusa memberi kasih kepada saudara-saudara seiman sambil meyakini bahwa tiada kebahagiaan kecuali bila rahmat-Nya di hari akhir dapat diraih. Dengan meneladani sifat al-Quddus, orang yang berpusa menyucikan dirinya lahir dan batin, serta mengembangkan diri sehingga selalu berpenampilan indah, baik dan benar. Dengan meneladai sifat al-‘Afuww, orang yang berpusa selalu bersedia memberi maaf dan menghapus bekas-bekas luka hatinya. Demikian seterusnya dengan sifat-sifat Tuhan yang lainnya, yang harus dihayati esensinya untuk diteladani sesuai dengan kemampuan kita sebagai manusia.
Di samping puasa sebagai upaya untuk meneladani sifat-sifat Tuhan, puasa juga memiliki tujuan utama seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 183, yakni “la’allakum tattaqun”, kita diharapkan menjadi orang yang bertakwa. Orang yang bertakwa bukan berarti hanya bertakwa hanya secara vertikal kepada Allah SWT saja, tetapi juga secara horizontal, yaitu menebarkan pedamaian di muka bumi. Jika kita bisa melaksankan puasa dalam makna seperti itu, kita bisa menemukan dimensi lain bahwa puasa tidak hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum, tetapi menahan diri dari sikap kedengkian dan kebencian. Puasa juga berfungsi untuk pengendalian diri dari segala macam perbuatan kemaksiatan dan kemungkaran.
Sebagai bagian dari latihan rohani untuk pengendalian diri, puasa memberikan sumbangan untuk meningkatkan kemampuan pengendalian diri, maka sikap yang perlu dinyatakan ketika menghadapi berbagai godaan, adalah cukup dengan mengatakan “inni sha’im” (saya sedang puasa). Sebagaimana yang telah diajarkan Nabi SAW: “Puasa adalah benteng dari api neraka, karenanya, apabila seseorang di antara kamu sedang berpuasa, janganlah ia mengucapkan perkataaan yang jorok, janganlah marah atau emosi, dan jika ada orang yang memakinya atau ada orang yang membunuhnya, hendaklah ia berkata, aku sedang berpuasa.” (HR. Bukhari).
Walhasil, kalau memang seseorang yang berpuasa tidak bisa menahan fikiran-fikirannya dari urusan duniawi atau tidak mampu menahan pikiran dari sesuatu selain Allah SWT, maka paling tidak dia berusaha agar anggota badannya juga turut berpuasa di samping dia menahan perut dan kemaluannya. Dengan begitu kita tidak termasuk dalam kategori orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga sebagaimana ditegaskan oleh Nabi SAW dalam haditsnya: “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali lapar.” (HR. Ahmad).
Wallahu a’lam.
Penulis merupakan Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin, Adab & Humaniora IAIN Jember/Wakil Sekretaris Aswaja Center PCNU Jember