Penulis: Abd. Halim W.H.*
Seringkali dijumpai, ketika si buah hati telah dilahirkan, orang tua bingung untuk memilihkan nama untuk anaknya tersebut. Ini lumrah karena nama tersebut tidak hanya akan dipakai satu dua hari, akan tetapi seumur hidup, bahkan hingga dibangkitkan kembali dan dikumpulkan di alam mahsyar kelak (dalam sebuah keterangan, esok di alam mahsyar, umat manusia akan dipanggil sesuai namanya waktu di dunia).
Dalam hal memberi nama terhadap anak, sudah seharusnya orang tua pandai-pandai memilih dan tidak sembarangan. Karena sejatinya nama bukan sekadar label, melainkan penentu adab anak itu sendiri.
Memberi nama yang baik kepada anak adalah anjuran agama. Ia merupakan satu di antara beberapa kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
حَقُّ الْوَلَدِ عَلَى الْوَالِدِ أَنْ يُحْسِنَ اسْمَهُ وَيُعَلِّمَهُ الْكِتَابَةَ وَيُزَوِّجَهُ إِذَا بَلَغَ
Artinya, “Kewajiban orang tua kepada anak ialah: memberi nama yang baik, mengajari baca-tulis, dan menikahkan saat sudah baligh.”
Menurut Imam al-Mâwardi, Seorang tokoh ahli fikih bermadzhab Syafi’i yang kitab-kitabnya banyak menjadi rujukan ummat Islam, ada 3 (tiga) cara memilih nama yang baik bagi anak, antara lain:
1. Diambil dari nama para pakar agama, seperti: para Nabi, Rasul, dan shalihin (hamba-hamba Allah yang baik)
Penamaan ini diniatkan antara lain untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. dengan mencintai mereka, menghidupkan nama-nama mereka serta meneladani mereka, seperti nama Muhammad, Ahmad, Ibrahim, Musa ‘Isa, Nawawi, Syafi’i, Hasyim Asy’ari, dan seterusnya. Pengungkapan tersebut sebagai bentuk ekspresi kecintaan dan menghidupkan nama-nama mereka dengan maksud meneladani. Misalnya di Sidogiri, ada kiai besar yang diberi nama Kiai Nawawi, meniru nama kakeknya yang juga diberi nama Nawawi: KH. Nawawi bin Noer Hasan. Nama ini juga “tabarrukan” kepada nama Nawawi dari Betawi, Batavia, yaitu pensyarah kitab Safînatun Najâh, Sullamut Taufîq, Bidâyatul Hidâyah dan lainnya, yang itu juga meniru ulama besar sebelumnya, seorang pakar hadis, yaitu Syekh Syarafuddîn an-Nawawi. Jadi, di dalamya terdapat bimbingan dan keinginan untuk mencontoh nama yang ditiru.
(baca juga: Sule Yuksel Senler, Pembela Kaum Berjilbab dengan Kekuatan Pena)
2. Sederhana: pendek, mudah diucapkan dan dihafal, serta cepat diingat ketika didengarkan.
Ini berbeda dengan kecenderungan di masyarakat kita. Kecenderungan di masyarakat ketika memberi nama anak panjang lafaznya. Kadang sampai 4 atau 5 kata. Syekh Waliyullah ad-Dahlawi, seorang tokoh Pembaharu Islam dari Dehli, India, yang diantara karya-karyanya yang terkenal adalah kitab Hujjatullâh al-Bâlighah, al-Inshâf fî Asbâ bil Ikhtilâf, dan lainnya. Beliau sangat terkenal dengan pemikiran-pemikirannya yang reformis, memadukan konsep-konsep keagamaan dengan kehidupan modern, beliau menambahkan agar nama juga sebaiknya bermuatan do’a, seperti Fattah (pembuka rejeki, pembuka hati, pembuka akal, pembuka yang tertutup, pembuka yang terkunci), Mubarok (yang diberkati), dan lainnya.
3. Memiliki arti yang bagus, sesuai, pantas dan tidak menimbulkan tertawaan orang.
Dalam memberi nama, sebaiknya kita menghindari nama-nama populer yang sekiranya jika digunakan akan menimbulkan tertawaan dan cemoohan dari orang-orang, seperti nama presiden: Joko Widodo, dan nama-nama populer lain, kecuali nama Nabi: Ahmad dan Muhammad, yang memang sudah populer, sering digunakan dan tidak menimbulkan cemoohan ataupun tertawaan bagi pengguna nama tersebut.
Di sisi lain, perkembangan kehidupan sosial di negeri kita sudah bergeser, bahwa nama seringkali lebih kepada nyaman didengar, akan tetapi kadang tidak jelas artinya. Ini fatal dan kasihan kepada si anak. Karena ia berhak menerima pemberian nama yang baik dari orang tuanya.
►Diadaptasi dari pengajian rutin Kamis (18/04/2019) siang untuk para Fasilitator dan Karyawan PTQ Anak & Balita Nuris yang diasuh oleh Syaikhul Ma’had KH. Muhyiddin Abdussomad, NURIS Jember.
*Penulis adalah Khâdim di Program Tahfizh Nuris Jember