Penulis: As’ad Humam*
Marhaban yaa syahra sya’ban yang telah kita ucapkan dalam menyambut kedatangan bulan sya’ban merupakan ungkapan euforia umat muslim di seluruh bentala. Pasalnya, bulan ke delapan hijriah ini ialah salah satu bulan haram alias bulan yang dimuliakan lantaran banyak keutamaan di dalamnya. Dilaporkannya akumulasi amal manusia selama satu tahun di bulan ini juga keistimewaan yang tidak ditemukan pada bulan-bulan yang lain.
Konon, bulan mulia ini disebut bulan Sya’ban karena waktu itu kabilah-kabilah arab tercerai-berai menjadi beberapa kelompok. Ada yang melatari dengan melimpahnya kebaikan yang diturunkan untuk menyambut bulan ramadan. Sehingga patut kiranya, kemudian dianjurkan memperbanyak doa, puasa, salat sunnah dan ibadah yang lainnya.
Nah, semua anjuran tersebut yang perlu dipaparkan kembali adalah anjuran berpuasa. Puasa di bulan ini dilatarbelakangi oleh kondisi di mana manusia pada galibnya lalai sebagaimana salat di sepertiga malam, waktu tepat manusia berlena dengan kehangatan kasur dan selimut. Rasulullah Saw. pun melakukan puasa di kebanyakan hari-hari bulan Sya’ban bahkan sebulan penuh yang kemudian disambung dengan puasa ramadan. Namun, berpuasa mulai tanggal 16 bulan Sya’ban hingga ramadan diharamkan bila pada tanggal 15 sebelumnya ia tidak berpuasa.
(baca juga: Hukum Salat Berjamaah Ganda dalam Satu Masjid)
Kemudian ibadah yang menuai perselisihan di kalangan ulama yaitu solat raghaib dan salat khair. Imam Ahmad ibnu Hajar Al-Haitaimi menulis di dalam kitab al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah `ala Mazhabi al-Imam asy-Syaf`i menukil pendapat Imam Nawawi bahwa solat raghaib yaitu salat sebanyak 12 rakaat yang dilaksanakan di antara salat maghrib dan isya pada malam jumat pertama dari bulan sya’ban, dan solat seratus rakaat di malam paruh bulan Sya’ban (ini disebut solat khair) adalah bidah yang buruk. Imam Nawawi dalam hal ini juga mewanti-wanti agar tidak terjebak terhadap anjuran solat raghaib dan khair yang disebutkan di dalam kitab Qutu al-Habib, Ihya’ `Ulumiddin, hadis-hadis, dan pendapat sebagian ulama yang menganjurkan solat tersebut karena semua itu batil. Ditambah lagi, hadis-hadis tersebut bukan hanya dho’if, tetapi oleh beliau dikategorikan maudhu’.
Izzuddin bin Abdissalam menyusun kitab monograf yang mengonter pendapat syekh Taqiyyuddin bin Shalah yang sebelumnya juga melarang solat tersebut. Syekh Taqiyyuddin di dalam kitabnya berdalil dengan firman Allah “Bagaimana pendapatmu tentang orang (Abu Jahal) yang melarang seorang hamba (Muhammad Saw) ketika mengerjakan solat?” [QS. Al-Alaq: 9-10]. Sulthanul ulama itu menyanggah bahwa beliau setuju dengan ayat tersebut, tetapi sebenarnya yang beliau larang dalam hal ini sebagaimana yang dilarang oleh rasulullah Saw. [Al-Hawi lil Fatawa karya imam as-Suyuthi, juz. I, hal. 256]
Biarpun demikian, kalangan salaf dan tabi’in di penduduk Syam, seperti Khalid bin Ma’dan, Lukman bin Amir, dan yang lainnya melakukan salat tersebut di dalam suatu perkumpulan dan tak jarang pula melaksanakannya secara berjamaah. Abdurrahman bin Muhammad bin Husain Ba Alawi menyebutkan bahwa
(مسألة): صلاة الرغائب من البدع المنكرة كما ذكره ابن عبد السلام وتبعه النووي في إنكارها، وهي جائزة بمعنى لا إثم على فاعلها، والجماعة فيها جائزة أيضاً، نعم لو صلاها معتقداً صحة أحاديثها الموضوعة أثم.
“Salat raghaib itu termasuk bid’ah munkarah, sebagaimana yang disebutkan oleh syekh Izzuddin bin Abdissalam dan imam Nawawi. Namun, orang yang melakukan solat itu tidaklah berdosa. Kendatipun demikian, kalau ia melakukan salat itu seraya meyakini keabsahan hadis-hadis maudhu’ tersebut maka ia berdosa”. [Ghoyatu Talkhis al-Murad min Fatawa ibn Ziyad, juz. 1, hal. 21]
(baca juga: Puasa: Upaya Meneladani Sifat-Sifat Allah SWT)
Dan ternyata imam Ismail Al-Ajluni di dalam kitab Kasyf al-Khafa’ wa Mazil al-Ilbas amma Isytahara min al-Ahadits `ala Alsinah al-Nas, beliau menyatakan bahwa
هذا والحكم على الحديث بالوضع أو الصحة أو غيرهما إنما هو بحسب الظاهر للمحدثين باعتبار الإسناد أو غيره، لا باعتبار نفس الأمر والقطع لجواز أن يكون الصحيح مثلا – باعتبار نظر المحدث – موضوعا أو ضعيفا في نفس الأمر، وبالعكس.
“Hadis yang dikategorikan shohih, maudhu’ dan lain sebagainya itu hanya persepsi lahiriah dari para ahli hadis dengan memperhatikan sanad ataupun matan, bukan pertimbangan realita dan fakta. Karena boleh jadi suatu hadis itu shohih dengan sudut pandang ahli hadis, tetapi dhoif atau maudhu’ menurut realita dan fakta. Begitu pula sebaliknya.”
Bahkan pendapat di atas mendapat justifikasi dari ulama yang dijuluki Quthb al-Arifin (poros para ahli makrifat), yakni ibnu Arabi. Beliau menambahkan dengan adanya hadis yang dianggap dhoif oleh muhadditsin itu memiliki kemungkinan besar shohih menurut ahli kasyf (orang yang hatinya bersih sehingga ia mampu menyingkap tabir ketuhanan dan tirai kagaiban). Ahli kasyf bisa saja langsung menyakan hadis yang dianggap dhoif kepada sumber utamanya, rasulullah Saw. Dengan demikian hadis tersebut bisa diketahui keabsahan dan tidaknya, tanpa melirik kepada jalur periwatan dan redaksi yang beragam itu.
Ala kulli hal, beribadah itu harus ada dasar pijakannya, dan yang tak kalah penting setelah itu adalah asyik masyuk dengan Tuhan saat beribadah. Sehingga ia bisa ter-protect jiwa raga dari segala durjana dan durhaka. Imortalitas pun menjadi tempat berlabuhnya.[]
*Penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris tahun 2016, jurusan PK, kini sedang melanjutkan studi di Ma’had Aly Salsyaf Situbondo Program Marhalah Tsaniyah