Penulis: Abdul Wafi*
Dari sahabat Amr bin Auf RA, Nabi SAW bersabda:
اتَّقُوا زَلَّةَ الْعَالِمِ ، وَانْتَظِرُوا فَيْئَتَهُ
Takutlah kalian terhadap kesalahan orang yang alim dan tunggulah kembalinya.
Hadis riwayat al-Hulwani dalam Juznya, al-‘Askari dalam al-Amtsal, Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil juz 6 hlm. 60, al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra [20706], dan al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus [308].
Hadis di atas memberikan pesan penting bagi kita.
Pertama, seorang alim, orang yang mempunyai ilmu dalam bidang agama, terkadang juga keliru atau melakukan kesalahan, baik dalam keilmuannya maupun dalam pengamalan pribadinya. Karena orang berilmu itu bukan orang yang maksum, dijaga dari kesalahan dan dosa. Keterjagaan dari kesalahan dan dosa itu hanya berlaku bagi para nabi dan para malaikat.
Kedua, dalam hal-hal yang berkaitan dengan kekeliruan dan kesalahan atau perbuatan dosa, orang alim tidak boleh diikuti oleh siapapun. Inilah yang dimaksud, takutlah kalian atau berhati-hatilah kalian terhadap kesalahan orang yang alim.
Ketiga, dalam catatan sejarah, kesalahan seorang alim itu terkadang dalam bidang akidahnya. Seperti sebagian ulama besar kalangan generasi tabi’in yang terjerumus dalam ajaran Muktazilah. Di kalangan Muktazilah sendiri banyak para ulama besar, tetapi akidah mereka keliru.
Keempat, terkadang kesalahan seorang alim itu dalam pengamalannya, yaitu melakukan kemaksiatan secara terang-terangan atau dengan alasan yang mereka kemukakan. Dalam catatan sejarah ada banyak ulama besar yang sering meninggalkans halat maktubah, memakan harta anak yatim, menyerobot barang waqaf dan semacamnya. Di antara mereka ada kalangan ahli hadis, ahli fikih dan usul fikih, yang karya-karya tulisnya sangat bagus.
Kelima, apabila seorang alim itu keliru, maka masyarakat awam harus berhati-hati terhadap kekeliruan itu dan tidak boleh menjadikannya sebagai hujjah atau dalil, lalu melakukan kekeliruan yang sama dengan alasan, si anu yang alim itu melakukannya. Karena hujjah semacam ini tidak akan menyelamatkannya dosa di dunia dan dari siksa Allah di akhirat.
(baca juga: Bahtsul Masail: Salat Berjamaah Ganda dalam Satu Masjid)
Keenam, apabila ada seorang alim itu keliru, maka tunggulah mereka akan kembali dan bertaubat pada kebenaran. Karena ilmu agama yang mereka miliki suatu saat dapat membawa mereka untuk bertaubat, kecuali kalau kekeliruannya karena hawa nafsu yang berkaitan dengan pemikiran, maka sulit sekali untuk menarik kembali dari pendapatnya, selama Allah tidak memberinya pertolongan dengan kasih sayang-Nya. (Lihat, al-Shan’ani, al-Tanwir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, juz 1 hlm 344 dan al-Ghumari, al-Gharaib wa al-Wihdan hlm 370 [Mausu’ah]).
Ketujuh, di Indonesia sendiri, dewasa ini tidak sedikit tokoh-tokoh alim yang liberal dan menjadi panutan banyak kalangan awam. Di antara mereka, ada sebagian tokoh yang dikultuskan dan diyakini kewaliannya oleh banyak orang awam, padahal semasa hidupnya sering meninggalkan salat lima waktu, sebagaimana diceritakan oleh hampir semua orang-orang dekatnya. Pada awalnya, banyak ulama yang shaleh tertipu dengannya, tetapi lama-lama mereka meninggalkannya.
Ada juga tokoh yang dianggap pakar tafsir, padahal orang ini punya kekeliruan serius dalam akidahnya, terjerumus dalam kesesatan pemikiran liberal dan Syiah. Ketika sebagian sahabat kami, komunitas Ahlussunnah Waljamaah menulis buku bantahan terhadap bukunya, orang ini tidak mampu menjawabnya. Kaum Muslimin harus berhati-hati dengan buku-buku dan fatwa-fatwa tokoh seperti ini. Namun, kita masih berharap semuanya dikembalikan oleh Allah ke jalan yang benar, amin. Wallahu a’lam.[]
sumber foto kover: viva.co.id
*Penulis adalah santri lulusan Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur