Ter Bias

Penulis: Dayu Azizah Gina*

Udara dingin yang merasuki jiwa, menambah kesan hening diantara kami berdua. Aku dan Marie sedang berada di suatu café yang terletak di tengah-tengah kota. Pertemuan kami yang kesekian kali, tetap tidak merubah apa yang telah terjadi, ini soal keyakinan.

Beberapa kali Marie memintaku untuk pindah agama, dia berkilah “Untuk apa kamu Islam, jika kamu tak pernah mengerjakan perintah Tuhanmu Nadia?, “hatiku terguncang, tapi nuraniku selalu setia membisikkan kebenaran, “Ini agama yang benar Nadia, Islam itu benar,” perang batin sedang terjadi, tubuh yang seharusnya menjadi milikku, kini bukanlah lagi menjadi milikku. Sesuatu telah menguasainya, bisikan nurani dan rayuan Marie saling berebut  menguasai diri. Pertemuan kali ini, dia kembali meminta.

       “Ayolah Nad, daripada kau terus-terusan seperti ini. Aku ini temanmu, aku kasihan padamu,        raut wajahmu terlihat bimbang sekali,”  dia menepuk punggung tanganku

         “Biarkan aku berfikir, kumohon!, aku butuh ketenangan, aku butuh waktu Marie,” kepalaku terasa pening, rasa-rasanya seperti ingin meledak jika harus memikirkan segalanya.

       “Butuh waktu berapa lama lagi Nad?,”

        “Kau pikir semua ini mudah, ini soal agama, ini soal kepercayaan,” Aku sudah tidak tahan,segala yang diucapkan terasa memuakkan.

          “Baiklah Nad, kutingglkan kau sendiri,” Marie pasrah, ia pun beranjak dari duduknya, dia benar-benar melakukannya, dia meningggalkan aku sendiri. SEKARANG AKU HARUS BAGAIMANA?

          Kulangkahkan kaki menjauhi kursi yang tadi aku duduki, kamar mandi menjadi tujuannku. Air yang keluar melalui keran kutampung pada kedua tanganku, lalu dengan penuh harap air itu membasuhi wajah, teringin sekali segala masalah yang menempuk di pelupuk mata hanyut bersamaan dengan titik-titik air, tapi yang kudapat hanyalah banyangan diriku didepan cermin, banyangan yang menggabarkan seseorang berlumurkan dosa. Apakah masih ada ampunan untukku?, semua membisu seakan akan turut menghakimi.Adakah yang dapat menjawab pertanyaanku?, aku butuh seseorang, aku butuh beliau, Ustad Salman.

***

        Sinar mentari menyilaukan mata, rasa panas yang mengepung diri, dan dahaga yang bersarang di kerongkongan, tak urung membuat niatanku padam. Hari ini aku ada janji dengan Ustad Salman, semuanya akan jelas sebentar lagi, pertanyaan yang sangat membingungkan bagiku, aku sangat ingin mendapat jawaban atasnya. Sampai di ruangan Dekan Fakultas Keagamaan, ditemani oleh Aisyah, temanku yang sedang berkuliah di Universitas ini, aku menemiu beliau.

(Baca juga: pandawa pandalungan)

           “Assalamualikum Ustad,”  Dengan penuh sopan santun Aisyah berucap

           “ waalikumsalam, silahkan duduk!,”  sapaan hangat Ustad Salman

            “Temanku ingin ber konsultasi dengan Ustad, “ Aisyah menyampaikan maksud kedatanganku setelah kami\ berdua duduk dihadapan beliau.

             “Oh…begitu, konsultasi tentang apa?,”  Ustad salman melepas kacamatanya

              “Temanku ini, Nadia, dia Islam Ustad , tapi tak pernah mengerjakan perintah Allah,”

        Ucapan Aisyah membuatku tertunduk malu, malu dengan dosa yang telah menggunung

                “Saya mengerti, apa yang ingin Nadia tanyakan?,” Ustad Salman menyelidik

                “Hanya satu pertanyaan Ustad, apakah saya masih mendapat ampunan?,” Lega sekali rasanya, aku tau aku bertanya pada orang yang tepat.

                 “Saya akan menjawabnya, ampunan Allah SWT itu sangat luas Nadia, kamu punya dosa seluas samudra Allah akan beri ampunan seluas bumi, kamu punya dosa seluas bumi Allah akan beri ampunan seluas langit,dan jika kamu punya dosa seluas langit Allah akan beri ampunan seluas alam semesta,  “

 Takjub aku mendengar penuturan Ustad Salman, mataku berkaca-kaca, sungguh besar nikmat yang telah Allah berikan, hanya saja, selama ini dirikulah yang tak pernah sadar.  

“Benarkah itu Ustad?, “

“Itu janji Allah Nadia, dan Allah tak pernah mengingkari janjinya, “

Aku masih punya harapan, aku yakin Allah tau hambanya ini teramat ingin bertobat. Tak mampu aku menggambarkan rasa senang yang memenuhi rngga dada, hanya rasa terima kasih yang begitu besar untuk Ustad Salman karna telah menyadarkanku atas kekuasaan Allah SWT.

“Alhamdulillah, terima kasih Ustad, kalau begitu saya dan Nadia pamit dulu, “

“Tunggu Aisyah saya ingin memberikan pesan untuk Nadia, “

“Pesan apa Ustad?, “ Tanyaku penasaran

“Ingatlah ini Nadia, seseorang yang akan bertobat pasti akan mendapat cobaan, jangan berkecil   hati jika cobaan besar menimpamu, itu berarti Allah ingin tau seberapa besar kesungguhanmu untuk bertaubat,” Ujar Ustad Salman

“Akan saya ingat Ustad,” jawabku mantap.

          Pertemuan singkat dengan Ustad Salman membuat  mata hatiku terbuka, begitu juga dengan Aisyah, nasihatnya yang tersirat penuh makna membuatku merasa hidup ini memiliki suatu tujuan yang mulia. Aku pulang dengan diantar oleh Aisyah, tidak begitu jauh jarak kos kos an ku dengan Universitas Islam Negeri Malang tempat Aisyah menuntuk ilmu. Aku menerka-nerka, semakin kuresapi  ucapan Ustad Salman dan Aisyah semakin  merasuk ke dalam jiwa, menyentuh nuraniku yang selama ini tenggelam didalam lautan penuh dosa.

         Tiga hari berturut-turut mataku tak bias terpejam di tengah malam, setiap waktu aku lewati dengan bermunajat kepada Allah SWT. Aku menemukan suatu ketenangan, hati dan jiwaku terasa tentram setiap kali tuuh ini bersimpuh di hadapan Allah SWT, aku merasa dia hadir di sampingku, turut mendampingiku disetiap langkah kecilku untuk berhijrah. Hingga pada hari yang ke empat, sesuatu terjadi, Dosen Ayu memanggilku ke ruangannya, kabar tak sedap kudengar dari dosen cantik berusia tiga puluh lima tahun itu, sebagian besar nilai ujianku jatuh dibawah rata rata, tugas presentasiku juga tidak memuaskan. Hal itu membuat keyakinanku goyah. Benarkah Allah selalu ada untukku?, tapai kepa dia membiarkanku jatuh?, keimanan yang telah aku susun sedemikian rupa hancur begitu saja menjadi puing puing kecil yang tak dapat disatukan kembali, aku kembali meragu.

***

      “Kring….kring….kring…” dering handphone memecah kesunyian malam, diriku terhenyak, disaat nama seorang kerabat terpampang di layar benda elektronik itu, Om Rusydi, dengan cepat kuraih handphoneku, mengangkat panggilan itu tanpa ragu. Suara Om Rusydi terdengar parau, isakannya menjadi disaat ia menyebut nama kedua orang tuaku. Aku masih terpaku, menunggu ucapannya selesai. Saat sambungan telefon itu terputus, barulah kusadari satu kalimat yang diucapkan oleh Om Rusydi membuat emosiku memuncak. “Orang tuamu telah meninggal” seketika itu juga Handphone yang tergenggam di tanganku telah hancur berserakan dilantai marmer berwarna putih, entah apa yang aku pikirkan saat itu, yang jelas, rasa sesak didada semakin berkecamuk, membuatku harus menahan rasa sakit itu dalam dalam.

        Dimanakah kuasa-Nya? Dimanakah pertolongan-Nya? Dimanakah janji janji-Nya?

      Pikiran dan hatiku kini menjadi satu, kali ini bukan untuk beriman, melainkan untuk menentang. Dulu, saat diriku jauh, sangat jauh dari-Nya, kehidupanku begitu sempurna, tapi kini semuanya telah berubah, segala yang menjadi milikku Dia ambil begitu mudahnya dari genggaman tanganku.

           Pikiranku menggila, barang barang yang sebelumnya tertata rapi ditempatnya saat itu juga hancur dari system kerapiannya. Berserakan, menetupi sebagian lantai kos kos an ku. Aku marah, sedih, bingung, tapi aku tak tau kepada siapa aku melimpahkan segala rasa.

(Baca juga: indonesiaku nan merekah)

Pada Dia kah yang telah mengkhianatiku?

              Lagi lagi tak ada jawaban, aku hanya bisa menangis di sudut ruangan. Kaki yang menjadi penopang tubuhku kupeluk erat erat, kini yang aku miliki hanya diriku sendiri, Dia telah mengambilnya, mengambil segalanya.

 “tok…tok…tok…”

“Nada pa kau baik baik saja? Ini aku Aisyah, “ Suara Aisyah terdengar bergetar

“tok…tok…tok…, “

“Nad aku dating keseni karna khawatir padamu, kenapa kau tak menjawab telfonku, “ Aku mengacuhkan Aisyah

“Krek….., “ Sepertinya Aisyah sudah sangat tidak sabar, dia langsung membuka pintu kamarku begitu saja.

“Masya Allah, “ Aisyah membekap mulutnya

“Pergilah!, “ Ucapku lirih

“Ada apa denganmu Nad ?,  ‘’ Dia memeluk tubuhku, menenangkanku yang sedang terisak di dalam pelukannya.

‘’Dia berbohong, Dia mengingkari janji-Nya, Dia merebut segala yang aku punya, ‘’ Aku mencoba menahan emosiku meskipun sebenarnya sangat menyakitkan.

‘’Siapa Nad ? siapa ?, ‘’ Matanya dan mataku beradu pandang, aku bisa melihat genangan air tang telah menumpuk di pelupuk matanya.

‘’ALLAH !, ‘’ Satu titik air mata kemali turun, menghiasi kedua pipiku

‘’Dia tidak pernah berbohong Nadia, ‘’

‘’Kau tak tau apa apa !?! Dia telah mengkhianatiku, ‘’ Aku menghempas tubuh mungil Aisyah

‘’Nad tenanglah… !, ‘’

‘’Dia berkhianat, tinggalkan aku seendiri !, ‘’ Emosi ini memuncak

‘’Nad dengarkan aku !, ‘’ Dia memegang tanganku hati hati

‘’PERGI !, ‘’ Sentak kan ku membuat genggamannya terlepas

‘’Baiklah aku pergi, tapi ingat kata kata ini Nad !, kau sedang diuji, Allah sayang padamu Nad, semakin besar ujian seorang hamba semakin besar pula Allah menyayanginya. Dan percayalah Allah tau kau mampu melewati ujian ini, ‘’

     Aku terdiam, tatapanku terpaku pada punggung Aisyah yang mulai menjauh dan kemudian menghilang.

“APAKAH ITU BENAR?, APAKAH ALLAH SAYANG PADAKU?,’’

Sumber gambar: idtimes.com

Penulis merupakan alumni MTs Unggulan Nuris

Related Post