Rahasia Sebatang Lilin

Penulis: Tasya D. Amalia*

Payung hitam tak mampu seimbangkan badan akibat terhantam aliran air dari langit yang datangnya keroyokan. Pohon tak hentinya bergoyang diantara angin liar menyibak rambut daunnya. Kapas kelabu menghitam, terbang melayang tergantung diangkasa. Mengeluarkan kilat cahaya menembus bumi, menimbulkan lagu gemuruh menghampiri. Disisi jalan pohon mengalami mabuk yang luar biasa. Tak lama ia tumbang menghantam tiang listrik hingga terjengkang. Kabelnya terpecah satu sama lain. Sedetik kemudian lampu padam.

“Astaga…!” Ucap Sarah begitu layar di komputernya menghitam. “ Bagaimana ini? Tugasku belum selesai.” Gerutunya diatas tempat kursi kayu tempat duduknya. Tangannya merayap di atas meja mencoba mencari sebatang lilin  sebagai ganti penerang kamarnya. Setelah itu ia mencari pematri untk nyalanya. Dihudupkan lilin itu dan ditempatkan pada sebelah kanan cangkir coklat panas peneman tulisnya tadi. Termenung Sarah di atas ranjang menatap luar jendela. Kejadian ini tak asing dimana ia pernah mengalami hal serupa silam. Ia mengendap bantal sembari membaringkan badan untuk selanjutnya terlelap. Ia harus memaksanya, bagaimanapun nanti ia akan tetap memimpikannya. Masa bodoh. Toh… itu hanya mimpi. Besok ketika ia bangun dari tidur ia akan lebih baik. Lagipula ia butuh banyak tenaga untuk hari panjang menjelang yang tentu ia tak tahu apa yang akan menghadang menimpanya.

***

Pecahan botol berserak di atas ubin putih kamar. Pewangi kalah telak dengan bau menyengat sisa tumpah alkohol terberai dimana-mana. Sarung bantal terlepas dari inangnya. Selimut bergumpal dibawah kursi rias, cermin retak membingkai wajahnya yang membiru. Dipegang kusen meja erat. Meremasnya dengan kuku tajam dari jari lentiknya. Dipandang wajahnya sendiri. Matanya merah padam tenggelam. Tatapannya kosong.

“Tuhan… aku tak ingin seperti ini. Aku hidup atau mati siksaannya sama terasa sekarang. Lebih baik aku mati saja. Aku rindu jumpa ibuku, satu-satunya orang di dunia ini yang menganggapku manusia.” Ia tenggak kembali alkohol dari cangkir yang awalnya digunakan untuk wadah coklat panas buatan ibunya dulu. Sebatang lilin bergerak rancu di sudut kaca  meja riasnya, ia terlihat khawatir.

“Sarah… Sarah… buka pintunya sayang!” laki-laki itu memukul pintu kamar Sarah keras. “ Sarah…” Ulangnya dengan nada lebih tinggi.

“Ada apa Ayah? Tugasku sudah selesai. Sekarang giliran ayah mengurus klab, kan?” jawab Sarah dari balik pintu.

“Ayah tahu… tapi ayolah sayang… ada pelanggan yang ingin bertemu denganmu. Ini..ini… hanya perkenalan biasa. Ia hanya ingin kau menemani malamnya. Sekedar mengobrol biasa” kali ini nada bicara ayahnya sedikit bergetar. Sarah tahu ayahnya pasti berbohong, apa sebenarnya yang disembunyikan ayah, pikirnya.

(baca juga: Anyaman Kematian yang Melarung Nyawa)

“Cukup. Ayah ingat dengan perjanjian kita. Sudah jelas kukatakan akua hanya ingin menyanyi di kegelapan. Ingatkah ayah akan hal itu?”

“Ayah tak lupa sayang… lagipula kali ini ayah ingin kau menemaninya bukan menyanyi, jadi kau tak perlu berada di kegelapan.”

“ AYAH…” teriaknya. “ Jangan bercanda. Tolong jangan tambah luka lagi. Ayah ingin aku membantu usaha ayah sudah kulakukan. Dan apalagi ini? Apakah menjadi penyanyi di klab ayah tak cukup? Ayah keterlaluan.” Tangis Sarah semakin menjadi. Badannya menggelosor kebawah bersandar pada pintu. Hatinya benar-benar robek sekarang.

“Baiklah sayang…” Suara ayah melembut. “ Jika kamu ingin begitu, ayah takkan memaksa. Tapi paling tidak bukalah pintunya sayang. Ayah ingin melihat putri kecil ayah yang telah beranjak dewasa. Bolehkan sayang?”Sambungnya.

Sarah terdiam. Ia rindu suara itu, namun akalnya melarang keras pintu itu terbuka untuk ayahnya. Orang yang sering menyakitinya jika tak mau bekerja pada clab malam miliknya. Kini ia berperang dengan hati nuraninya sendiri. Ia yakinkan diri, barangkali ini waktu yang tepat untuk menyadarkan ayahnya. Sarah masih terpengaruh alkohol yang diminumnya. Ia berdiri kelimbungan membuka pintu.

“Syukurlah kau masih mau mendengar perkataan ayah.” Sarah mempersilahkan ayahnya untuk masuk. Ia berjalan terlebih dulu membimbing ayahnya menuju sofa disisi kanan ruang. Ayah tersenyum puas. “ Terimakasih, tapi kau tetap harus menemuinya” Sarah terhenyak lantas berbalik badan. “ Ay…” Bukk…

Ia jatuh tersungkur. Semua gelap dimatanya sekarang.

“Maafkan ayah… namun bagaimanapun ini harus tetap dilakukan. Jika tidak, kau takkan mendengar suara ayah lagi, selamanya.”

Lilin padam.

***

Sarah berada di suatu taman dengan hanya ia disana. Tak ada yang lain. Bunga bermekaran di taman dan di hatinya. Sarah berlari mengitarinya dengan bahagia. Kemudian langkahnya terhenti saat melihat ayah berdiri mematung melihatnya. Pakaiannya begitu lusuh seperti telah dikejar sesuatu. Ia melambai memanggil Sarah untuk mendekat. Sarah tanpa ragu melangkah pada ayahnya namun seketika teringat kejadian itu. Amarahnya berada pada di titik puncak. Ia menggeleng keras.

“Ayah melakukannya untukmu, Sarah.” Ia berbalik badan. Nampaklah sosok ibu yang dirindukannya. Ia ingin menghamburkan diri pada peluk sang ibu sebelum ia mendengar jerit sang ayah dari arah seberang. Sangat menyayat yang mendengar. Ayahnya benar-benar kesakitan.

“Itu akibatnya jika kau tak melakukan perintahnya.” Apa ini? Mengapa ibu juga memihak ayahnya. Bukankah selama ini yang dilakukan ayah hanya memukulinya saja. Ia selalu bertindak kasar untuk mendapat apa yang ia mau. Lantas mengapa kali ini ibunya menyuruhnya untuk diam saja dan menuruti perintah ayahnya. Ia menjerit lagi, kali ini lebih keras disertai dengan permintaan tolong yang melonglong.

Ayahnya tumbang. Sarah terpaku, darah begitu banyak mengalir pada bunga dan rerumputan. Ayahnya terkapar di sana dengan sebilah pisau menancap di punggungnya. Tubuh Sarah bergetar hebat. Sejak kecil ia begitu takut melihat darah. Ia bersumpah terakhir melihat darah saat ia melihat ibunya bunuh diri dulu. Ia mencoba mencari suaranya yang hilang entah ke mana.

“AYAH…”

***

Air berjatuhan dari atap. Terjun karena mereka tak kuasa menahan rasa gejolak yang bertumpuk terus hingga penuh. Jatuhlah mereka. Melihat ajal semakin dekat. Tetap tak ada teriak. Hanya air mata yang melebur dengan badannya yang ternyata juga air. Jatuh dan pecah namun ternyata masih ada. Saatnya belum selesai. Mereka harus menunggu yang lain. Kasihan urutan pertama harus tertimpa teman yang lain. Berulang kali terpecah, terinjak dan kesakitan. Mereka tetap berusaha membaur lagi.bergabung bersama yang lain dengan tertatih. Tersakiti bertubi-tubi tetapi tetap hidup. Tak bisa mati jika masih ada yang terjun. Robek, hancur, berdarah tapi tak kentara sebab mereka air.

Pria itu melihat luar jendela dimana sedang terjadi pergulatan antara langit dan bumi yang sebenarnya adalah sebab hujan tak mau berhenti. Tiba-tiba dari arah gerbang terlihat mobil van masuk dengan tergesa. Anak buahnya berhamburan keluar. Seseorang keluar dari mobil dan bercakap-cakap dengan salah satu anak buahnya itu. Sekilas ia bisa membaca tulisan di pinggir mobil van itu. Jika tak salah itu adalah mobil dari salah satu clab yang terkenal di daerah ini. Ia ingin membaca tulisan itu namun terhalang hujan yang semakin deras. Terlihat mereka berjabat tangan. Kemudian anak buahnya yang lain merapat pada mobil dan mengambil sesuatu dari dalam mobil. Butuh tiga orang untuk mebawanya kedalam. Ia ingin melihat lebih jelas apa yang di bawa masuk itu hingga mereka harus bergerak cepat seperti itu.

“Tuan muda… Ayahanda ingin bertemu.” Ucap seseorang mengaburkan lamunannya.

“Apa katanya?” Rasa penasaran benar-benar mengikatnya.

“Entahlah tuan… kata beliau penting.” Ayahnya tak pernah main-main jika ia ingin mengatakan sesuatu. Terpaksa diurungkan niat untuk melihat apa itu. Mungkin itu hanya anggur yang dikirim untuk ayah, pikirnya. Beberapa klab memang suka memberi hadiah anggu terbaik mereka untuk ayahnya yang terkenal berpengaruh itu demi kelancaran usahanya nanti.

“ Ada apa ayah?” tanya Steve sesaat setelah sampai di ruang ayahnya. Ruangan itu merupakan yang paling besar. Pertemuan-pertemuan penting juga terjadi di sana. Tak heran jika ruangan itu di kelilingi perabot antik dari berbagai daerah pelosok sebagai hadiah kolega untuknya. Ayahnya duduk di sofa panjang memegang sebuah cangkir teh hangat. Diterangi sebatang lilin di meja ia dapat melihat pantulan wajah ayahnya, juka kepulan asap hangat dari cangkir itu.

“ Duduklah…!”Steve duduk di kursi kecil tanpa sandaran disamping ayahnya. Ia berharap ia dapat bersikap biasa jika bertemu ayahnya. Tetapi keadaan selalu memaksanya untuk bersikap resmi.

“ Ada urusan penting apa ayah? Apa ada hubungannya denganku?” ia membuka suara. Ayahnya tersenyum. Suasana hangat melebur. Tak biasanya ayah tersenyum seperti itu. Ia melihat kebahagiaan di mata ayah. Ia merindukan senyum itu. Sudah lebih dari sepuluh tahun senyum itu seolah lenyap dari wajah ayah. Setelah ibunya meninggalkan ayah demi lelaki lain sepanjang hari hanya ada kemarahan. Rumah itu selayaknya tempat pembantaian. Hingga seminggu kemudian ibunya di temukan dengan bersimbah darah. Steve waktu itu berusia tiga belas tahun. Ia masih belum mengerti ketegangan apa yang terjadi. Meski sakit hati ayah tetap memberikan pelayan terbaik untuk kesembuhan ibunya. Steve bahagia menemukan ayah tertidur di samping ranjang ibunya. Namun kebahagiaannya terhenti setelah sebulan kemudian ibunya meninggal. Pergi untuk selama-lamanya.

Tak terasa Steve ikut tersenyum.

“Selamat atas keberhasilanmu nak. Kau tumbuh menjadi pria yang hebat. Tak sia-sia ayah menyekolahkanmu tinggi-tinggi. Akhirnya kau berhasil membuat ayah menguasai semua saham di negeri ini. Selamat nak… selamat…” ia menepuk-nepuk pundak Steve. “ Untuk itu ayah memiliki hadiah untukmu. Hadiah yang spesial.” Senyum ayah semakin mengembang.

“Hadiah ayah? Steve rasa… itu tak perlu ayah. Karena melihat senyum ayah saja itu sudah seperti hadiah untuk Steve.”

“Benarkah…? Kau memang anak yang berbakti padaku. Tetapi kali ini kau tak boleh menolak, nak. Sebab hadiahmu sudah datang. Dan kau hanya tinggal menerimanya saja. Bagaimana nak?”

“Tapi ayah…”

“Sudahlah… ayahmu ini sudah tua. Kapan lagi ayah bisa memberikan hadiah untukmu jika bukan sekarang. Hah… kapan? Jadi ayah ingin kau sekarang pergi dan lihat hadiahmu. Katakan pada ayah besok, apakah kau menyukainya atau tidak. Jika tidak… ayah akan langsung memusnahkannya untukmu. Bagaimana setuju?”

“Terima kasih ayah. Tapi tak perlu. Steve akan selalu menyimpan hadiah dari ayah.” Tawa ayahnya pecah.

“Itu baru anak ayah. Sudah.. sekarang pergi sana.”

Steve berlalu. Entah mengapa hatinya bergetar hebat. Sepanjang perjalan ia terus berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ia meyakinkan diri bahwa ia bahagia, sebab sebuah hadiah sedang menantinya.

***

Tangannya bergetar memegang gagang pintu kamarnya. Padahal baru sepersekian detik pintu itu tertutup. Napasnya terengah-engah tak percaya.

“Si…sia…pa dia?” Ia memandang tepat ke arah ranjang kamarnya. Ia mengerjap beberapa kali meyakinkan diri atas apa yang dilihatnya saat ini. Napasnya semakin tak teratur. Ketakutan terberat miliknya mendera Steve tak mau ampun. Seorang gadis berpejam mata di atas ranjang tidur. Ia mengenakan dress biru tak berlengan selutut. Rambut panjangnya basah tergerai di bahu kanan. Terlihat bias-bias air di wajah gadis itu. 

“Mungkinkah… ini hadiah ayah.”  Steve teringat anak buahnya yang membawa masuk sesuatu ke dalam rumah. “ Tapi… untuk apa? Bukankah… ayah tahu apa yang kualami. Aku… aku harus menanyakannya sendiri.” Steve coba membuka pintu namun tak bisa. Berulang kali ia putar gagang pintu itu namun tetap tak bereaksi. Steve kalang kabut.

“Ayah…!” Teriak sang gadis. Steve terkejut hingga mengakibatkan ia harus terjerembab ke lantai. Ia gelagapan. Napasnya semakin memburu tak teratur. “ Tu… Tuhan… tolong… a…ku.” Rintih Steve. Kesadaran Steve mengabur. Bayangan gadis di hadapannya kini menjadi dua. Ia benar-benar tak harus bagaimana.  Hadiah ini menjadi hukuman untuknya. Berulang kali ia berusaha tetap terjaga namun berulang kali ia melemah.

Sang gadis melihat sekitar. Ia baru menyadari kehadiran Steve setelah beberapa menit berlalu. Steve tengah terlentang dengan napas naik turun yang berat. Diberanikan diri menghampiri steve. “ Aku ada dimana, dan kau… siapa?” Steve tersentak bukan main. Suara sang gadis seolah mencekiknya. “ Kau tidak apa-apa, kan?”

“Ja… jangan mendekat!” Napasnya semakin melaju kencang. Berulang kali alarm di otaknya berbunyi. Mati-matian ia berusaha menjauh dari gadis itu namun tubuhnya serasa terkunci.

“Apa perlu kubantu?”

“Tidak… aku…” Gadis itu bersimpuh di dekatnya. Ia membantunya bersandar pada dinding. “ Sial…” Napas Steve bertambah berat. Sedang sang gadis begitu tenang. Ia malah melontarkan sebuah senyum pada Steve. Tentunya bukan sembarang senyum. Sebab siapapun yang melihatnya akan langsung melayang. Terkecuali Steve. Ia justru ketakutan melihat senyum manis itu. Perlahan gadis itu mendekatkan wajahnya. Bertambahlah dekat wajah itu hingga dapat terasa helaan napas berat Steve menerpa gadis itu. Mengetahui ketakutan Steve, senyum gadis itu bertambahlah mengembang. “ Apa… yang… kau…” Terjadilah sudah. Gadis itu menciumnya. Steve seperti tersengat listrik saat tiba-tiba gadis itu memberikan napas buatan untuknya. Ia hampir kehilangan napas sebelum sang gadis memegang tengkuk Steve untuk semakin merapatkan diri padanya. Seketika jantung Steve melambat. Ia semakin lunglai. Kini ia tersihir akan kelembutan yang di berikan gadis itu. Tenaganya telah kembali. Ia hendak menjauhkan diri darinya namun akalnya menghianati. Ia merengkuh gadis itu semakin erat seolah tak mau ia pergi. Itu adalah napas buatan yang sangat panjang. Karena seperti yang kau tahu. Diam-diam mereka menikmatinya. Baik Steve ataupun gadis itu tak mengerti apa yang telah mendera mereka. Terutama Steve, bukankah ia fobia pada wanita? Tetapi apa barusan yang terjadi?

“Sudah lebih naik?” Gadis itu membuka suara. Steve menyembunyikan wajahnya. Ia terus memikirkan perasaan apa itu tadi. Apakah ia sembuh secepat itu? Ia memandang sebatang lilin yang terus saja bergerak seolah mengiyakan. Entahlah… gerakan itu dapat berarti apapun, kan? Atau malah bisa saja tak berarti apa-apa. Namun malam yang tiba-tiba tak berangin ini. Mustahil nyala itu dapat bergerak secepat itu.

“Aku… aku.” Steve berusaha menemukan kata yang tepat untuk hal yang kini menderanya. Berulang kali ia berpikir, berulang kali juga nyeri di kepalanya memuncak hebat.

“Ayo… ke tempat tidur.” Pinta sang gadis. Semuanya kali ini serba tiba-tiba. Steve menurut begitu saja. Ia tak  merasakan takut jika berada sedekat ini dengan gadis itu. Sebaliknya, kenyamanan tak henti menaunginya. Dibaringkannya Steve diranjang. Tak lupa ia selimuti tubuh Steve yang ternyata sedikit demam. Steve menahan tangan gadis itu tatkala ia ingin pergi. Semua ini sangat menyiksa batin Steve.

“Aku… maafkan aku nona.”

“Untuk apa? Kau mungkin bertanya-tanya kenapa semua ini terjadi, bukan? Sama denganku. Semula aku juga bertanya-tanya.”

“Seharusnya semua itu tak terjadi. Sekali lagi maafkan aku nona.” Steve merasa menyesal. Ia tak dapat membohongi perasaannya.

“Aku sudah mengerti sekarang. Semua ini adalah sebab aku berada di sini. Jadi untuk apa meminta maaf?”

“ Untuk semuanya. Dan terutama hal yang telah menyusup di hatiku. Aku…” Sang gadis melepas tangan Steve. Ia berjalan menuju ranjang di sebelahnya kemudian menaikinya. Ia berbaring di sebelah Steve dan memandang wajahnya. Ia tak mau mendengar kata terakhir itu keluar dari mulut Steve. Karena ia tahu ini takkan lama. Ia harus dapat mengendalikan diri agar tak terjatuh. Sebab ia juga merasakannya. Meski tak harus dengan kata.

(baca juga: Tanya pada Sisi Jalan (Saksi Sebuah Tragedi Tersimpan))

Mereka berdua tersenyum. Malam itu sayangnya telah terjadi. Dimana hujan menyelimuti bumi dan sebatang lilin menyaksikan rahasia. Sesuatu hal yang kau sendiri akan berkata mustahil bila berada di sana. Cukup butuh wakttu lima menit. Steve telah lupa dan sembuh dari ketakutannya. Melalui gadis cantik dari desa, Sarah. Hadiah ayahnya. Ayah Steve yang saat itu berdiri di balik pintu tak mendengar jerit atau teriak sang anak merasa bersyukur. Kenapa tidak dari dulu ia melakukan hal ini. Setelah hari ini, Steve pasti mau untuk menerima perjodohan dengan anak temannya. Dan lagi-lagi gadis ini adalah alatnya. Dengan menggunakan gadis kampung saja ia luluh. Tentulah dengan anak saudaranya ia pasti mau, begitulah pikirnya. Iapun kembali menuju kamar dengan berbunga. Di sana telah berdiri di atas meja sebatang lilin yang berbeda namun ia telah tahu semua dari saudaranya. Ia tak suka mendengar bisikan hati orang tua itu. Semua dapat tidur nyenyak malam itu, kecuali sebatang lilin dan saudaranya. Apa daya. Hal inipun akan menjadi rahasia mereka sampai nyala menghianati dan memakan habis tubuh mereka.

***

Rembulan telah menyudahi ronda malamnya berganti dengan mentari yang berpatroli menyinari bumi. Ia tetap berusaha terang meski terhalang tirai kelabu dari awan yang semakin sedih setiap hari. Mereka selalu menitikkan air mata, mengguyur bumi padahal belum datang waktunya untuk mandi. Sarah baru terbangun dari tidur. Ini pagi kesekian ia harus bangun dengan mimpi dari kejadian masa lalu yang menghantui. Ia terdiam sejenak di atas tempat  tidur sembari memijat dadanya perlahan. Proses itu berhasil membuatnya hampir kehilangan napas.

“Nak… kau sudah bangun?” Ayah Sarah dengan secangkir coklat panas di tangan kirinya. Kejadian dua tahun silam bukan hanya membawa petaka dalam hidup Sarah, sebuah kebahagian besar datang ikut serta menerobos antrian. Ayahnya sadar ia salah selama ini menyikapi Sarah. Sebagai ayah seharusnya ia dapat mengayomi anaknya. Kasihan Sarah harus berkorban segala hal untuk kepuasan hatinya. Ia sadar sepenuhnya sekarang. Oleh karena itu, ia menjual clab malam milknya dan mengajak Sarah untuk pindah. Hal ini ia lakukan agar Sarah dapat menjalani hidupnya kembali. Selama seminggu ia usai kembali tak hentinya ia termenung di dalam kamar. Ayahnya sadar itu dan akhirnya Sarahpun setuju.

Selama dua tahun ia berhasil mendapat kehidupannya lagi. Setidaknya itu yang dirasakan ayahnya sekarang. Meski faktanya kejadian itu kini menjadi penyakit yang siap membunuhnya kapanpun. Sarah tak peduli lagi. Untuk menghilangkan pikiran yang menghantui itu dengan mencari kesibukan lain. Sekarang ia menjadi seorang wartawan terkenal di Paris dan sebentar lagi akan menjadi wartawan internasional. Ia akan keliling dunia untuk meliput hal yang terjadi di luar sana. Ia bahagia dengan itu semua. Setidaknya ia akan tetap menjadi manusia. Ia akan dikenal dan namanya akan dikenang. Dan tanpa ia sadari ia sudah menua. Kulitnya akan mengeriput dan rambutnya akan memutih. Bagaimana saat itu terjadi sudah terekam di kepala. Membayangkan saat-saat ia harus mati di suatu negara antaberantah dengan damai. Tanpa Steve dikepala. Begitulah yang ia yakini sekarang. Sebab cintanya telah kandas. Seseorang telah mencurinya dan suatu saat ia akan lupa termakan usia.

“Kau tidak apa-apa sayang?” Cemas ayahnya. “ Wajahmu pucat.” Tambahnya.

“Tidak apa-apa ayah. Sarah hanya sedikit tak enak badan. Mungkin dengan aktivitas hari ini akan sembuh dengan sendirinya.”

“Kau yakin nak?”

Ia mengangguk. Ia harus segera bersiap sebab ada wawancara dengan seorang pengusaha. Ayahnya melihat gerakan Sarah. Sesekali ia terhenti saat ingin melakukan sesuatu. Terlihat sekali ia menahan sakit yang amat sangat.

“Nak… jangan berbohong pada ayah. Sebaiknya kau istirahat saja. Akan kukatakan pada Michael kau tak bisa bekerja hari ini.”

“Michael sudah disini?”

“Sudah… ia menunggumu dari tadi.”

“Baiklah… berarti tidak ada libur. Aku harus tetap berangkat ayah.”

“Tapi nak…”

“Ayolah… Sarah baik-baik saja ayah.” Ia mencium pipi kanan dan kiri ayahnya dan berlalu. “ Jangan berbohong lagi nak… ayah tahu semuanya.” Langkah Sarah terhenti. “ Fisikmu memang tidak apa-apa. Namun hatimu… hanya satu hal yang ingin ayah katakan. Lupakan dia! Lupakan di nak. Dan carilah seseorang yang baru. Seperti Michael misalnya,kau tahu ia mencintaimu nak.” Dada Sarah bertambah sesak. Kali ini ia kalah. Mengapa ia begitu lemah hingga tak dapat menyembunyikan perasaan itu dari ayahnya? Ia menghidupkan kembali alarm bawah sadarnya. Ia harus terlihata kuat. Ia kembali dan memeluk ayahnya.

“Tenang saja Ayah… Sarah sudah melupakannya.”

Kali ini ia melangkah mantap untuk pergi. Ia bertekad untuk kalah lagi. Cukup rasa itu mengganggunya saja, jangan sampai ia datang dan mencekik ayahnya. Ia harus bisa bagaimanapun caranya.

“Sudah siap?” Ucap Sarah pada Michael yang tengah duduk menyesap kopi hitamnya. Michael berdiri mengiyakan Sarah. Sesaat dua mereka berangkat setelah berpamitan pada ayah Sarah.  Dan tanpa ia sadari, Sarah menggenggam tangannya. Michael terkejut. Ini tak seperti biasanya, Sarah akan berjalan di hadapannya dan ia hanya dapat memandangnya dari belakang. Apa ini? Sepanjang jalan Michael tak berbicara. Ia takut suaranya dapat merusak segalanya yang terjadi sekarang. Dan tanpa diketahui siapapun, ayah Sarah mengintip dari balik jendela. Ia melihat kejadian itu. Tanpa sadar bulir-bulir bening mengalir dari balik celah matanya.

“Ayah sayang padamu nak. Sebegitunya kau ingin menyenangkan ayah. Kau selalu membohongi hatimu sendiri untuk ayah. Maafkan ayah.”

***

“Sampai kapan lagi kita harus menunggu Michael? Aku sudah tak tahan lagi.” Gerutu  sarah di tempat duduk. Sudah lebih dari empat jam mereka menunggu namun tetap tak ada tanda-tanda pengusaha itu akan menemui mereka.

“Sabar saja Sarah… mungkin sebentar lagi. Pangusaha ini memang terkenal sangat sibuk.”

“Kalian dari press?” Seorang wanita datang menghampiri mereka di ruang tunggu.

“Syukurlah… kau datang. Bagaimana ia sudah siap.” Ucap Sarah  bersemangat. Inilah akibatnya ia lupa membaca data tentang kliennya saat ini. Paling tidak ia bisa bersiap.

“Saya tahu kalian sudah lama menunggu. Tapi mohon maaf Tuan besar tidak bisa ditemui.” Senyum Sarah berubah seketika. Amarahnya tak bisa dibendung lagi.

“APA? Kamu serius. Kami sudah menunggu lebih dua jam disini. Dia tidak bisa bertindak seenaknya begitu saja.” Sarah memarahi wanita itu. Michael yang ketakutan mencoba menenangkan Sarah namun ia tetap bersikeras.  Ia membuat onar di dalam kantor dengan terus berteriak. Michael tidak bisa berbuat apa-apa. Lelaki berkaca mata itu berulang kali terkena semprot amarah sarah. Sedang Sarah terus saja mengomel mencari ruangan pengusaha itu.

“Dimana dia sekarang… oh pasti dia diruang kerjanya kan? Tunggu sampai aku…”  Sarah tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Tubuhnya hanya bisa menegang di tempat. Kali ini ia benar-benar merasa bodoh tak membaca data itu. Akibatnya jantungnya kini berdetak begitu kencang menghilangkan suaranya entah kemana.

“Sarah…!” ucap laki-laki itu. Diruangan itu hanya terdapat mereka berdua. Ia bingung dimana Michael? Mendengar suara itu alarm bawah sadar berdentum hebat. Ia hendak lari namun laki-laki itu berhasil memegang tangannya terlebih dulu. Sedetik kemudian mata mereka bertemu. Sesak di dada Sarah melonjak tinggi. Ia berusaha untuk merunduk mengalihkan perhatian darinya. Jangan sekarang, batinnya. Tubuhnya tak kuat lagi. Lantai yang ia lihat serasa bergoyang dan mengaburkan matanya. Michael berhasil masuk dan melihat Sarah telah tumbang. Beruntung laki-laki itu dapat menangkapnya.

“Ya ampun Sarah.” Michael ingin meraih Sarah namun laki-laki itu menghalanginya.  Ia menggendong Sarah dengan kedua tangannya.

“Biar saya saja. Tolong beri tahu dimana rumahnya!” Michael mengangguk. Dalam hati ia bertanya-tanya. Apa yang terjadi?

***

Ia terbangun di kamarnya. Matanya berusaha melihat sekitar, di sana nampaklah Michael dan ayahnya sedang berbicara. “ Ayah…” panggilnya membuat mereka berdua menengok padanya. “ Kau sudah bangun Sayang.” Ucap ayah saat duduk di sebelahnya.

“Ayah, Sarah bermimpi…”

“Iya sayang, kau…”

“Tidak… itu bukan mimpi Sarah.”

“Michael, bukannya kita sudah membicarakan semua ini dan…”

“Tidak tuan… Sarah harus tahu. Tunggu sebentar…”

Ia pergi entah kemana. Kepala Sarah terus saja berdenging. Ayahnya tak dapat berbuat apa-apa. Ia bergerak dengan gelisah. Ia hanya takut Sarah akan hancur lagi.

“Lihatlah siapa yang datang!”  ucap Michael ketika kembali. Sarah mendengar derap langkah berat seseorang. Setiap hentakannya sama dengan suara di jantungnya. Suara itupun semakin dekat dan terus mendekat. Sarah hampir kehilangan kesadaran yang kedua kali saat laki-laki itu berdiri di ambang pintunya. Michael mengajak ayah Sarah untuk keluar bersamanya. Meninggalkan Sarah berdua dengan laki-laki itu. Sesaat lamanya tak ada suara yang keluar dari mereka berdua. Laki-laki itu akhirnya melangkahkan kakinya lagi.

“Berhenti! Jangan mendekat…” Ucapan Sarah itu tak dapat menghentikan gerakan laki-laki itu. Ia ingin berada di dekat Sarah. Sekalipun ia harus mendapat caci-maki darinya. Ia tak peduli. “ Kumohon jangan…!” Sudah terlambat, laki-laki itu telah duduk di sampingnya dengan tertunduk. Ia tak bisa melihat Sarah sekarang.

“Maafkan aku.” Hanya itu yang dapat keluar dari mulut laki-laki itu setelah sekian lama. Sarah tak percaya namun ia bisa apa. Air matanya telah lama tercurah untuknya dan anehnya bukan habis malah betambah banyak setiap waktu. Ia tak bisa berkata apa-apa. Air matanya terus mengalir.

“Ini kedua kalinya aku bertemu denganmu dan hanya kata maaf yang dapat mewakili semua. Maafkan aku… karena… baru sekarang menemukanmu.”

“Untuk apa? Steve aku telah…”  Mendengar namanya disebut Steve langsung memeluk Sarah. Selama ini tak ada yang tahu siapa namanya sebenarnya. Ia menggunakan nama keluarga saat melakukan pekerjaan. Mengetahui Sarah masih mengingat itu Steve tak dapat menahan diri lagi.

“Tolong lepaskan aku Steve… LEPASKAN!” Teriak Sarah. Mendengar teriakan anaknya, ayah Sarah bergegas naik ke atas. Ia lantas menarik Steve untuk menjauh dan menghajarnya habis-habisan. Steve tak melawan, Sarah yang awalnya diam tak kuasa. Ia tak bisa melihatnya. Tidak jika di depannya. Ia berusaha turun namun tubuhnya tak mampu menopangnya lagi. Ayahnya terhenti. Saat itulah Michael sampai dengan terlambat. Ia terkejut melihat Steve telah bersimbah darah dan Sarah di lantai.

“Michael… tolong bawa ayah keluar.”

“Nak… tapi dia…”

“Sudah ayah… kali ini saja.” Sekali lagi mereka meninggalkan Steve dan Sarah berdua. Kini malam telah merayap datang dari ujung barat. Sarah menghidupkan sebatang lilin sebagai penerang. Ia menghampiri Steve dan mengobati lukanya. Tangannya bergetar.

“Pergilah…! Ini hanya dapat menghambat darahnya sementara. Saranku kau harus segera ke dokter dan…”

“Dan apa?” Mata Steve memancarkan harapan yang nyata pada Sarah. Ia ingin kata maaf itu berbuah manis seperti dulu.  Jika kali ini gagal ia tak akan mencoba lagi. Sebab ia memang salah.

“Dan jangan pernah kembali.”

Sarah tak tahu apakah keputusannya benar ataukah salah. Yang ia ingin adalah pergi jauh dari sini. Kemana saja asalkan jauh dari Steve. Ia heran. Mengapa Tuhan melakukan ini padanya. Sampai Steve pergi dengan mobilnya. Ia hanya terdiam.

“Kau tidak apa-apa?” Tanya Michael.

“Bisakah kau peluk aku? Kumohon…!” Dalam pelukannya Sarah menangis sesenggukan. Ia tak mampu lagi. Dan dari dalam mobil Steve melihat itu semua. Hatinya hancur tapi mau bagaimana lagi. Ia terlambat menemukannya. Seharusnya ia mencarinya sewaktu terakhir kali ia pergi. Ketika ia terbangun pagi itu. Sarah telah tiada di sampingnya. Ia pikir sarah akan kembali. Baru satu tahun lalu ia mencari Sarah setelah pertunangannya dengan anak teman ayahnya dibatalkan. Bukan hanya Sarah yang menderita ia juga.

Sebatang lilin yang tahu semuanya. Kini rahasia yang djaganya malah menjadi petaka. Haruskah ia menyimpan rahasia yang begitu penting berlarut-larut. Harusnya ia katakan saja pada mereka bahwa mereka saling mencintai. Kejadian ini begitu menguras pikiranku hingga aku lupa bahwa sebatang lilin memang tak bisa bicara. Dan bagaimana sekarang? Aku mulai lelah menuliskan tragedi yang aku sendiri tak tahu itu apa? Hanya sebatang lilin yang tahu. Mungkin dengan saudaranya yang telah menjadi abu. Entahlah… rahasia sebatang lilin memang begitu.

Aku memang hanya sebatang lilin yang tak bernyawa. Tetapi aku begitu setia. Sekali rahasia aku tahu, maka ia akan aku bawa mati. Entah itu pahit ataupun manis. Aku akan tetap menjaganya. Meski kuyakin… kau tak mau.

Selasa, 19 Juni 2018

Tak ada lagi sebatang lilin sebab tak ada lagi kegelapan

-keterbukaan-

*Penulis adalah alumni SMA Nuris Jember berprestasi nasional bidang literasi, saat ini sedang menempuh studi sarjana di Universitas Negeri Malang

Related Post