penulis: Al Muqtadiyatul Hasanah*
Senja diciptakan degan ukiran yang begitu indah. Warna jingganya membunuh siapa saja yang melihatnya. Semburat warnanya mengisyaratkan arti penuh makna melekat indah tanpa adanya tiang yang menopangnya. Dunia begitu megah bak istana seorang raja. Tuhan benar-benar telah menggemparkan bumi dengan sejuta ciptaan alamnya.
Ribuan manusia menyingsing kedua lengan bajunya bersiap untuk berperang. Mengalahkan setiap titik kejahatan yang bermunculan. Kejahatan yang dibuat untuk merusak indahnya alam semesta. Kini senja telah tiada, memudar diantara lengannya dunia, tergantikan oleh gelapapnya malam tak berbintang. Sunyi, benar-benar sunyi. Tak ada suara yang terdengar digendang telinga. Dunia telah berubah.
***
cetarrrr…tangannya mungil milik seorang perempuan menjatuhkan semua botol-botol berisi alkohol mengalihkan pandangan semua orang ke arahku. Laki laki yang menahan gerahamnya, kali ini angkat bicara dengan nada emosinya yang meletup-letup.
“Kau benar-benar membuatku malu hingga harga diriku jatuh setelah kau lecehkan seperti ini.”
“Seharusnya aku yang marah terhadapmu yang diam-diam selingkuh di belakangku.”
Buliran bening jatuh mengenai kerudung jinga milik perempuan berwajah indah. Tak bisa terbendung lagi, suara seraknya kian mulai terkuras. Gunung yang menyembunyikan senja selama ini telah hancur berkeping-keping mendengar tangisan perempuan berkalung senja.
Tuhan adil atas ciptaan alamnya, tapi tidak adil padaku atas perasaannya. Bar yang aku pijaki mulai dibanjiri lautan manusia, menampakkan dosa dimana-mana. Tak disangka dunia telah berubah di setiap dentingan jarum jam. Api kejahatan merajalela memenuhi setiap sudut alam semesta. Zahra Tarina Jingga, nama yang bunda berikan ketika aku terlahir ke dunia bersamaan dengan senja yang tampak lebih indah. Bahagiaku adalah saat bunda bahagia. Kebahagiaan bunda lengkap saat aku menikah dengan Dimas Natanegara, pewaris tunggal media group. Aku terpaksa meninggalkan impian yang selama ini aku kejar. Menjadi muslim sejati.
(baca juga: Memeluk Hujan)
“Aku merelakan semua impian yang selama ini menjadi semangat hidupku. Menikah denganmu adalah tugasku sebagai perempuan yang patuh pada perintah orang tua.” Dia terdiam mata demi mata memandang penuh tanda tanya. Arti diam yang dimaksudkan olehnya adalah menahan pemberontakannya terhadapku. Dia tidak menyadarinya bahwa dia telah melewati batas pertengkaran. Dua gelas berisi alkohol tertumpah ruah di atas kepalaku. Kini tubuhku basah kuyup malu, tentunya? Aku melontarkan kalimat yang membuat semuanya tertegun.
“Aku ingin cerai darimu, meskipun aku tahu aku telah menumpas kebahagiaan kedua orang tuaku.” Kedua kaki ini melangkah entah kemana. Cuma dua kemungkinan saja, datang menemui orang tua dan pergi berjumpa senja yang menjadi semangat hidupku kembali terkuar. Pada akhirnya senjalah yang terpilih atas kedua kakiku. Aku berdiri di atas hancurnya bumi, memendamnya penuh dengan emosi. Aku berdoa pada Tuhan yang membuat senja begitu indah dipandang. Kedua manik mataku terus menerus menatap lekat kearah senja tanpa berkedip sedikitpun. Berusaha tegar meskipun sakit ini tak mungkin ada obatnya,
“Tuhan, duniaku telah berubah, gunung hancur berkeping-keping karena kesalahanku. Engkau tidak adil pada kehidupanku. Kini aku berdiri di atas kepingan gunung menatap lekat sang Mega merah, dialah senja, menumpah ruahkan air mata bening ini. Aku adalah perempuan berkalung senja. Karena di setiap titik kehidupanku hanya senjalah yang dapat memahamiku, setelah kedua orang tuaku.”
*Muqtadiyatul Hasanah adalah alumni MA Unggulan Nuris Jember, tahun 2019