Penulis: Achmad Faizal*
….bila kasihmu ibarat samudra. sempit lautan teduh. tempatku mandi, mencuci lumut pada diri. tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh. lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku. kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan. namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu. lantaran aku tahu. engkau ibu dan aku anakmu….(Ibu – D. Zawawi Imron)
Mengapa Desember seperti begitu spesial? Tepat tanggal 22 Desember, sangat ramai ucapan, pujian, tukar hadiah, demonstrasi umum, bahkan kegiatan khusus untuk menghormati sosok ibu. Pernahkah kita lebih mengetahui makna terdalam Hari Ibu Nasional tersebut agar tidak sekadar ikut-ikutan merayakan tetapi hambar, atau kehilangan hikmah sekalipun. Tahu kah, tanggal tersebut dipilih untuk merayakan semangat wanita Indonesia dan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara.
Sesuai dengan yang telah diresmikan oleh Presiden Soekarno dalam Dekrit Presiden mengukuhkan melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional yang Bukan Hari Libur tertanggal 16 Desember 1959, menetapkan bahwa Hari Ibu tanggal 22 Desember merupakan hari Nasional dan bukan hari libur. Ini juga bertepatan pada ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia 1928. Hingga saat ini setiap tanggal 22 Desember diperingati Hari Ibu Nasional.
(Baca juga: Bukan Puisi Ibu)
Sejarah peringatan Hari Ibu diawali ketika gema Sumpah Pemuda dan lantunan lagu Indonesia pada 28 Oktober 1928 digelorakan dalam kongres Pemuda Indonesia. Hal itu telah menggugah semangat para pimpinan perkumpulan kaum perempuan untuk mempersatukan diri dalam satu kesatuan wadah mandiri.
Pada saat itu sebagian besar perkumpulan masih merupakan bagian dari organisasi pemuda pejuang pergerakan bangsa. Selanjutnya, atas prakarsa para Perempuan Pejuang Pergerakan Kemerdekaan pada 22 s.d 25 Desember 1928 digelarlah kongres perempuan Indonesia yang pertama kali di Yogyakarta.
Kongres ini diselenggarakan di sebuah gedung bernama Dalem Jayadipuran, yang kini merupaakan kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jl. Brigjen Katamso,Yogyakarta. Kongres ini dihadiri sekitar 30 organisasi wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Salah satu keputusannya adalah dibentuknya satu organisasi federasi yang mandiri dengan nama Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI).
Melalui PPPI tersebut, terjalin kesatuan semangat juang kaum perempuan bersama dengan kaum laki-laki untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Khususnya, bagi kaum perempuan untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan Indonesia menjadi perempuan yang maju dan berkepribadian.
Para pejuang perempuan tersebut berkumpul untuk menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Para feminis ini menggarap berbagai isu tentang persatuan perempuan Nusantara, pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan, pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa, perdagangan anak-anak dan kaum perempuan.
Tak hanya itu, masalah perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita, pernikahan usia dini bagi perempuan, dan masih banyak lagi, juga dibahas dalam kongres itu. Bedanya dengan zaman sekarang, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis untuk perkembangan perempuan, tanpa mengusung kesetaraan jender.
Sebelumnya, di Indonesia telah banyak organisasi wanita sejak tahun 1912, terinspirasi oleh pahlawan-pahlawan wanita Indonesia pada abad ke-19 seperti Kartini, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Meutia, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, Rasuna Said, dan sebagainya. Kongres dimaksudkan untuk meningkatkan hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pernikahan.
Perikatan Perkoempoelan Perempuan Indonesia (PPPI) berganti nama menjadi Perikatan Perkoempoelan Istri Indonesia (PPII) di tahun 1929. Kemudian, pada tahun 1935 diadakan kongres perempuan Indonesia II di Jakarta. Kongres tersebut disamping berhasil membentuk Badan Kongres Perempuan Indonesia, juga menetapkan fungsi utama Perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa, yang berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi baru yang lebih menyadari dan lebih tebal rasa kebangsaannya.
Pada tahun 1938, Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung menyatakan bahwa tanggal 22 Desember sebagai hari Ibu. Tahun 1946, Badan ini menjadi Kongres Wanita Indonesia disingkat Kowani, yang sampai saat ini terus berkiprah sesuai aspirasi dan tuntutan zaman.
Peristiwa besar yang terjadi pada 22 Desember itu kemudian dijadikan tonggak sejarah bagi Kesatuan Pergerakan Perempuan Indonesia. Hari Ibu oleh bangsa Indonesia diperingati tidak hanya untuk menghargai jasa-jasa perempuan sebagai seorang ibu, tetapi juga jasa perempuan secara menyeluruh, baik sebagai ibu dan isteri maupun sebagai warga negara, warga masyarakat dan sebagai abdi Tuhan Yang Maha Esa.
Peringatan Hari Ibu dimaksudkan untuk mengingatkan seluruh rakyat Indonesia terutama generasi muda akan makna Hari Ibu Nasional sebagai hari kebangkitan dan persatuan serta kesatuan perjuangan kaum perempuan yang tidak terpisahkan dari kebangkitan perjuangan bangsa.
Semangat perjuangan kaum perempuan Indonesia tersebut sebagaimana tercermin dalam lambang Hari Ibu Nasional berupa setangkai bunga melati dengan kuntumnya yang menggambarkan:
1. Kasih sayang kodrati antara ibu dan anak; 2. Kekuatan, kesucian antara ibu dan pengorbanan anak; dan 3.Kesadaran wanita untuk menggalang kesatuan dan persatuan, keikhlasan bakti dalam pembangunan bangsa dan negara
(Baca juga: Menapaktilas Sejarah Peradaban Islam sebagai Mozaik Peradaban Dunia )
Bagi generasi masa depan, mulai lah membangun kesadaran yang cerdas. Sebuah perayaan Hari Ibu Nasional bukan sekadar diperingati sebagai momentum imitasi dan euforia sesaat, melainkan sebagai wujud sadar berlandaskan nurani bahwa melalui rahim sosok emotif yang lemah-lembut itulah lahir sejarah, generasi, dan peradaban dunia. Bahkan, rasulullah SAW pun mengingatkan kita dalam sabdanya hingga menyebut nama ibu sebanyak tiga kali setelah Allah dan Rasul-Nya untuk dihormati dan ditaati. Sudah saatnya kita terus memuliakan sosok ibu dan menjaga air matanya agar tak tumpah karena kekhilafan perilaku kita sebagai anaknya.
#beberapa kutipan dari berbagai sumber buku
*Staff Pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di MA Unggulan Nuris Jember