Seorang Cerpenis yang Ingin Kembali pada Dunia Nyata

Penulis: M. Irfan Maulana*

Aku hanya tidak ingin konstruksi pembangunan yang telah hampir jadi ini hancur begitu saja. Tapi sebelum aku lanjutkan, akankah aku dapat memulai kebiasaan yang baru di tempat yang akan kuresmikan menjadi sebuah cerpen ini? Akankah dengan aku pendekkan cerita yang ada pada tempat indahku itu aku dapat memotong lajunya kisah nyata? Dan akankah cerpenku ini adalah perpendekan dari cerita seorang korona yang telah lama berkelana?

“Apakah aku dapat berkelana pada lingkungan baru, di sebentang dunia cerita pendek, sementara hari-hariku sudah kulalui dengan menunaikan ibadah puisi?”

Aku termangu menatap tinta yang bertebaran di mana-mana. Di sampul buku, halaman awalnya, tengah-tengahnya, halaman terakhirnya, dan di sobekan kertas yang pernah kutemukan bahkan kusobek sendiri hanya karena kesalahan-kesalahan yang patut untuk dimaafkan. Semacam salah menulis kata, sajak dan rima yang tak sesuai, bahasa yang terlalu berlebihan, bahkan karangan-karangan yang tak memiliki tujuan untuk dibaca seseorang. Mungkin aku terlalu memilih yang sempurna.

Karangan-karangan itu menjadi tempat yang indah bagiku, mungkin juga indah bagi dia, dan menjadi sebuah tempat yang tepat untuk memanjangkan cerita-cerita yang berkibar di mana-mana, mulai dari cerita politik, percintaan, persahabatan, pertemanan, permusuhan, hingga perekonomian yang tak henti-hentinya menuruni tangga-tangga kemiskinan.

Tempat yang hanya dipenuhi dengan kata yang bersajak, berima, beberapa baris, bait sebuah majas, berbangun tipografi, bahkan hanya beberapa kata, itu sudah teramat membahagiakan untukku. Bahkan kelak, aku akan mengumpulkannya dan kusatukan menjadi  kitab suci yang tertunda oleh waktu.

Tempat itu sederhana dan menyenangkan. Sebab, ia kubangun sendiri mulai dari kata per katanya, bait per baitnya, baris tanpa bait, bait tanpa sajak, bahkan kata tanpa bait dan bait pun aku rangkai sedemikian rupa agar terasa indah dan asri. Dan aku mendapatkan itu semua bukanlah gratis, bukanlah tanpa proses yang panjang. Seperti caraku membuat sebuah sajak, aku mencurinya dari beberapa karangan Candra Malik, seorang sastrawan yang menurutku mahir bermain sajak, bukan hanya bermain kata dan makna. Dan kini sajak-sajak yang telah kucuri darinya kujadikan sebagai hiasan belaka pada teras tempat indahku tertulis.

(baca juga: Inspirasi Ngaji di Suatu Pagi)

Bukan hanya kepada Candra Malik aku mencuri beberapa  potong bangunannya sebelum kubangun tempat itu menjadi benar-benar indah. Aku masih ingat saat malam dan hujan itu aku diam-diam menyelinap dalam bukunya lalu kubajak beberapa tipografinya dan kukekalkan pada jemari kecilku. Ya, sosok Remy Sylado atau seorang yang bersembunyi di balik angka 23761. Dan sekarang beberapa tipografi itu aku tuang pada setiap celah tempat itu, hingga memiliki makna yang bertempat lagi di setiap pengagumnya.

Juga kepada Sutardji Calzom Bachri, aku belajar mantra-mantra yang dapat mengheningkan mata juga rasa, hingga pada akhirnya akan kujatuhkan juga dia pada hipnotisku yang teramat dalam. Juga pernah pada suatu kesempatan, aku termenung mengunjungi rumahnya lalu dari belakang rumah ada yang berteriak.

“Kalau kau hendak mencari bung Tardji hendaknya kau pergi ke medan perang!”

Kupandangi teras rumahnya, lalu aku pelan-pelan meninggalkannya. Dan kucarilah dia hingga petang tiba tak kunjung kutemukan. Hingga pada akhirnya aku hanya mendengar namanya telah disebut-sebut sebagai pahlawan kemerdekaan, atas merdekanya berbagai kata dari sehimpun makna yang ada.

Bukan hanya itu, aku juga banyak mengikuti beberapa majelis yang diselenggarakan oleh KH. Mushtofa Bishri yang pada saat itu aku sepulang dari kediaman yang panjang lalu aku berteduh menghindari ketegangan saat memulai kembali mengumpulkan beberapa perkakas untuk membangun sebuah taman yang baru yang terdapat dalam puisiku. Tak kusangka aku berrhenti pada bait-bait hambanya Gus Mus, dan tak sengaja pula aku lancang membuka kata demi kata yang telah terukir lalu menyobeknya dan kumasukkan kedalam saku celanaku. Dan tanpa sepengetahuaannya aku lancang memplagiat karya seni katanya, hingga menjadikan tempatku itu teduh dan tenteram juga mengisyaratkan akan sebuah ucap terimakasih bukan ucap belas kasih.

Dan sebab kedua orang itu, aku redam segala rasa yang tak pernah tertuju pada ke-hakikat-an. Juga kubelokkan cara bacanya yang secara dangkal membahayakan seseorang.

Ah, aku hampir lupa kalau aku pernah bermimpi mendatangi makam Mbah Sapardi Djoko Damono, kugali makamnya, kubuka kain kafannya, dan dengan naifnya kucongkel sisa-sisa matanya yang tak termakan oleh cacing tanah.  Dan setelah itu kupasangkan mata itu pada mata batinku.  Entah aku berdoa apa sebelum tidur.  Keesokannya aku dapat memandang sepotong cahaya dari tempat indahku yang ternyata berbau busuk dan bermotifkan kejahatan.  Dan dengan mata itu, kini, kugusarkan segala keraguan yang melanda setiap pandang yang akan aku tuang pada tempat indahku itu.

Aku ulangi kembali, bahwa “aku mendapatkan itu semua bukanlah gratis, bukanlah tanpa proses yang panjang.” Setelah aku jauh dari kata proses kini banyak sepasang mata yang telah memandang tempatku itu dan menyuruhku menjadikannya sebuah kumpulan atau lebih tepatnya antologi. 

Setelah detik melahirkan menit dan tumbuh menjadi  jam dan kawin dengan hari melahirkan beberapa tahun, aku hanya tertawa kelu melihat beberapa tempat yang telah kubangun dengan sendu-tawaku itu. Bahkan aku ingin menyobek kalaupun perlu kubakar semuanya. Aku juga tak menyadari telah kehabisan kebosanan yang tahun lalu kurasa sebagai sahabat pagiku, tapi tetap saja aku harus tetap menjadikan pensilku sebagai pena yang pernah dimiliki Tuhan kala menciptakan semesta. 

Sejenak kuberpikir, pagi menjadi kawanku, malam menjadi sahabatku, pensil dan kertas merupakan kawasan yang cukup tenang untukku tempati menjadi rumah yang indah.  Hingga pada suatu ketika, aku sibuk mencari sebuah kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), aku melihat sebuah lipatan kertas dan kubuka perlahan, kubaca “Menulislah untuk keabadian, oleh Ibnuliskata yang telah meminjam ujaran Mbah Pram.” Seketika itu pula kepalaku dipenuhi rasa yang tinggi untuk menjadi abadi.

Tawa di wajah tirusku tak henti-hentinya mengembang diwajah tirusku. Kata demi kata terus mengalir dari pensilku, hingga berlembar-lembar karangan yang telah menjejak dalam setiap daftar kertas putihku sebelumnya.  

Tak terhitung berapa milion detik, berapa miliyard menit, berapa juta jam, berapa ribu hari, dan berapa puluh minggu yang telah kubunuh untuk kuukir sebuah tempat yang akan nyaman untuk menjadikanku  tenang di alam  kubur nanti. Hingga pada suatu  hari, aku dihadang di tengah jalan oleh  dia kemudian mengikrarku tanpa ada peringatan dan pada akhirnya akupun harus berikrar demi keabadian.

Kumulailah sebuah pembangunan yang tak akan ada bentuknya, yang tak pernah terangan oleh dia, mungkin juga olehku. Sebab, aku mengambil beberapa potongan material air laut yang kudapat dari rumah Chairil Gibran Ramadhan, yang saat itu masih tertutup rapat karena aku datang terlalu pagi. Lalu kugedor pintunya sekali, dua kali tiga kali hingga berpuluh-puluh kali, tapi tetap saja tak ada yang menanggapinya. Terpaksa aku harus mencuri sebuah potongan rumahnya yang menurutku memang harus kubawa pulang. Sepotong makna yang menghanyutkan.

Akupun juga demikian, memungut beberapa rambut dari seorang tokoh yang terkenal, Afrizal Malna, untuk kukumpulkan dan kuikat sembilan-sembilan dan kusisir setiap pagi, siang, sore dan malam agar berguguran  sebilah makna dari angan-angan yang tak pernah terangan oleh  dia saat membacanya. 

Aku hanya tak ingin konstruksi pembangunan yang telah hampir jadi ini hancur begitu saja.  Tapi sebelum aku melanjutkannya, akankah aku dapat memulai kebiasaan yang baru di tempat yang akan kuresmikan menjadi sebuah cerpen ini? Akankah dengan kupendekkan cerita yang ada pada tempat indahku itu aku dapat memotong lajunya kisah nyata? Dan akankah cerpenku adalah perpendekan dari cerita seorang korona yang telah lama berkelana?[]

*Penulis adalah alumnus MA Unggulan Nuris, kini belajar di UIN Khas Jember

Related Post