Penulis: As’ad Humam*
Pertama, jadilah pengajar Al-Qur’an sekalipun kepada anaknya sendiri, ponakan dan seterusnya. Karena pengajar Al-Qur’an itu mendapatkan posisi dan derajat yang tinggi di sisi Allah Swt.
Kedua, saya bangga dan berterima kasih kalau kalian itu aktif di NU pada levelnya masing-masing. Jadi, jangan sampai menyimpang dari Nahdlatul Ulama karena itu warisan dari para wali Allah yang diyakini bersumber dari Wali Songo.
Ketiga, bekerja keraslah supaya bisa memberi dan menolong. Apa yang bisa dilakukan selain membantu saudara-saudara kita yang memerlukan uluran tangan, maka lakukanlah. Kalau kita mampu membantu dengan harta makan bantulah dengan harta. Tapi kalau mampunya tenaga, ya kita bantu dengan tenaga.
Terkait pesan yang pertama, beliau acapkali bercerita tentang keistimewaan pengajar Al-Qur’an, yang merupakan riwayat dari Syaikhuna Abdullah Salilul Khalil Bangkalan bahwa sebelum Masjidil Haram Makkah dikuasai Wahhabi, terdapat Imam Besar Masjidil Haram yang paling banyak santrinya diantara majelis pengajian yang dipimpin oleh banyak Masyayikh lainnya. Suatu ketika ia melakukan istikharah untuk mengetahui siapa diantara para pengajar alias Masyayikh di kawasan Masjidil Haram yang paling mulia di sisi Allah Swt.
Setelah berhari-hari bahkan hampir setiap malam melakukan Istikharah maka dia (konon) didatangi Rasulullah Saw. dan Rasulullah berkata, “Orang ini yang kamu tanyakan” seraya menunjuk dengan jari telunjuk kepada orang tua renta dengan rambut putih, jenggot putih dan wajahnya yang cerah ceria, berusia ±90 th.
Pagi harinya setelah mengajar, melakukan talaqqi (salah satu metode belajar-mengajar) bakda Dhuha, lantas ia pergi (tanpa memberitahu orang-orang di sekelilingnya) ke setiap tiang dan pintu di sekitar Masjidil Haram guna mencari orang yang ada dalam mimpinya. Akan tetapi, ada beberapa (± 10 orang) murid seniornya merasa terpanggil untuk ikut mendampingi gurunya mencari orang paling mulia tadi.
Kemudian di pintu Masjidil Haram, yaitu Bab al-Salam, ia menemukan orang yang tua renta sebagaimana dalam mimpinya, Imam Masjidil Haram ini bergegas mencium tangannya dan menangis, seraya meminta, “Tolong doakan dan akui saya menjadi santri ajunan”. “Loh, terbalik, sampeyan yang paling banyak santrinya dan Imam Besar di Masjidil Haram ini. Saya ini bukan siapa-siapa, orang gembel” jawab orang paling mulia itu. “Sudah, doakan dan akui saya sebagai murid ajunan” pinta Imam Besar. Akhirnya, saling berdoa, saling menangis dan saling berpelukan. Lalu, Imam Besar tadi berpamitan pulang.
(baca juga: Peran Kiai dalam Membentuk Mental Santri di Era Pandemi)
Imam Besar pun pulang menuju rumahnya, tetapi beberapa murid masih mengikuti di belakangnya. Kemudian Syekh menoleh, “Kenapa kalian masih mengikuti saya”. “Ya Syekh, saya punya kemusykilan/problem” jawab murid. “Baik, mari ikut ke rumah”. Setibanya di kediaman Syekh, “Apa yang kalian musykil-kan”. “Saya tidak faham. Bagi saya tidak masuk akal dan di luar nalar, panjenengan itu cium tangan kepada pengemis. Saya tahu bahwa orang tua itu pengemis.” tanya si murid. “Kamu salah sangka. Beliau adalah seorang ‘alim besar dan pengajar Al-Qur’an, bukan pengemis.”. “Lalu kenapa panjenengan cium tangannya?”. “Iya, saya ceritakan, aku istikharah selama berminggu-minggu, ingin tahu sebenarnya siapa yang paling mulia diantara orang-orang yang mengajar di Masjidil Haram ini.
Kemudian saya didatangi oleh Rasulullah dan para sahabatnya dan menunjukkan kepadaku, dan berkata, ‘bahwa ini orang yang kamu cari'”. “Lalu kenapa pengemis…”. “Beliau bukan pengemis, melainkan pengajar Al-Qur’an. Bahkan yang diajar itu satu orang, Dhuhur satu orang, Asar satu orang, Magrib satu orang”. “Kenapa kok hanya satu orang”. “Orang itu kalau mengajar, santrinya satu, pikirannya ikhlas. Kalau lebih dari satu, pikirannya bisa riya’, gampang mendapat godaan dari setan, bisa bertanya begini, ‘Mushalla di sini berapa muridnya. Oh, 15. Berarti masih lebih banyak yang di rumah. Di rumah 30, dua kali lipatnya. Kalau hanya satu orang, kan cuma satu, apanya yang mau dibuat riya’.
Selain itu, Nabi bersabda,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”
Jadi, orang yang mengajar Al-Qur’an itu mempunyai posisi derajat yang tinggi di sisi Allah Swt.
Oleh karena itu, semua alumni baik putra dan putri sedapat mungkin mengajar Al-Qur’an walaupun satu, dua orang. InsyaAllah barokah dan mendapatkan derajat di sisi Allah Swt.
Pengasuh sekaligus pendiri Pondok Pesantren Nurul Islam Jember juga menyampaikan sabda Nabi Saw. agar dijadikan bahan renungan dalam menjalani kehidupan.
Nabi Saw. bersabda,
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ رَوَاهُ التِّرْمِذِيّ
Bertakwalah kalian semua kepada Allah dimana saja kalian berada. Karena itu, tingkatkan ibadah kita yang wajib dan sunah, serta tingkatkan kekhusyukannya. Semoga Allah memberikan tambahan barokah kepada kalian semua.
Kedua, jika ada kekurangan, kelemahan dan atau kealpaan maka harus diganti dengan sesuatu yang baik. Karena keburukan itu akan dihapus dan diganti dengan sesuatu yang baik.
Ketiga, hendaknya bergaul terhadap sesama dengan akhlak yang mulia.[]
*Penulis merupakan alumnus MA Unggulan Nuris, kini sedang melanjutkan studi dan nyantri di Ma’had Aly Syalafiyah Syafi’iyah Situbondo, Jawa Timur