Penulis : Nabila Hilmiah*
Tidak dapat dipungkiri, akhir-akhir ini media sosial menjadi ladang seruan untuk mengkoar-koarkan golput, mengajak individu yang lain untuk menunjukkan sikap acuh tak acuh pada pemilihan umum di tahun politik ini. Pertanyaannya, meski dalam hal ini pemilu adalah hak individu, bukan kewajiban, apa pandangan agama terkait sikap golput tersebut?
Pemilihan umum dengan segala mekanismenya merupakan sebuah keniscayaan di alam demokrasi dalam rangka menjaga kontinuitas pemerintahan. Suara masyarakat dibutuhkan untuk menentukan pemimpin yang sah secara konstitusional. Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebar undangan kepada masyarakat untuk hadir dan memilih suara di tempat pemungutan suara (TPS). Lalu bagaimana mereka yang memilih untuk bersikap golput?
Secara konstitusional, merupakan hak masyarakat ialah menghadiri dan mencoblos kertas suara di TPS. Tidak ada hukum yang menyebutkan sanksi bagi mereka yang tidak hadir di TPS. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah kita perlu memandang bahwa undangan pihak KPU agar masyarakat hadir di TPS merupakan sebuah keharusan yang bersifat darurat untuk menjaga kontinuitas pemerintahan yang sah meski tidak ada sanksi secara konstitusional. Sebagaimana keterangan berikut:
قوله وواجب نصب إمام عدل أي نصب إمام عدل واجب على الأمة عند عدم النص من الله أو رسوله على معين وعدم الاستخلاف من الإمام السابق… ولا فرق في وجوب نصب الإمام بين زمن الفتنة وغيره كما هو مذهب أهل السنة وأكثر المعتزلة
Artinya, “(Wajib menegakkan pemerintah yang adil) maksudnya, umat diwajibkan untuk menegakkan pemerintahan yang adil ketika tidak ada nash dari Allah atau rasul-Nya pada pribadi tertentu, dan tidak ada penunjukkan pengganti dari pemerintah sebelumnya… Tidak ada perbedaan soal kewajiban menegakkan pemerintahan di zaman kaos/fitnah atau situasi stabil-kondusif-normal sebagaimana pandangan Mazhab Ahlussunnah dan mayoritas ulama Muktazilah,” (Lihat Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun] halaman 118).
Secara jelas, Syekh M Ibrahim Al-Baijuri menyebutkan bahwa umat Islam berkewajiban untuk menjaga keberlangsungan kepemimpinan di tengah masyarakat. Kewajiban ini bersifat syar’i, bukan aqli.
قوله بالشرع فاعلم لا بحكم العقل) أي إن وجوب نصب الإمام بالشرع عند أهل السنة فاعلم ذلك
Artinya, “(Berdasarkan perintah syariat, patut diketahui, bukan berdasarkan hukum logika), maksudnya, penegakan pemerintahan merupakan kewajiban sesuai perintah syariat bagi kalangan Ahlussunnah wal jamaah. Pahamilah hal demikian,” (Lihat Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun] halaman 118).
Di samping itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan hukum haram bagi masyarakat yang memilih golongan putih atau golput saat pemilu. Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis mengatakan, hal itu merujuk pada fatwa yang pernah dikeluarkan MUI sebelumnya terkait kewajiban memilih pemimpin.
(baca juga: Berlatih Jujur Dengan Pemilu)
“Dalam fatwa yang dikeluarkan pada Ijtima Ulama II se-Indonesia pada 2009 menegaskan memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah (kepemimpinan) dan imarah (pemerintahan) dalam kehidupan bersama,” ujarnya, dikutip laman MUI, Senin (18/12/2023).
Berikut isi lengkap fatwanya yang ditetapkan di Padang Panjang seperti dilansir dari database fatwa MUI, Senin (18/12/2023).
Isi Fatwa tentang Pengharaman Golput saat Pemilu
1. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa
2. Memilih pemimpin (nashbu al imam) dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama
3. Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat
4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib
5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau sengaja tidak memilih padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram
Dengan demikian, kehadiran kita di TPS merupakan sebuah kewajiban menurut syariat dalam rangka menjaga tegaknya keberlangsungan pemerintahan yang sah. Dengan kata lain, sikap golput adalah sikap yang bertentangan dengan pandangan Islam terkait perintah tegaknya stabilitas Negara Indonesia. Apapun alasannya, sikap golputnya tidak dibenarkan.
Bayangkan kalau 85% masyarakat di Indonesia mengambil sikap golput? Situasi politik, ekonomi, hukum, sosial, dan lain bidang lainnya akan menjadi berbahaya atau mudharat yang sangat besar karena tidak sesuai dengan dinamika demokrasi di Indonesia.
Pemilihan umum memang bukan menyulap keadaan yang buruk menjadi baik. Meski demikian, kita tentu berharap pemilu dapat mengubah keadaan menjadi lebih baik dalam semua bidang. Gunakan semaksimal mungkin hak pilih Anda. Jangan sampai tidak mencoblos atau golput. Semoga Allah memberikan pemimpin dan anggota dewan yang terbaik untuk masyarakat. Aamiin.[]
*penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris tahun 2018