Penulis : Nabila Hilmiah*
Donor darah adalah tindakan pengambilan darah dari seseorang secara sukarela untuk diberikan kepada orang lain yang membutuhkannya melalui transfusi. Ada beberapa situasi yang mengharuskan tindakan ini, seperti pasien yang mengalami perdarahan hebat saat melahirkan, akibat kecelakaan, menjalani operasi, dan lain-lain. Oleh karena itu, dibutuhkan tambahan darah sesuai yang diperlukan oleh tubuh.
Seseorang yang mengalami kehilangan darah berlebihan bisa menghadapi risiko kematian. Oleh karena itu, peran donor darah sangatlah mendesak dan penting untuk menyelamatkan nyawa orang yang mengalami situasi kritis tersebut.
Selain bermanfaat bagi pasien yang membutuhkan transfusi, donor darah juga memiliki berbagai keuntungan bagi pendonor. Beberapa di antaranya adalah meningkatkan kesehatan jantung, membantu produksi sel darah merah, dan mengurangi risiko terkena penyakit.
Dalam Islam, tindakan penyelamatan nyawa merupakan salah satu dari maqashidus syari’ah (tujuan diberlakukannya syariat), yakni hifzh an-nafs yang berarti pemeliharaan jiwa. Bahkan, dalam urutannya, hifzh an-nafs berada di posisi kedua setelah hifzh ad-din (pemeliharaan agama). Hal ini menunjukkan bahwa menjaga nyawa seseorang sangatlah penting. (Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat, [Kairo, Dar Ibnu Affan: 1997], juz II, halaman 19).
Sekalipun darah tersedia di tempat khusus, kadang kala stoknya habis sehingga memerlukan pendonor baru. Dalam situasi mendesak, pendonor mungkin tidak selalu dalam kondisi yang sepenuhnya siap, seperti belum mandi wajib atau dalam keadaan junub. Lantas, bagaimana hukumnya jika seseorang mendonorkan darah dalam keadaan junub?
(baca juga: Apakah Orang Gila Wajib Berzakat? Baca Yuk!)
Dalam sejumlah sumber, terutama dalam literatur mazhab Syafi’i, disebutkan bahwa mengeluarkan darah atau menghilangkan bagian tubuh dalam keadaan junub dihukumi makruh. Hal ini disebabkan karena bagian-bagian tubuh tersebut akan meminta pertanggungjawaban kepada pemiliknya jika belum melakukan mandi wajib terlebih dahulu.
Syekh Nawawi Al-Bantani (wafat 1316H) dalam kitabnya, Nihayatuz Zain, menjelaskan bahwa jika seseorang dalam keadaan hadats besar, disunahkan untuk tidak menghilangkan, mengeluarkan, atau memotong bagian tertentu dari tubuh, seperti rambut, darah, kuku, dan lain sebagainya, sampai ia bersuci. Sebab, bagian-bagian tersebut akan dikembalikan oleh Allah SWT ke tempat semula di akhirat.
وَمن لزمَه غسل يسن لَهُ أَلا يزِيل شَيْئا من بدنه وَلَو دَمًا أَو شعرًا أَو ظفرا حَتَّى يغْتَسل لِأَن كل جُزْء يعود لَهُ فِي الْآخِرَة فَلَو أزاله قبل الْغسْل عَاد عَلَيْهِ الْحَدث الْأَكْبَر تبكيتا للشَّخْص
Artinya, “Bagi orang wajib mandi, maka disunahkan tidak menghilangkan sesuatu yang menjadi bagian tubuhnya, seperti, darah, rambut dan kuku sampai ia mandi wajib (suci). Sebab semua itu akan dikembalikan untuknya di akhirat. Jikaia menghilangkannya sebelum mandi wajib, maka hadats besar akan kembali kepada orang tersebut sebagai celaan bagi dirinya.” (Nawawi aAl-Bantani, Nihayatuz Zain, [Beirut: Darul Fikr, 2010] halaman 30).
Sejalan dengan pendapat Syekh Nawawi, Syekh Sulaiman bin Umar Al-Jamal, atau yang dikenal sebagai Al-Jamal (wafat 1204H), dalam kitab Hasyiyah Al-Jamal juga menyarankan agar tidak menghilangkan, mengeluarkan, atau memotong bagian tubuh tertentu dalam keadaan junub. Beliau mengutip pendapat ini dari Imam Al-Ghazali.
“Sebab, semua bagian-bagian tersebut akan dikembalikan kepadanya di akhirat dan bersama bagian tersebut pula ia akan dibangkitkan. Maka (jika terpotong) akan kembali dengan sifat jinabahnya. Juga dikatakan, setiap rambut akan meminta pertanggungjawaban karena kondisi junubnya.” (Al-Jamal, Hasyiyah Al-Jamal, [Beirut, Darul Fikr: tt.], juz I, halaman 166).
(baca juga: Ketakwaan Membuka Pintu Rezeki)
Menurut As-Sa’d dalam kitab Syarh Al-‘Aqaid An-Nasafiyah, yang dimaksud adalah bagian tubuh asli yang ada sejak lahir hingga meninggal dunia.
Al-Bujairami berpendapat bahwa yang akan dikembalikan adalah bagian tubuh saat kematian, bukan semua kuku yang terpotong selama hidupnya, serta rambut. Pendapat ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Al-Qalyubi.
Al-Madabighi menjelaskan bahwa yang dikembalikan adalah bagian tubuh asli saja, seperti tangan yang terpotong, berbeda dengan rambut dan kuku yang akan kembali secara terpisah dari badan seseorang, seraya menegaskan bahwa jika diperintahkan untuk tidak dihilangkan atau dipotong saat berada dalam keadaan junub (hadats besar).(Abdul Hamid As-Syirwani, Hasyiyah ‘ala Tuhfatil Muhtaj, [Mesir: Maktabah at-Tijariyah al-Kubro, 1983] juz 1, halaman 284).
Demikianlah penjelasan mengenai hukum mendonorkan darah saat berada dalam keadaan junub. Sesuai dengan yang telah dijelaskan sebelumnya, disarankan untuk tidak menghilangkan, mengeluarkan, atau memotong bagian tubuh apapun saat dalam kondisi tersebut, sebelum melakukan mandi wajib. Semoga hal ini bermanfaat.
Wallahua’lam bisshawab
*penulis merupakan alumni MA Unggulan Nuris tahun 2018