Penulis: Achmad Faizal*
25 November? Hari Guru Nasional (HGN)? Sebuah apresiasi tinggi untuk sosok yang dikenal sebagai Pahlawan tanpa tanda jasa. Sesungguhnya guru bukan sembarang guru karena hakikatnya adalah sosok pembuka peradaban. Sebab itu, tugas utama guru adalah mendidik peserta didiknya agar menjadi manusia terdidik yang bermanfaat bagi bangsa dan umat manusia, terutama dalam mewujudkan masa depan Indonesia berkemajuan dan berperadaban luhur. Oleh karena guru adalah pembentuk manusia bijak, sejak dalam pikiran, sikap, hingga perbuatan.
(Baca juga: Pesantren Tak Retak)
Seorang guru bukan semata melakukan transfer pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga menanamkan nilai-nilai luhur dalam rangka memanusiakan (humanisasi) diri peserta didik: membentuk karakter dan kepribadiannya agar memiliki integritas moral dan akhlak mulia; membekali kompetensi, sikap positif, dan keterampilan hidup (life skills) agar bisa menjalani dan memaknai kehidupannya; dan membentuk mindset positif dalam rangka meraih prestasi dan kesuksesan duniawi dan ukhrawi.
Walau demikian, tidak semua guru mempunyai idealisme sebagai pembangun peradaban bangsa. Tidak sedikit guru yang semestinya digugu dan ditiru, justru acapkali bisa saja menjadi “diguyu lan ditinggal turu“ (ditertawakan dan ditinggal tidur oleh siswanya). Banyak guru gagal mengemban tugas edukasi karena beberapa alasan. Pertama, guru tidak memiliki latar belakang pendidikan profesi guru yang sesuai dengan bidang keahliannya (mismatch) sehingga ia melakukan malapraktik pendidikan dan keguruan. Lulusan Prodi A mengajar mata pelajaran C. Kedua, kualitas dan profesionalitas guru rendah karena penguasaan substansi materi pelajaran dan metodologinya masih jauh di bawah standar, tidak kreatif, statis, dan tidak melakukan pemutakhiran atau pengembangan keilmuan dan strategi pembelajarannya.
Selain itu, ada hal lain (ketiga) yang menjadi alasan yakni; sang guru tidak memiliki jiwa mendidik. Profesi guru bukan “panggilan jiwa” sehingga menjadi guru hanyalah “profesi sampingan”, tidak menjadi tugas utama yang mengutamakan tanggung jawab moral. Keempat, guru tidak memiliki visi dan misi luhur dalam mendidik yaitu membangun peradaban melalui pengembangan ilmu, pembentukan sikap dan kepribadian, serta pelatihan keterampilan, baik life skills maupun soft skills. Kelima, kegagalan guru dalam mendidik boleh jadi juga disebabkan oleh sistem pendidikan dan pembelajaran yang tidak kondusif. Sekolah atau madrasah tidak dibangun dan dikembangkan dengan sistem pelayanan yang baik; sarana dan prasarana sangat minim; budaya sekolah tidak efektif dan produktif; dan lingkungan pembelajaran tidak kondusif dan tidak inovatif.
(baca juga: Rayakan Hari Guru Nasional, Guru MA Unggulan Nuris Raih Juara 2 Guru Berprestasi 2023)
Sejarah membuktikan bahwa para nabi dan rasul itu adalah para pendidik ulung yang sukses mendidik umatnya sehingga mampu melahirkan peradaban yang agung. Bahkan, sekelas ulama alim terdahulu yang mampu mencetak generasi andal atau justru mampu “menyaingi” kemampuan gurunya seperti, Imam Maliki yang melahirkan murid sekaliber Imam Syafi’I dll. Atau bahkan, filsuf era sebelum masehi seperti Anaximenes yang melahirkan pemikir seperti Aristoteles, yang berlanjut lahirnya pemikir seperti Plato.
Dalam konteks istimewa, seperti yang diketahui bersama bahwa pendidik yang paling sukses sepanjang masa adalah Baginda Nabi Muhammad SAW. Beliau tidak hanya mendidik umatnya untuk menjadi khaira ummah (umat terbaik), melainkan juga membangun peradaban (hadharah, tammadun) Islam yang agung: humanis, universal, dan berkeadaban. Dalam sebuah Hadits dinyatakan bahwa “Aku diutus sebagai guru (peradaban).” (HR Ibn Majah)
Guru, secara hakikat bukan lah sekadar sebuah profesi atau terlebih menjadi sebuah pengabdian seorang pendidik yang mulia. Hal ini karena guru merupakan profesi paling mulia karena dapat mengantarkan manusia mencapai keutamaan (al-fadhilah) dan mendekatkan diri kepada Allah (at-taqarrub ila Allah) sebagai tujuan utama pendidikan. Pendapat al-Ghazali (1059-1111) ini mengingatkan kita semua bahwa profesi mulia ini memang sangat penting bagi kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa. Profesi ini harus dikembangkan dengan sistem pembinaan yang jelas dan profesional. Profesi guru sangat diperlukan karena warisan budaya hanya bisa ditransmisikan kepada generasi muda melalui proses pendidikan. Penanaman nilai, pembentukan sikap, perilaku, karakter, dan kepribadian manusia hanya dapat dilakukan melalui aktualisasi fungsi pendidikan dan profesi guru.
Tugas guru peradaban bukan sekadar menyampaikan materi pelajaran, menuntaskan bab demi bab pembahasan dalam buku pelajaran, dan mengevaluasi kemampuan dan kompetensi peserta didiknya melalui ulangan. Guru peradaban adalah mitra peserta didik dalam mengaktualisasikan dirinya, sekaligus sebagai fasilitator, motivator, dan inspirator bagi peserta didik dalam membangun kepribadiannya sehingga motivasi dan inspirasinya itu dapat mengubah mindset dan orientasi mereka dalam membangun bangsa dan peradaban umat manusia.
Belajar dari mahaguru peradaban, Nabi SAW, guru terkadang harus mendengar keluhan peserta didiknya, berdialog dari hati ke hati, dan cerdas dalam memberi solusi persoalan hidup mereka. Sirah Nabi SAW tidak hanya sarat dengan kisah perjalanan hidupnya, melainkan juga kaya akan sumber inspirasi dan referensi yang menarik dan aktual untuk dijadikan sebagai teladan edukasi bagi guru dalam mengemban tugas profesionalnya.
(baca juga: Workshop Parenting: Menumbuhkan Kasih Sayang Antara Pengurus dan Santri Pondok Pesantren Nuris Jember)
Sebagai mahaguru peradaban, Nabi SAW mendidik umatnya dengan visi dan misi utama: mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Dalam mewujudkan rahmat (kasih sayang bagi semua itu), Nabi SAW memerankan diri dan menjalankan fungsi sebagai pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya lima kompetensi yaitu: (1) syahidan (saksi dan bukti nyata atas kebenaran Islam), (2) mubasysyiran (pembawa kabar gembira, motivator ulung), (3) nadziran (pemberi peringatan), (4) dadaiyan ila Allah (penyeru kepada agama Allah), dan (5) sirajan muniran (cahaya yang memberikan pencerahan, inspirator) (QS al-Ahzab/33:45-46)
Akhirnya, seorang guru bukanlah sekadar menambahi beban peserta didik dengan mencekoki pelajaran, melainkan bagaimana perannya mampu menghidupkan ilmu pengetahuan seperti yang diungkapkan oleh Najwa Shihab dalam acaranya di Mata Najwa. Kepada para Guru, berbangga lah karena Guru adalah cahaya di gelapnya kehidupan. Semoga kita mampu menjadi guru yang amanah dan menginspirasi. Amin.
*Guru Bahasa Indonesia di MA Unggulan Nuris Jember