penulis: Abd. Halim W.H.*
Di beberapa daerah, lembaga pendidikan atau program tertentu (seperti program Tahfizh Qur’an, program kitab turâts, program akselerasi bacaan al-Qur’an, program keagamaan, dan lain-lain) biasanya menyelenggarakan acara wisuda manakala sebagian anak didiknya telah berhasil menuntaskan materi program yang dipelajari (atau dihafal). Kemasan acara ini dianggap lebih pantas ketimbang dikemas dengan acara semisal “Acara Lepas Pisah”, “Haflatul Imtihan”, dan sebagainya. Jadi, wisuda sudah tidak lagi hanya identik dengan wisuda strata-1 (S1), magister (S2) ataupun doktoral (S3) bagi para mahasiswa yang telah berhasil menyelesaikan studinya.
Hakikatnya, wisuda bukanlah akhir dari proses belajar atau menghafal yang ditempuh oleh anak didik di lembaga atau program yang ia ikuti, melainkan bukti dan bentuk pengokohan dari perjalanan proses yang ia tempuh, bahwa ia telah berhasil menuntaskan materi capaian yang telah ditargetkan oleh kurikulum penyelenggara. Tuntas bukan berarti selesai. Ia masih harus mempertanggungjawabkan atas pengokohan dirinya sebagai peserta wisudawan/wisudawati.
Bagi wisudawan Tahfizh Qur’an, keberhasilan mereka menuntaskan setoran hafalan mulai dari 1 (satu) juz (juz ‘Amma dan juz 1), 5 (lima) juz, 10 (sepuluh) juz, dan bahkan 30 (tiga puluh) juz, bukanlah semata-mata bukti bahwa mereka telah selesai atas hafalan al-Qur’annya, akan tetapi lebih dari itu, ia merupakan amanah dan tanggung jawab yang menunggu mereka; amanah untuk senantiasa muroja’ah (mengulang) dan mempertahankan hafalannya hingga akhir hayat, dan bahkan hingga hari diperhitungkannya seluruh amal manusia sewaktu hidup di dunia.
(baca juga: Mereligikan Wisata Pantai)
Setelah mereka berhasil menuntaskan setoran hafalannya kepada guru pembimbing atau mustami’, mereka harus senantiasa muroja’ah (mengulang hafalan) agar hafalannya tetap terpatri di sanubari dan tidak terlupakan. Bukan malah bersantai dan merasa bangga. Semakin banyak pencapaian hafalan, maka semakin banyak pula waktu yang harus disisihkan untuk kepentingan muroja’ah, baik muroja’ah personal, kolektif, ataupun ditasmi’ (diperdengarkan) kepada orang lain atau guru pembimbing.
Selain dari itu, diperlukan juga pembenahan bacaan (bagi yang bacaan al-Qur’annya belum memenuhi standard bacaan yang sesuai dengan kitab Jazariyah, kitab rujukan bacaan para ulama’ Qiro’ah), serta pengembangan keilmuan dari al-Qur’an yang telah mereka hafalkan, diantaranya pendalaman di pemahaman makna, murâd (maksud), serta pengaplikasiannya di kehidupan sehari-hari. Materi-materi ini antara lain seperti materi Tafsîr, ‘Ûlûmul Qur’ân, ’Ulûmut Tafsîr, Qirâ’ah Sab’ah/’Âsyrah, Rasmul ‘Ûtsmânî, Balâghah, dan lainnya. Ini penting, karena untuk memahami al-Qur’an dengan benar, tidak cukup menggunakan al-Qur’an terjemahan saja.
Sedangkan bagi wisudawan kitab, mereka dituntut untuk bisa mempertahankan hafalan dan pemahamannya terhadap ilmu alat dan materi praktek yang telah mereka pelajari, baik materi ‘Imrîthî, al-Amtsilah al-Tashrîfiyyah, Jurmiyyah, Alfiyyah, Fathul Qarîb, dan lainnya. Ini dimaksudkan agar mereka tidak hanya hafal manzhûmah dan matannya saja, akan tetapi bisa diterapkan untuk memahami kitab-kitab salaf dari berbagai disiplin ilmu, utamanya ilmu Agama.
(baca juga: Pengaruh Kesalehan Orangua atau Guru terhadap Anak)
Selain itu, selanjutnya juga diperlukan pengembangan dan pendalaman pemahaman, agar bisa lebih mudah diaplikasikan kepada kitab-kitab turâts / kitab kuning yang lain, dan tidak hanya menggunakan satu dua kitab praktek saja. Ini memerlukan ketekunan dan butuh waktu yang tidak singkat. Proses-proses ini tidak berakhir dengan prosesi wisuda saja. Mereka dituntut untuk lebih tekun lagi, karena medan perjuangan yang sebenarnya juga adalah masyarakat luas (masyarakat desa, masyarakat kota, masyarakat santri) ketika mereka sudah terjun langsung di tengah-tengah masyarakat nanti. Ilmu-ilmu yang telah mereka peroleh diharapkan bisa diketuktularkan kepada ummat. Allah Swt. berfirman:
وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” [QS. At-Taubah (09): 122]
Walhasil, wisuda bukanlah akhir dari segalanya, akan tetapi awal dari perjuangan yang sesungguhnya. Wisuda bukan tujuan, melainkan jembatan. Wisuda bukan inti, melainkan sugesti.
Ucapan selamat kepada adik-adik santri Nuris jenjang SMP, SMA dan SMK yang pada hari ini, Ahad, 13 Desember 2020, telah dikokohkan sebagai peserta wisudawan-wisudawati Kitab dan Tahfizh, dan disusul besok, Senin, 14 Desember 2020 untuk jenjang MTs dan MA, yang juga akan dikokohkan sebagai para wisudawan-wisudawati Kitab dan Tahfizh ke-5. Teriring doa, semoga mendapatkan ilmu yang manfaat, barokah, bisa mempertahankan hafalan al-Qur’annya, serta menjadi insan yang anfa’uhum linnâs (orang yang senantiasa menebar manfaat kepada orang lain). Âmîn Yâ Mujîbas Sâ-ilîn….
Jombang, 13 Desember 2020
*Khâdim di Program Tahfizh MTs dan MA Nuris Jember