Penulis: Zannuba Izza Afkarina*
Langit telah berdamai dengan pelangi. Namun, masih menyisakan gemericik air yang membawa ketenangan abadi. Kicauan burung membawa ketenangan, cahaya matahari yang tak terlalu menyengat. Suasananya yang selalu di ingatnya, di ruangan yang akan menjadi saksi abadi rindu yang telah lama mendalam.
“ucapkan setelah saya!” perintah seseorang yang telah membawa cahaya islam padanya.
“Asyhadu an Laa Ilaaha IllallahWa Asyhadu Anna Muhammadan Rasuulullah.”
“Asyhadu an Laa Ilaaha IllallahWa Asyhadu Anna Muhammadan Rasuulullah.”
Sejarah itu tertulis rapi di lembaran memorinya, membawanya terbang ke atas arsy.
Brukk..
Tiba-tiba dia terjatuh dari lamunannya, semua menjadi gelap.
***
Pagi yang gigil. Secangkir kopi menebar selembar senyum mungil. Gus Zafif adalah putra tunggal dari Kyai Mahmud, beliau sangat aktif dalam mengajar kitab kuning di pondoknya.
“Abah , Zafif mohon izin untuk membeli beberapa kitab” ujarnya yang sudah siap sedari tadi.
“hati-hati! Di jalan licin karena hujan semalam. Nak, Abah sudah mempersiapkan calon istri buat kamu.
Uhukk!!. ucapan Abahnya terjeda oleh batuknya.
“dan Abah sanagat tenang dan senang jika kamu menikah sebelum Abah kembali pada peluka ilahi robbi” lanjutnya.Tanpa di sadari air mata telah membasahi wajah Gus Zafif.
Tin..tin..tin...
Suara klakson membuyarkan lamunannya tanpa disadari Gus Zafif menabrak seseorang wanita. Ia sangat cemas. dengan sigap beliau turun dari mobilnya dan langsung membawa wanita itu ke rumah sakit.
Ketakutan akan kematian melanda hati Zafif.
“Mas,” lamunannya seketika hancur dengan kedatangan orang berjas putih berkalung stetoskop.
“Bagaimana keadaannya Dok?”
“Alhamdulillah ia baik-baik saja.” Ujar Dokter. Ia menghampiri wanita tersebut“Kenapa aku di sini?”
“Kau tertabrak mobilku, tapi maafkan aku, aku sungguh tak sengaja”
“Tidak apa kau sudah menyelamatkanku dan semoga Tuhan Yesus mengiringimu.”
***
Burung berkicau dengan melatih nada pagi itu lantunan dzikrullah terpancar sinar dan komat-kamit lisan Kiai Mahmud.
“Humairah, mriki nduk temani Abah”
“Inggih Bah”
“Nanti kalau nduk jadi mantu Abah, nduk harus jadi seperti sejuk di sini yang selalu menemaniAbah.” Nasehat tercucur dengan manis.
Mendebar dalam lapisan dada paling dalam samapai ke relung hati, dengan cintanya pada Zafif melebihi jabatannya sebagai seorang putri Kiai. Perjodohan ini tak di tentang keduanya, tumbuh benih cinta di dalamnya.
(baca juga: Singkong dalam Amplop)
“Ngapunten Abah ngomong-ngomong mana Mas Zafif?”
“Zafif, masih abah amanahi untuk membeli beberapa kitab.”
***
Di ruang yang tak begitu besar. Jantung Gus Zafif meraung-raung meronta tak terkendali. Pasalnya Gus Zafif hanya berdua dengan sekar di mobilnya. Ketakutannya akan fitnah mendebar hatinya. Ia tercekat.
“Kamu tinggal disini?”
“Iya mas”
***
Awan malam datang dengan membawa kegelisahan memenuhi pikiran gus Zafif menulai tentang bayangan Sekar.
“Allahu akbar allahu akbar.” kumandang lantunan azan bergumuruh
“Astaghfirullah.” mimpinya terlalu melenyapkannya dalam tidur gus zafif.
“Assalamualaikum abah, ning Humairoh, saya izin pergi”
“Kenapa mas?” Humairoh dilimpahi sedih
“Ada urusan ning.”
“Mari, assalamualaikum.”. Ketidak setujuan hati Humairoh memutuskannya untuk membututi Gus Zafif.
***
Dengan menutup pandangan gus Zafif menuju rumah Sekar.
“Permisi?”
“Masuk!! Di sini siap melayani para lelaki.”
“Astagfirullah, saya Zafif, orang kemarin yang dirumah sakit.”
sadar akan kehadiran zafif, sekar menutupi tubuhnya dengan jaket kelabu.
“Maaf ada perlu apa mas kemari?” sembari meletakkan segelas teh.
“Saya hanya ingin bertanya, kamu bahagia dalam kehidupan kamu ini?”
“Sebenarnya aku tidak suka dengan kehidupanku ini, namun kata Tuhan Yesus ini adalah takdir terbaik yang diberikan padaku.” Jelasnya.
“Menurut Tuhanku takdir itu dapat diubah jika kamu ingin menuju jalan yang lebih baik” Dengan kewibawaannya Gus Zafif menyampaikan untaiannya.
“Besok aku akan kesini lagi untuk menceritakan Tuhanku dan bidadariku.
***
Humairah.
Aku terus membuntuti mas Zafif. Betapa ritme jantungku tak terkendali, hati menolak untuk percaya pada kornea yang menjadi saksi bahwa mas Zafif memasuki gang Doly.
“Astaghfirullah.” Batinku menangis.
Ternyata seorang Gus sama seperti lelaki lain, munafik. Aku berusaha mengendalikan amarahku, diri ini terasa hina jika sampai nikah dengannya. Kutancapkan gas ingin langsung memeluk umi.
***
Matahari menggantikan posisi bulan. Nyanyian jangkrik berubah menjadi kicauan burung. Tetesan embun bertebaran pada mentari yang sejuk. Hatinya gelisah. Setelah mendapat surat dari Humairohnya tadi malam..
Ribuan kata maaf kuharapkan jawabanmu. Karenaa hait ini sudah tak lagi memihak cintaku padamu. Mungkin juga Tuhan telah menghentikan rajutann cinta antara kita. Bukan kesalahanmu yang membuatku lebur, tapi mungkin kesalahanku yang telah mencoba mencintaimu. Maafkan aku, aku memutuskan ikatan ini bukan apa, aku begitu tak lain agar mataku tak lagi mencucurkan airnya.
Dillah Haidar, kutolak cintamu di pertengahan jalan.
Tangannya bergetar ketika membaca kata demi kata.
Ketokan pintu memecahkan lamunannya
“Gus Zafif, dicari kyai,” ujar khaddamnya
“Iya dek, makasih,” beranjak dari tempat duduknya
***
Sekar.
Ada apa dengan hati ini. Mengapa aku merasa ada benih kasih pada diri ini?. aku segera ingin segera mengetahui cerita tuhannya dan bidadarinya.
“Permisi.” Segera aku membuka pintu dan mempersilahkannya duduk
“Mas bagaimana cerita tuhanmu dan bidadarimu?”
“Tuhanku itu tidak bisa dilihat tetapi bisa dirasakan, Dia tiada yang menyerupai. Mendengar semua pintaku dan mengerti kekosongan hati. Dia mengirimku bidadar, dia cantik, yang akan menyempurnakan tulang rusukku. Namun. Aku telah menyakiti hatinya” tak disangka butiran air mata membasahi pipinya.
“Mas, pasti ni karena aku. Aku akan menjelaskan semua padanya, lalu aku diantar olehnya ke sebuah tempat.
“ Ini tempat apa Mas, hatiku dingin ketika masuk melewati pintu utama”
“Ini Masjid, tempat aku beribadah, mencuruakan seluruh masalah, sedangkan ini Al-Qur’an, pedomanku, petunjukku”
“Sebelum itu kamu harus mengikuti perkataanku!”
“Asy’ hadu alla ilaha illallah” Dia menuntunku, akupun mengikutinya dengan terbata-bata
“Asy’ hadu anla ilaha illallah” lanjutnya, yang diikuti olehku.
Betapa terkejutnya Maz Zafif ketika melihat seorang wanita sedang menangis tersendu-sendu diambang pintu Masjid.
“Mas Zafif, Maafkan saya Mas, Saya sudah berprasangka buruk pada Mas” tangisnya menjadi-jadi
Di balik kening yang tiba-tiba pening bagai terbentur benda keras, kepalaku sangat pusing, pandanganku mulai buram dan akhirnya kegelapanpun melahap mentari.
Bruk..
“Permisi” suara orang berjas putih mengagetkan keduanya
“Pasien ingin bertemu dengan Mas Zafif”
Gus Zafif menoleh ke arah Ning Humairah. NIng Humairah mengangguk seakan paham apa maksudnya. setelah membaca kalimat syahadad, Sekar menghembuskan napas terakhirnya, sudah ditutup buku kehidupannya.
“Innalillahi wa innailahiraji’un”
***
Syukurlah dengan puja teruntuk Tuhan, terucap bunga mekar di jalan menuju kesucian yang haqiqi. Derupan angina ikut terasa di dada mengombangkan hati. Lontaran ucap penigkat yang sempurna menggetarkan bumi dalam lantunan akad suci.[]
*penulis adalah lulusan MA Unggulan Nuris tahun 2021. Karya cerpen ini dinobatkan menjadi salah satu yang terbaik dalam ajang GSMB 2020 di Surakarta.