Penulis: Ahmad Baihaqi*
Santri sudah memang sepatutnya untuk di berikan apresiasi. Di tangannya telah dititipkan masiyarakat untuk dibimbing menjadi insan yang menjunjung tinggi moralitas dan martabat kemanusiaan. Dedikasi dan perjuangannya jangan hanya dipandang dengan sebelah mata saja.
Jika kita sedikit flashback beberapa tahun lalu. Deklarasi Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Kiyai Hasyim Asy’ari mewajibkan seluruh kaum muslimin Indonesia pada saat itu untuk melawan penjajah, bukan dikhususkan kepada kelompok tertentu. Itulah sebabnya keberadaan Hari Santri bukan merujuk pada kelompok atau pihak tertentu, melainkan pada seluruh umat Islam yang mendapatkan komitmen yang sama, yakni untuk menjaga keutuhan bangsa dan Negara.
Namun belakangan ini, atau katakanlah santri zaman now, penulis memperhatikan bahwa banyak dari berbagai kalangan pesantren yang masih jauh dari hakikat santri itu sendiri, bahkah ciri khas dari seorang santri itu sudah mulai luntur jika dibandingkan pada era pendahulunya. Entah itu mulai dari segi penampilannya, atau mungkin bahkan moralitasnya dll. Lanatas, bagaimana sih sebenarnya yang dikatakan sebagai santri? Sebelumnya, mari kita bahas sedikit tentang makna dari kata santriitu sendiri..
Namun di sini penulis akan memaparkan ada beberapa pendapat terkait kata santri itu sendiri.
Pertama, kata santri berasal dari kata Shastri yang dalam bahasa Sanskerta artinya orang yang mempelajari kitab suci di per-Shastrian atau yang biasa dikenal dengan pesantren. Ini dapat diartikan santri adalah seseorang yang belajar ilmu agama di pesantren.
Kedua, apa yang dimaksud dengan santri?
Santri adalah anak-anak didik yang datang dari jauh untuk belajar tentang ilmu agam dan tinggal di sebuah kompleks pendidikan yang di sebut pesantren, dan dibawah naungan para kiai.
Ketiga, kenapa disebut dengan santri?
Menurut pendapat CC Berg bahwa santri berasal dari kata shastri atau Cantrik dalam bahasa sanskerta yang berarti ”orang yang mengetahui isi kitab suci” atau “ orang yang mengikuti guru.” Adapun menurut M. Chaturverdi dan BN Tiwari memandang dengan kata yang sama berasal dari shastra yang berarti “buku”.
(baca juga: Nasionalisme Santri Melawan Degradasi)
Dari pemaparan yang di atas, jadi santri itu adalah bisa dikatakan sebagai orang yang tinggal di kompek pesantren, mengaji dan mengkaji kitab suci al-Quran , al-Hadist, kitab-kitab klasik dll. Nah, dari sini penulis mau mengajak pembaca untuk mengintropeksi diri sejenak dan mengkaji sedikit tentang makna santri itu sendiri, terlebih bagi pembaca yang saat ini masih berstatus sebagai santri.
Jika kita perhatikan makna di atas, dan pemahaman masyiarakat kita bahwa istilah santri tidak llepas dari yang namanya pesantren, tempat orang-orang menuntut ilmu agama, itu memang benar adanya. Namun makna santri tidak terbatas dari makna yang di atas saja. Namun ada tiga makna yang terlewati dalam KBBI.
Satu, orang yang mendalami agama Islam,
Kedua, orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh,
Kedua, Orang yang mendalami pengajiannya ketempat yang jauh seperti pesantren dan lain sebagainya.
Namun pada dasarnya siapa saja yang mendalami ilmu agama dan bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ilmunya sehingga ia bisa dikategorikan sebagai santri, dimana saja tempat ia belajar baik di pesantren, di masjid, majlis taklim, di madrasah atau di rumah sekalipun.
Hal ini selaras dengan apa yang pernah di dauhkan oleh Gus Mus, “Santri bukan hanya yang mondok saja, tetapi siapapun yang berakhlak santri yang taawadlu’ kepada Gusti Allah, tawadlu’ kepada orang-orang alim kalian namanya SANTRI”
Membawa makna santri yang lebih luas akan mendatangkan rasa tanggung jawab mengingat hamper setiap kita pasti mengalami menjadi santri, sehingga sebelum seseorang melakuakn aktivitasnya aia akan berpikir terlebih dahulu bahwa dirinya adalah seorang santri sehingga segala perkataan dan perbuatannya terkontrol.
Santri identik dengan ilmu. Seseorang bisa dikatakan sebagai santri kerena ia belajar agama dan mengamalkannya, sehingga kita tidak pernah menemukan istilah “mantan santri” karena perihal dalam menuntut ilmu itu tidak ada batasnya sampai kita samuk kelian lahat. Selama jiwa ini masih di kandung badan maka kita diwajibkan untuk menuntut ilmu. Nentunya semua ini harus tetap menjaga adab, dan akhlak kita pada sang guru atau kiai agar supaya kelak apa yang sudah kita tuntut dan pelajar di pesantren menjadi ilmu yang bermanfaat dan barakah
Kita semua percaya dan yakin bahwa guru kita mengajarkan untuk berpakaian syar’i, beradab dan berakhlak yang telah diajarkan oleh agama kita. Masihkan nasihat itu dalam diri kita? Atau sekarang kita sudah lupa sehingga menggunakan apakaian yang gaul berjilbab, tapi masih ketat sehingga menampakkan bentuk lekuk tubuhnya dan sudah lupa bagaimana caranya bertutur kaya yang baik dan sopan ketika kita berhadapan dengan sesama terlebih kepada yang lebih tua atau seorang guru kita.
Mumpung masih ada waktu, masih ada peluang untuk memperbaiki diri kita sehingga pada akhirnya kita bisa menjadi santri yang sesungguhnya. Amin…..[]
*penulis merupakan mahasantri Ma’had Aly Nurul Islam Jember, Prodi Akidah dan Filsafat Islam