Oleh : Abdullah Dardum, S.Th.I
Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia hidup di muka bumi terdiri dari aneka ragam suku, agama, ras dan budaya yang berbeda. Tak jarang perbedaan-perbedaan tersebut kerap kali menjadi penghalang bagi terwujudnya kehidupan yang toleran, harmoni, dan damai. Berbagai bentuk kekerasan kemanusiaan yang berlatar isu agama, membuat wacana kekerasan atasnama agama menjadi salah satu topic yang selalu menjadi sorotan. Memang sedari dulu, kekerasan dengan dalih agama senantiasa terjadi di tengah-tengah pemeluk agama, mulai dari pembantaian yang terjadi di Palestina, Bosnia, Azerbaijan, bom WTC di USA, terror Amerika ke Afganistan, kasus Ambon, Poso, Aceh, bom Bali, dan puluhan kasus lainya.
Baca juga: (Hujjah Aswaja: Mencium Tangan Ulama dan Guru)
Tak ayal, peristiwa tersebut lagi-lagi memunculkan beberapa tuduhan bahwa diakui atau tidak hal itu dilatarbelakangi oleh factor perbedaan agama, bukan hanya factor criminal murni. Realita ini semakin menguatkan pandangan bahwa agama merupakan sumber kebencian, perpecahan dan inspirasi bagi pelaku kekerasan, yang antara lain untuk melenyapkan mereka yang berbeda atau dianggap beda.
Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
jika kita mau menganalisa sejarah perjalanan Nabi SAW, maka akan kita temukan fakta bahwa beliau tidak pernah memaksa seorangpun unutuk memeluk Islam. Beliau hanya memerangi orang kafir yang telah terlebih dahulu memerangi umat Islam atau tidak mau berdamai dengan mereka. Adapaun orang-orang kafir yang mau berdamai dengan umat Islam, maka beliau tidak pernah memerintahkan untuk memerangi mereka selama mereka bisa menjaga dengan konsisten seluruh ketentuan-ketentuan yang telah disepakati sebelumnya.
Oleh Karena itu, ketika Nabi SAW tiba di Madinah dan kemudian menetap di sana, beliau mengajak berdamai kepada komunitas yahudi yang telah lebih dulu berada di Madinah. Disamping itu, beliau juga mengakui eksistensi agama yang telahmereka yakini dan mereka anut secara turun-temurun. Akan tetapi, ketika mereka mengingkari perjanjian-perjanjian yang telah disepakati, dan mendahului memerangi umat Islam, maka tidak ada pilihan lain bagi beliau kecuali memberikan perlawanan dengan memerangi mereka.
Orang-orang arab menerima dan menganut agama Islam ini dnegan penuh kepatuhan dan kesadaran dalam suasana kebebasan, setelah mereka mengetahui nilai-nilai kebenaran yang dibawa dan diajarkan Nabi SAW. Wahbah al-Zuhaili (seorang mufassir kontemporer) menegaskan bahwa tidak diperkenankannya memaksakan seseorang untuk masuk Islam, karena dalil-dalil akan kebenaran nilai-nilai yang dibawanya sudah jelas dan tidak perlu dipaksakan. Keyakinan akan kebenaran agama tersebut harus ditegakkan berdasarkan argumentasi logis, sehingga ia akan diterima dengan kepatuhan dan kesadaran, tidak dengan pemaksaan, kekerasan, intimidasi dan tekanan-tekanan social yang lain (Tafsir al-Munir, Juz. 3, 21).
Argument yang secara tegas menunjukkan tentang dasar kebebasan beragama dalam ayat berikut :
لَاأِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدٌ مِنَ الْغَيِّ.
“Tidak ada paksaan dalam (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat.” (QS. Al-Baqarah/2:256)
Dari sudut gramatika bahasa Arab tampak bahwa kata “la” dalam ayat di atas termasuk “la linafyi al-jins”, dengan demikian berarti menafikan seluruh jenis paksaan dalam soal agama. Ayat tersebut dapat dijadikan sebagai argumentasi yang dapat dipertanggung jawabakan untuk menolak anggapan bahwa Islam adalah agama yang disebarkan dengan pedang dan penuh dengan intimidasi dan kekerasan.
Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam sebelum hijriah tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk melakukan pemaksaan kepada orang-orang kafir Makkah. Justru sebaliknya umat Islamlah yang hidup dlam suasana yang penuh dengan tekanan serta selalu dibayang-bayangi kecaman dan keberingasan mereka, sehingga beribadah pun umat Islam harus dengan sembunyi-sembunyi. Setelah umat Islam hijrah dan kekuatan mereka mulai diperhitungkan, mereka tidak pernah melakukan pemaksaan kepada seorangpun untuk masuk Islam. Dalam suasana seperti inilah ayat tersebut diturunkan, tepatnya di awal tahun ke-empat H, di mana saat itu kondisi umat Islam telah menjadi kuat dan disegani.
Disamping itu, keimanan merupakan pondasi agama yang esensinya adalah ketundukan diri, maka ia tak bisa dijalankan dengan pemaksaan. Dengan ini bisa sikatakan, beriman bukan merupakan keharusan atau kewajiban sehingga perlu dipaksakan dari luar. Beriman merupakan pilihan, kesadaran dan ketundukan subyektif manusia atas ajaran-ajaran Allah SWT. Namun demikian, bagi orang yang berakal sehat, setelah ia memahami hakikat dan kebenaran petunjuk Tuhan, maka ia akan beriman untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Nabi SAW sendiri hanya diperintahkan untuk menasehati, memperingatkan, menyampaikan suatu pesan, dan menegur tanpa paksaan. Beliau diperintahkan untuk sekedar menyampaikan risalah yang diterimanya dari Allah SWT, memberikan kabar gembira bagi orang yang dapat menerima dan mengikutinya serta memberikan peringatan bagi orang-orang yang membangkang dan mengingkarinya, tidak ada sedikitpun otoritas dalam diri Nabi SAW untuk menjadikan mereka semua beriman dnegan mengikuti risalah yang telah diembannya. Allah SWT berfirman :
“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah ornag yang berkuasa kepada mereka.” (QS. Al-Ghasyiyah/88: 21-22).
Allah juga mengingatkan kepada Nabi SAW dengan tegas bahwa persoalan hidayah adalah hak prerogative-Nya dan tidak seorangpun bisa mencampurinya. Oleh karena itu, Nabis SAW sekalipun tidak bisa melakukannya walupun pada orang yang dicintainya sebagaimana yang telah terjadi pada kasus Abu Thalib, paman beliau. Dengan kata lain Allah telah merancang manusia benar-benar bebas, sebab jalan yang benar itu sudah sangat jelas sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 256 di atas. Sehingga tidak perlu ada paksaan dalam beragama.
Toleransi Antar Umat Beragama
Islam mengajarkan manusia sebagai makhluk social yang diciptakan berpasnag-pasangan untuk mengadakan interaksi social tanpa melihat jenis kelamin, suku bangsa dan agama. Hal demikian tergambar dalam firman Allah SWT:
“Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. AL-Hujurat: 13)
Berdasarkan informasi ayat ini dapat diketahui bahwa perbedaan jenis kelamin, bangsa dan suku sebagai suatu realitas social. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak boleh dijadikan alat untuk membeda-bedakan manusia sebab kualitas seseorang di sisi Allah SWT hanya ditentukan oleh ketaqwaannya.
Sementara itu, dalam interaksi social yang bersifat duniawi, Islam tidak mendiskriminasikan seseorang lantaran agamanya, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:
لَايَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُو كُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا أِلَيْهِم أِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap ornag-orang yang tiada memerangimu karena agma dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah:8)
Dapat dipahami bahwa al-Qur’an tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan kerjasama, apalagi mengambil sikap tidak bersahabat. Al-Qur’an sama sekali tidak melarang seorang Muslim untuk berbuat baik dengan non Muslim, selama mereka tidak memerangi kaum Muslimin dengan motivasi keagamaan atau mengusir kaum Muslimin dari negeri mereka. Ini artinya, Islam tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin interaksi social. Inilah hakikat dari ajaran Islam sebagaimana dicontohkan oleh Baginda Nabi SAW ketika beliau hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain di Madinah. *