Penulis: Ikrom/Mahasiswa Poltek Jember
Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat Allah, yaitu para Nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan keturunan Ibrahim dan Israil, dan daaro orang yang Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dicakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dan menangis. (QS. Maryam: 58).
Menangis, sebuah aktifitas yang pertama kali kita lakukan ketika kita dilahirkan seiring dengan berpindahnya kita dari alam kandungaannya kea lam dunia. Kita sudah tidak ingat peristiwa penting itu. Sejak kecil tak terhitung sudah berapa kali kita menangis. Menangis merupakan ungkapan kesedihan bisa pula sebaliknya, merupakan ungkapan kebahagiaan. Menangis adalah naluri, fitrah manusia yang sekaligus nikmat dari Allah Swt.
(baca juga: Susah Menemukan yang Halal)
Ada orang yang gampang sekali menangis. Perasaannya sangat sensitive dengan keadaan sekitarnya. Menangis ketika harus berpisah dengan orang yang dicintai, menangis ketika mendengar cerita atau berita yang menyedihkan, menangis tatkala melihat kesengsaraan hidupp orang lain. Sebaliknya, ada orang yang air matanya susah keluar dari kelopak matanya. Kalau pun harus bersedih karena ditinggal seorang yang ia cintai, tapi ia tidak sampai menangis. Bukan karena tidak merasa kehilangan, tetapi karena ia memang susah menangis. Hatinya tidak sepeka golongan sebelumnya. Adapula yang tidak bisa menangis karena memang hatinya keras membaja walaupun ditimpa musibah apapun.
Ketika persiapan perang Tabuk tengah digelar, ada tangisan istimewa yang tidak lazim dari kebiasaan manusia pada umumnya. Perang menghadapi tentara kuat Romawi yang berlangsung saat musim panas ini memaksa setiap sahabat yang ikut untuk memiliki kendaraan masing-masing. Sebab jarak yang begitu jauh, untuk berjalan kaki rasanya tak mungkin. Di atara kaum miskin yang tak punya tunggangan itulah muncul tangisan sesal.
Tangisan mereka ini tentu bukan sembarang tangis. Ini tangisan langka. Di tengah banyaknya orang minta izin tidak ikut berperang, justru mereka bersedih karena tidak bisa bergabung dengan pasukan Islam. Di saat banyak orang takut mati, mereja malah menyesal kehilangan kesempatan untuk mati. Bagi mereka, perang memang bukan momok yang menyeramkan, justru inilah cita-cita tertinggi mereka, syahid di jalan-Nya.
Tangisan iman tidak sama dengan tangisan cengeng. Tangis iman itu terjadi ketika seorang hamba sangat merindukan pertemuan dengan Allah Swt, tangisan pada saat kehilangan kesempatan menjalankan perintah agama. Sedangkan tangisan cengeng terjadi ketika seseorang kehilangan harta yang dicintainya. Allah amat menyukai jenis tangisan yang pertama dan tidak ingin yang kedua.
Selain tangis karena rindu, ada juga tangis karena khusyu’nya hati dalam dzikir kepada Allah. Tangis seperti ini banyak dibahas dalam Alquran maupun sunnah. Tangisan ini tentu saja tidak bisa direkayasa, karena lahir dari pikiran yang bersih dan hati yang bening. Kedudukannya sama dengan tangis iman di atas. Ketika menjelaskan orang-orang yang dipilih Allah menyebut mereka sebagai orang yang senantiasa bersujud dan menangis.
(baca juga : Salihah dengan Taat)
Ada pula tangis bahagia. Tangis jenis ini lahir di saat suasana bahagia yang diselimuti rasa haru, ketika berjumpa dengan orang-orang terinta, berkumpul bersama keluarga dalam suasana hari raya, ketika mendapatkan nikmat besar, kemenangan dalam suatu perjuangan, dan lain sebagainya. Ada juga tangis ikut-ikutan, milik orang yang hanua bisa menangis ketika orang-orang di sekelilingnya menangis. Yang terakhir ada tangisan palsu. Ia mencucurkan air matanya bukan karena Allah melainkan karena manusia, agar mereka menyangka bahwa ia adalah orang ang khusyu’ dalam shalat, tilawah, dan doanya, orang yang mudah tergugah dengan ayat-ayatnya. Sungguh rugi orang yang demikian, menyangka tangisannya berbuah surge, malah sebaliknya mendapatkan murka. Maka sebuah pertanyaan penting, termasuk jenis yang manakah tangisan kita?
Penulis Ikrom mahasiswa Poltek Jember atau redaksi Majalah Nuris.