Islam Rahmatan lil ‘Alamin
Oleh: KH. Muhyiddin Abdushshomad
Tidak seorangpun dapat menyangsikan bahwa kedatangan Nabi Muhammad SAW adalah sebagai rahmat untuk seluruh alam. Sebagaimana firman-Nya: “Aku mengutus engkau (Muhammad) hanyalah sebagai rahmat bagi seru sekalian alam” (Al-Anbiya’: 107)
(Baca Juga: Hukum Mahallul Qiyam Menghormati Nabi Muhammad Saw)
Rahmat yang menyertai kedatangan Nabi Muhammad SAW menghendaki bahwa tuntunan-tuntunan yang beliau ajarkan mengedepankan cara-cara damai dan lunak serta menyulitkan umat manusia. Sedangkan kata lilalamin (untuk seluruh alam) meniscayakan bahwa ajaran Nabi Muhammad SAW pasti sesuai dengan fitrah dan nilai-nilai suci kemanusian serta hukum alam yang berlaku. Adalah sangat mustahil apabila sesuatu yang ditujukan sebagai rahmat bagi seluruh alam, namun pada kenyataannya “laknat” bagi alam. Menjadi radikal dan tidak mau “bersahabat” dengan lingkungan sekitar.
(Baca Juga: Aswaja Sebagai Kritik Sosial)
Prinsip ini berlaku umum kepada pribadi setiap muslim dalam memperlakukan dirinya ataupun dalam memperlakukan orang lain yang sepaham seagama ataupun tidak. Dengan semangat inilah dakwah dan jihad harus diartikan, agar kesan yang Islam yang radikal dapat dihilangkan. Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman:
“Maka berbicaralah kamu berdua (nabi Musa AS dan nabi Harun) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS. Thaha, 44)
Ayat ini menjelaskan tentang perintah Allah SWT kepada nabi Musa AS dan nabi Harun untuk mengajak Fir’aun agar mengikuti jalan Allah SWT. Yang digunakan adalah dengan cara yang halus dan lemah lembut karena cara tersebut akan dapat lebih diterima oleh orang lain. Sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir ketika manafsirkan ayat ini.
“Sesungguhnya dakwah nabi Musa AS dan nabi Harun kepada Fir’aun, adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah.(hal itu dilakukan) Supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah” (Tafsirul Qur’anil Adhim, juz III, hal 206)
Hal ini juga sesuai dengan firman Allah SWT:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu” (QS. Ali Imron, 159)
Sabda Nabi Muhammad SAW:
“Dari Aisyah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT adalah Dzat yang Maha Lemah Lembut, suka kepada kelemah-lembutan, Dan Dia memberi karena perbuatan yang lemah lembut itu apa yang tidak diberikan pada (orang yang berbuat) kasar “ (HR. Muslim).
Itulah beberapa dalil yang menjadi bukti, bahwa dalam Islam, dakwah seyogyanya tidak dilakukan dengan kekerasan tetapi dengan penuh kelembutan dan kasih sayang (rohmatan lil alamin). Berdakwah adalah mengajak seseorang menuju kebaikan, bukan menghakimi atau menghukumi. Dakwah adalah mempengaruhi orang menuju kebaikan untuk mengikuti agama Allah SAW. Hal itu akan lebih mudah terwujud jika melalui pendekatan kejiwaan dengan mengedepankan akhlaqul karimah. Sabda Nabi Muhammad SAW:
Dari Abi Hurairoh RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Engkau tidak akan dapat memuaskan manusia dengan hartamu, tetapi puaskanlah manusia dengan muka yang berseri-seri dan akhlaqul karimah” (Ditakhrij oleh Abu Ya’la)
Mengajak dengan kekerasan, cacian, paksaan, bahkan dengan godaan harta bukanlah ciri seorang mukmin. Di samping tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal, hal itu bertentangan dengan sabda Nabi SAW:
“Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata, “Rasulullah bersabda, “Bukanlah seorang mukmin bila suka mencela, mengutuk, berbuat keji dan suka berkata kotor” (HR. Tirmidzi)
Dengan dakwah yang penuh kasih sayang dan mengedepankan akhlaqul karimah itulah kebenaran ajaran Islam akan merasuk ke dalam hati sanubari para pemeluknya. Sedangkan kekerasan hanya akan mendatangkan kepatuhan yang semu dan permusuhan serta dendam kesumat yang tiada berkesudahan.
Agenda Deradikalisasi Islam
Agenda ke depan adalah bagaimana citra Islam yang saat ini sudah dikotori oleh ulah sebagian kelompok dapat kembali bersih. Kita diharuskan untuk cuci piring untuk membersihkan agama Islam dari noda-noda radikalisme yang menyebabkan Islam menjadi menjadi “makhluk asing” yang begitu menakutkan.
Segenap kemampuan dan metode harus dikerahkan. Sesuai dengan potensi diri yang dimiliki, sehingga misi dakwah tersebut dapat mencapai tujuan secama maksimal. Termasuk dalam hal ini adalah kemampuan merangkai kata dan gegasan ke dalam tulisan.
Berkaca dari sejarah masa lalu, dalam konteks pewarisan ajaran ahlussunnah wal jama’ah, yang selalu mengedepankan ajaran islam rahmatan lil alamin, salah satu kunci utama terjaganya eksistensinya ajaran tersebut adalah karena daya kreasi ulama terdahulu dalam membukukan buah pikirannya hingga dapat dipelajari dan menjadi pegangan generasi berikutnya. Ulama salaf sangat kreatif untuk membukukan buah pikirannya walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana misalnya dengan mengomentari karangan ulama terdahulu menjadi hasyiyah atau matan.
Sangat berbeda dengan madzhab-madzhab semisal al-Nakhai, al-Dzahiri dan lainnya. Madzhab mereka punah karena tidak ada usaha dari para pengikutnya untuk membukukan pendapat imam mereka dalam satu pembahasan yang utuh. Madzhab mereka ada dan berkembang hanya ketika imam madzhabnya masih hidup dan hilang seiring wafatnya para imam tersebut.
Inilah yang akan terjadi kepada ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Ajaran Islam yang selalu mengajarkan kedamaian dan kasih sayang, akan kehilangan gaungnya atau bahkan lambat laun akan punah manakala tidak ada usaha untuk membukukannya. Mempublikasikannya sehingga dapat menguasai dan memberi warna Islam yang damai dan anti kekerasan, baik dalam tataran wacana maupun implementasinya.
Di tengah serbuan berbagai faham radikal yang dengan gencar menerbitkan karya tulis baik bentuk buku, bulletin, selebaran dan lainnya, dampak yang dirasakan cukup besar. Citra Islam terpuruk, seakan Islam adalah seperti yang mereka gambarkan di dalam berbagai media tersebut.
Kondisi seperti inilah yang harus diantisipasi. Perlu ada usaha yang sungguh-sungguh dari segenap elemen untuk memulai menulis, membukukan serta menyebarkan faham Islam rahmatan lil alamin ke seluruh kalangan masyarakat. Sebagai upaya “tandingan” untuk memperbaiki citra Islam yang terpuruk akibat ulah segelintir umat Islam tersebut.
Jika kita kreatif tentu kita bisa membuat tulisan seratus kali lebih banyak dari apa yang telah dibuat oleh kelompok lain. Mereka yang hanya berpedoman kepada tokoh semisal Muhammad Abduh, Ibn Qoyyim, atau imam-imam tertentu, bisa membuat karya tulis yang dapat menguasai seluruh toko-toko buku di tanah air ini, maka kita yang mengikuti pendapat imam dan ulama yang lebih banyak dari kelompok tersebut dengan segudang referensi seharusnya lebih bisa mengalahkan jumlah buku karya kelompok-kelompok tersebut.
Di sinilah keahlian mengolah bahasa ke dalam sebuah tulisan sangat diperlukan. Menuangkan buah pikiran ke dalam tulisan memerlukan keahlian tersendiri, dan itu perlu terus untuk dilatih dan diasah sehingga apa yang disajikan dapat dinikmati oleh semua kalangan. Untuk ini kita semua harus terus berusaha dan belajar agar syi’ar yang rahmatan lil alamin akan terus berkumandang sampai hari akhir.