Gubuk Tua

Penulis:Ira Safiratul Ulum*

*Penulis adalah siswa SMA Nuris Jember. Saat ini dia kelas XI

“Kembalikan Ibuku”, suara itu meraung keras di telingaku, aku terperanjat akan auman mengerikan yang baru saja kudengar. suaranya mengelegar bak suara Guntur bersamaan dengan langit yang menangis. Perlahan kumembuka kelopak mataku. Gelap, tak ada cahaya sepercikpun disini, tanganku terus meraba-raba pada sebuah meja kecil yang seharusnya ada di dekat tempat tidurku, tapi aneh meja itu tak ada. Tangan kecilku terus mencari barang sekitar, aku harap akan ada sesuatu yang dapat kutemukan dan benar kata orang-orang bijak yang mengatakan “ Tak ada usaha yang berakhir sia-sia“. Tanganku berakhir pada sebuah benda kecil seperti sakelar lampu mungkin saja ini tombol penerangnya. Tanpa berfikir panjang aku tekan tombol itu sebagaimana mestinya dan bukan cahaya yang kudapatkan.

Seperti di sebuah dongeng tempat gelap tadi dengan cepat berubah menjadi tempat yang tak pernah aku kunjungi sebelumnya. Hutan yang tak begitu lebat berada di hadapanku sekarang. Suasananya begitu mencekat. Semilir angin berhembus dengan misterius. Bahkan cahaya tak sepenuhnya menerangi tempat itu, sedikit tertahan oleh dedaunan yang rimbun, tak ada seorangpun disini hanya sebuah gubuk tua di seberang sana. Satu-satunya bangunan itu terlihat menyedihkan, kotor dan tak terawat beberapa bagiannya pun sudah ada yang rusak. Mugkin tak ada seorangpun yang mengunjungi gubuk itu. Melihat bangunan yang menyedihkan seperti itu enggan bagiku untuk memasukinya.

Kuputuskan untuk pergi dan mencari orang yang mungkin saja bisa membantuku menunjukkan arah jalan pulang. Namun, belum satu meter aku malangkah pergi langkahku tehenti oleh tangisan yang tiba-tiba saja menyelusup masuk ke telinga. Aku menoleh. Kulihat sosok anak kecil sedang berdiri tepat di depan pintu gubuk yang terlihat miring, anak itu menatapku lekat dengan isak tangis. Kondisinya tak kalah menyedihkan dengan gubuk itu, begitu miris dengan pakaian yang terlihat kumal dan kotor. Melihat kondisinya yang seperti itu rasa ibaku muncul aku berjalan mendekat ke arahnya. “ mengapa kau menangis,? Dimana ibumu,? “ tanyaku setelah kami hanya berjarak beberapa langkah. Namun tak ada jawaban pasti dari anak malang ini, dia terus saja menangis. Terbisu dalam balutan tangis. Aku bingung dibuatnya, entah apa yang harus aku perbuat agar dia berhenti menangis tangisannya benar-benar menggangguku. Aku berniat untuk mencari ibunya, karena ku fikir anak ini kebingungan akan keberadaan wanita yang teramat berjasa di dalam hidupnya itu.

(Baca juga:https://pesantrennuris.net/2017/04/badai-air-mata/)

“Kembalikan Ibuku,” ucapnya lantang. Aku terperanjat mendengarnya, kata-kata itu persis dengan suara yang kudengar di tempat gelap tadi. “Kembalikan Ibuku,” dia mengulangi ucapannya, kali ini tatapannya begitu tajam kearahku. Aku bergidik melihatnya. Tatapannya mengerikan teramat mengerikan melebihi tatapan harimau yang hendak memangsa kancil. Aku berusaha untuk menjauh, kakiku malangkah mundur, semakin mundur menjauh darinya tanpa kusadari sebuah batu besar menghalangiku. Sebuah jurang yang curam bersiap menangkapku, kegelapan kembali menyelimuti. Sunyi, sendiri.

“ Ra, bangun sayang” ibu mengelus lembut ke arah rambutku, kubuka mataku perlahan. Dan benar saja kejadian tadi hanyalah mimpi, petualangan aneh itu hanyalah sebatas bunga tidur. Aku mengelus lega dadaku.

***

Hari ini persis 5 hari setelah mimpi aneh itu, dan selama itu juga hidupku seperti dihantui oleh tatapannya, tangisnya yang membekas jelas dalam pendengaranku. Aku berniat untuk memberitahukannya pada Ibu, setelah mimpi buruk itu aku tak sedikitpun menceritakan pada ibu. Awalnya aku fikir itu hanyalah bunga tidur yang tak pantas bagi publik untuk mengetahuinya. “Bu,..” panggilku ragu. Wanita paruh baya itu menoleh. “ Kenapa sayang,?”dia menghentikan aksinya membaca majalah yang memang telah menjadi rutinitasnya setiap pagi. Aku tercekat, bibirku terasa kelu untuk bercerita. Aneh, aku tak pernah merasa seperti ini sebelumya, bercerita kepada ibu sudah lumrah aku lakukan pada wanita yang memang menjadi pendeng’ar setiaku. “bu, apa Ibu punya anak sebelum kelahiran Rara,” ucapku gelagapan.

(Baca juga:https://pesantrennuris.net/2017/04/revolusi-fitnah-menjadi-hoax-pemecah-persatuan-di-era-kekinian/)

“Kenapa kau bertanya seperti itu.?” Ibu tersentak kaget dengan pertanyaan yang baru saja aku lontarkan. Aku tertegun sejenak. Kembali mengumpulkan tenaga untuk penjelasan yang sejelas jelasnya. “Rara bermimpi bertemu dengan seorang anak kecil di sebuah gubuk, anak itu terus saja menangis tanpa henti” jelasku singkat, kembali kuamati perubahan mimik wajahnya. Ada rahasia yang ibu sembunyikan dariku.“Apa dia kakakku,?” tanyaku lagi. Ibuku diam seribu bahasa, butiran bening terlihat menumpuk di pelupuk matanya. Terlintas sejenak dalam otakku tentang kebenaran dari pertanyaan yang baru saja kutanyakan padanya. Entah, aku kalut akan ribuan tanya dalam benakku. Skenario ini berhasil membuatku terkepung bahkan hampir saja aku menyerah akan kepulan asap tanya. Di tengah teriakan tanya yang membisingi telingaku, Ibu menarik tanganku, tanpa keterangan pasti wanita paruh baya ini melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Air mata terus mengaliri pipi tirusnya, memberi bekas aliran air lara. Aku tetap terpaku pada jalanan, wanita di sampingku ini memecah jalanan dengan begitu cepat, pepohonan di pinggir jalan tampak terpaku pada kejelian ibu yang mengambil alih sopir di balik kemudi. Aku bahkan tak pernah melihatnya mengemudikan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata.

Tak butuh waktu lama dengan kecepatan seperti tadi, jalanan yang panjang mampu ia selesaikan dengan hitungan menit. Kini kami berada di tempat yang persis dengan tempat yang di maksud mimpiku 5 hari yang lalu, tak ada yang beda,semua sama. Gubuk itu, semua yang terlihat seperti serbuah replika nyata. Aku tak bergeming sedikitpun. Ibuku tetap mematung dengan tatapan yang terfokus pada sebuah gubuk tua di seberang sana. “darimana ibu tahu tempat ini,?” kuberanikan diri untuk memecah keheningan. Namun hasilnya nihil ibu seakan menutup semua saluran ditelinganya. Apa yang dia lakukan sama seperti yang dilakukan anak masterius itu, menangis dan terus saja menangis.

“Apa yang kalian lakukan di sini,?”tanya seorang wanita tua yang tiba-tiba saja muncul dari belakang. Dia terlihat sangat lusuh dengan seikat sarung yang ia kenakan, rambutnya, heh yang benar saja tak sedikitpun dari rambutnya yang berwarna hitam. Tatapannya menyelidik ke arah kami, tatapannya seperti polisi yang ingin menangkap seorang kriminalitas.”Apa Ibu tahu 10 tahun yang lalu ada seorang anak kecil yang tinggal di gubuk itu?” Tanya Ibuku getir. “Apa kau Ibu dari anak itu? kalau memang benar, sungguh kau adalah wanita yang kejam segarang-garangnya seekor singa, hewan itu tak akan tega mencakar anaknya. Dan kau lebih buruk dari mereka.” Ungkap wanita itu dengan nada yang keras ke arah Ibuku. “Asal kau tahu selama ini dia menunggumu di balik gubuk itu, berulang kali aku mengajaknya untuk ikut denganku. Namun dengan lantang di menolak ajakanku. Sebab dia takut ketika kau kembali dia tak akan melihatmu. Setiap hari aku selalu menemuinya hanya sekedar memberinya makanan dan baju sisa.

Dia selalu menunggumu di balik gubuk itu, tak peduli akan hujan deras ataupun angin kencang, anak malang itu tetap tak beranjak dari sana. Kemana saja kau selama ini?Dimana kau? Kau menyia-nyiakan seorang putra yang teramat menyayangimu.” Lanjutnya. Mendengar penjelasan dari wanita tua itu ibuku menangis histeris. Dengan cepat ia berlari ke arah gubuk itu mengobrak-abrik isinya. Tak ditemukan yang dicarinya, hanya sepasang baju anak kecil berusia 5 tahu. Pakaian itu terlihat begitu kusam, bahkan warnanya saja tak begitu jelas. Ibu meraih baju itu dan memeluknya erat. Guyuran air mata tak tak henti mengalir, dengan sisa tenaga ia mencoba bertanya kembali kepada wanita tua itu. “di mana dia sekarang kenapa dia tak ada di sini?” “Dia telah berada dipelukan sang khalid, lima hari lalu kami dengan sukarela memakamkannya di balik gubuk ini,” jelas wanita itu. Dengan langkah lemas ibu berusaha menuju kuburan di balik gubuk ini, aku terus membimbingnya. Langkahnya tertatih, baru kali ini kulihat wanita yang telah melahirkanku ini bagai kehilangan separuh jiwanya.

“Ini ada surat untukmu,” ucapnya dengan selembar kertas kusam yang diberikan kepada Ibu.

Seketika halilintar menjerit memenuhi angkasa. Angin lebat seakan ingin menerbangkan pohon-pohon besar di tempat itu. Perlahan langit mulai menangis, isakannya begitu mengerikan. Awan cerah itu menjelma gelap padam tak ada cahaya kehidupan. Ibu terus saja menangis bahkan guyuran air matanya melebihi tangisan jagat raya. Di tengah rintikan air hujan penyesalan masa lalu itu seperti hantu gentayang yang siap bertugas menghancurkan ketenangan.”Asal kau tahu di balik keterbatasan mentalnya, dia punya cinta yang tulus untukmu,” wanita itu menekankan namun kali ini tatapannya terlihat iba tak setajam tadi ketika pertama kali kami melihatnya.

Penyesalan yang dalam juga menggantung dalam dinding benakku. Andaikan saja aku langsungn menberi tahu ibu, mungkin semuanya tidak akan terlambat. Mungkin Ibu akan bertemu dengan anak yang teramat menyayanginya. Mungkin Ibu akan bisa memeluknya untuk yang terakhir kalinya. Mungkin ibu akan memperbaiki semua kesalahannya di masa lampau. Namun sayang tuhan mempunyai skenarionya sendiri. Skenario terbaik dari pembuat skenario yang paling baik.

 

Related Post