Berdzikir Memakai Tasbih

Soal:

Ada beberapa amalan berupa dzikir atau shalawat yang ditentukan bilangannya. Seperti sehabis shalat disunnahkan membaca subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, Allahu Akbar 33 kali, dan la ilaha illallah 100 kali. Demikian pula membaca sholawat nariyah sebanyak 4444 kali. Untuk mencaoai bilangan itu, biasanya orang-orang memakai tasbih. Ada yang mengklaim bahwa menggunakan tasbih itu adalah bid’ah. Sebab tidak pernah ada pada zaman Rasul. Lalu, bagaimana sebetulnya?

Jawab:

Tasbih dalam bahasa Arab disebut dengan al-Subhah atau al-Misbahah. Yaitu untaian utiara atau manik-manik dengan benang yang biasanya digunakan untuk menghitung tasbih (bacaan subahanallah), doa dan shalawat. Dan ternyata pada masa Rasul SAW pemakaian tasbih ini sudah dilaksanakan. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

عَنْ عَائِشَةَ بِنْتِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَنْ أَبِيْهَا : أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى – أَوْ قَالَ حَصًى – تُسَبِّحُ بِهِ ، فَقَالَ : أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ قُوْلِيْ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ بَيْنَ ذَلِكَ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ، وَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مِثْلَ ذَلِكَ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ. (سنن الترمذي، رقم ٣٤٩١)

“Diriwayatkan dari Aisyah binti Sa’d bin Abi Waqqash dari ayahnya bahwa dia bersama Rasulullah SAW pernah masuk (ke sebuah rumah) wanita. Wanita itu memegang biji-bijian atau kerikil yang digunakan untuk (menghitung) bacaab tasbih. Lalu Rasul SAW bersabda, “ Aku ajab nenberitahu dirimu hal-hal yang lebih mudah kamu kerjakan atau lebih utama dari (menggunakan kerikil) ini. Bacalah, “Maha Suci Allah sebanyak bilangan makhluk di langit, Maha Suci Allah sebanyak hitungan makhluk di bumi, Maha Suci Allah sebilangan makhluk antara langit dan bumi, Maha Suci Allah sebilangan sesuatu yang Dia penciptanya, segala puji bagi Allah seperti itu pula (bilangannya), tiada Tuhan selain Allah seperti itu pula (bilangannya), Allah Maha Besar seperti itu pula (bilangannya) dan tidak ada upaya dan kekuatan  melainkan dari Allah seperti itu pula (bilangannya).” (Sunnan al-Tirmidzi [2491])

(baca juga: Mengangkat Jari Telunjuk ketika Tasyahhud)

Dalam hadits lain disebutkan:

عَنْ كِنَانَةَ مَوْلَى صَفِيَّةَ قَالَ سَمِعْتُ صَفِيَّةَ تَقُوْلُ : دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا ، فَقَالَ : لَقَدْ سَبَّحْتِ بِهَذِهِ ، أَلَا أُعَلِّمُكِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ بِهِ ، فَقُلْتُ : بَلَى عَلِّمْنِي . فَقَالَ : قُولِي سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ. (سنن الترمذي، رقم ٣٤٧٧)

“Dari Kinanah mawla Shafiyyah, “Saya mendengar syafiyyah berkata, “Rasulullah SAW mendatangi aku ketika dihadapanku ada empat ribu biji kurma yang aku gunakan untuk bertasbih. Rasulullah SAW kemudian bertanya, “Apakah engkau betasbih dengan biji-biji kurma ini? Maukah engkau aku ajarkan tasbih yang lebih bagus dari yang engkau baca? Saya menjawab, “iya”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “bacalah, Maha Suci Allah SWT sebanyak makhluk ciptaannya.” (Sunan al-Tirmidzi, 3477)

Mengomentari dua hadits ini Imam al-Syaukani menyatakan:

هَذَانِ الحَدِيْثَانِ يَدُلَّانِ عَىَف جَوَازِ عَدِّ التَّسْبِيْحِ بِالنَّوَى وَالْحَصَى وَكَذَا بِالسُّبْحَةِ لِعَدَمِ الفَارِقِ لِتَقْرِيْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

لِلْمَرْأَتَيْنِ عَىَا ذَلِكَ  وَعَدَمُ إِنْكَارِهِ. وَاْلإِرْشَادُ إِلَى مَا هُوَ أَفْضَلُ لَا يُنَافِى الجَوَازَ (نيل الأوطار، ج ٢ ص ٣٣٠)

“Dua hadits tersebut menjelaskan tentang kebolehan bertasbih menggunakan biji kurma dan kerikil begitu pula dengan tasbih, sebab memang tidak ada perbedaan antara itu semua. (kebolehan ini) karena Nabi SAW mengakui dan tidak mengingkari hal tersebut. Sedangkan petunjuk Nabi SAW tentang perkara yang lebih utama itu tidak dapat menghilangkan kebolehan menggunakan tasbih.(Nail al-Awthar juz 2, hal 330).

(baca juga: Mengusap Wajah Setelah Shalat)

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ali al-Qari sebagaimana dikutip Mubarakfuri dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi:

قَالَ القَارِي هَذَا الحَدِيْثُ اَصْلٌ صَحِيْحٌ لِتَجْوِيْزِ السُّبْحَةِ بِتَقْرِيْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُ فِي مَعْنَاهُ إِذْ لَا فَرْقَ بَيْنَ المَنْظُوْمَةِ وَالمَأْثُوْرَةِ فِيْمَا يُعَدُّ بِهِ، وَلَا يُعْتَدُّ بِقَوْلِ مَنْ عَدَّهَا بِدْعَةً (تحفت الأحودي، ج ٩ ص ٥٤٢ )

 “Ali al-Qari menyatakan bahwa hadits ini menjadi dalil yang shahih tentang kebolehan menggunakan tasbih, yakni dengan adanya pengakuan dari Nabi SAW. Karena tidak ada perbedaan antara (menggunakan benda/biji kurma) yang dirangkai atau tidak sebagai alat penghitung. Dan tidak perlu dihiraukan pendapat yang mengatakan bahwa menggunakan tasbih itu bid’ah.” (Tuhfah al-Ahwadzi, juz 9, hal  542)

Bertolak dari pendapat ini, kita bisa memahami bahwa para sahabat menggunakan biji-bijian sebagai enghitung bacaan tasbih dan Nabi SAW tidak pernah melarangnya. Oleh sebab itu, memakai tasbih dalam berdzikir bukanlah Bid’ah sebagaimana yang diklaim  oleh beberapa orang selama ini. Sebab, jika memang penggunaan tasbih itu termasuk hal yang tidak sesuai dengan agama, niscaya sejak awal Rasulullah SAW sudah melarang para sahabatnya untuk memakainya.

Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2010. Fiqih Tradisionalis. Surabaya: Khalista.

Related Post