Maulid Nabi: Antara Tradisi, Keteladanan, dan Persatuan Bangsa
*Achmad Faizal
Pesantren Nuris – Tepat hari Selasa, 20 November 2018, yang merupakan termasuk dalam hari libur nasional, diperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Umat Islam bersuka cita menyambut 12 Robbiul Awwal 1440 H tersebut, sebagai wujud kecintaan kepada Baginda Nabi Junjungan, pembawa syafaat, Muhammad SAW.
Khususnya di Indonesia, berbagai cara kebiasaan masyarakatnya untuk mengekspresikan penghormatan maulid nabi. Di Solo, Jawa Tengah, dikenal dengan tradisi Grebeg Maulud, di Kudus, Jawa Tengah, dikenal Tradisi Kirab Ampyang, di Mojokerto, Jawa Timur, dikenal dengan Karesen, di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dikenal dengan Baayun Maulid, Tradisi Hias Perahu di Tangerang, Jawa barat, dan di Padang, Sumatera Barat, dikenal dengan tradisi Bungo Lado.
Mereka mewujudkan rasa syukur dan kegembiraan atas kelahiran sang pembawa syafaat dengan berbagai cara. Berharap keberkahan, seraya meneladani akhlak Rasulullah melalui sunnahnya. Mengingat kembali sejarah kelahiran, kehidupan, wahyu Allah, mendakwahkan Islam, hingga wafatnya. Barangkali di daerah sekitar Anda, apa nama tradisi Muludan (bahasa Jawa) yang dikenal dalam mengenang kelahiran Khatamun Nabiyyin tersebut?
(baca juga: Pragmatisme; dari Mie Instan hingga Ustazah Nani Handayani)
Sedikit mengutip dari Imam Jalaluddin As Suyuthi, dalam kitab Al Hawi Lil Fatawi:
“Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awwal, bagaimana hukumnya menurut Syara’? Apakah terpuji atau tercela? Apakah orang yang melakukannya diberi pahala atau tidak? Beliau menjawab, “Jawaban menurut saya bahwa asal perayaan mauled nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca Alquran, dan kisah teladan Nabi sejak kelahiran sampai perjalanan hidupnya, kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu pulang. Hanya itu yang dilakukan tidak lebih. Semua itu termasu bid’ah hasanah. Orang yang melakukannyadiberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi Muhammad, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muahmmad SAW yang mulia (Juz 1, halaman 251—252)
Selain itu, Rasulullah selalu merayakan kelahirannya dengan berpuasa, dalam sebuah hadits diriwayatkan, “Rasulullah ditanya tentang puasa hari Senin, maka beliau menjawab, pada hari Senin itulah, aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku” (sahih Muslim: 1977)
Kedua kutipan tersebut juga menampakkan anjuran untuk menyerukan kebahagiaan atas peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Kegiatan lain yang juga biasanya dilakukan dalam maulid Nabi yakni, bersalawat, diba’an, berpuasa, jamuan makanan dengan tetangga, bakti sosial, perayaan publik, pengajian dan lain-lain.
(baca juga: Sumpah Pemuda Milenial)
Semua tradisi dan kegiatan Maulid Nabi yang kini terus dilanjutkan membawa visi keteladanan atas Nabi. Sebagai penyegar ingatan, penabur semangat akhlakul karimah, penyeimbang iman dan rasa sosial yang utuh. Atas faedah kegiatan Maulid Nabi dan anjuran ulama tersebut, sudah selayaknya kita berbahagia dengan suka cita.
Dengan Maulid Nabi, kita berkumpul dengan sanak, tetangga, saling bertegur sapa, berbagi kebahagiaan, menyamaratakan visi persaudaraan, yang lebih besar lagi ini menjadi bekal pemicu persatuan bangsa. Sungguh, Maulid Nabi adalah kebahagiaan milik semua bangsa.
*penulis adalah Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di MA Unggulan Nuris