Pragmatisme; dari Mie Instan hingga Ustazah Nani Handayani

Pesantren Nuris – “Salah satu dampak modernisasi bahwa pemujaan terhadap hasil dan mengabaikan proses adalah ciri budaya pragmatis”

(sumber artikel ini disarikan pula oleh penulis di: Kompasiana.com/Pragmatisme; dari Mie Instan hingga Ustazah Nani Handayani)

Beberapa hari lalu sempat heboh pemberitaan tentang “kekhilafan” Ustazah Nani Handayani dalam acara Syiar Kemuliaan yang ditayangkan oleh Metro Tv. Semula, fatalnya kesalahan penulisan penggalan Alquran Surat Al Ankabut ayat 45 dan Al Ahzab ayat 21 tersebut yang dipermasalahkan netizen. Namun, ternyata berlanjut pada hal krusial terhadap kedalaman penjelasan dan penguasaan topik juga menjadi kecorobohan ustazah yang konon kemudian dikenal sebagai salah satu srikandi terbaik PKS (Partai Keadilan Sejahtera) ini.

Untuk memastikan kehebohan pemberitaan tersebut saya berusaha bersemedi dengan embah Google. Ternyata untuk sekadar profil detail penceramah anyar ini cukup sulit. Hanya pemberitaan, tanggapan berbagai media, tokoh tentang kekeliruannya yang bertebaran di internet. Indikasi kiprah kedaiannya yang rendah secara nasional, atau premature-nya Nani Handayani terjun di dunia penceramah tanpa rekam-jejak layak, atau bahkan memang pengetahuan saya tentang sosok ini yang dangkal. Entahlah…

(baca juga: Pemuda dan Organisasi)

Selanjutnya, ketika saya googling lagi, video ceramah Syiar Kemuliaan yang saya dapatkan terpampang publish pada hari Selasa, 05 Desember 2017. Yang kemudian ramai diperbincangkan setelah postingan akun Twitter atas nama @Rumadi04. Tampak jelas, papan digital bertuliskan kutipan ayat Alquran tersebut salah penulisan. Asumsi siapa yang bertanggung jawab atas kefatalan ini, pihak penyiar kah, atau human eror dalam tim kreatif stasiun televisi kah, mungkin pula total kepada Ustazah Nani Handayani ini?

Bukan masalah mencari kambing hitam atas kesalahan ini. Cuma  tidak habis pikir atas apa yang telah dilakukan Ustazah Nani Handayani terkesan keteledoran yang masif. Soal manusiawi tidak sesederhana itu memandang suatu kesilapan. Ini tayangan televisi nasional yang akan memotivasi, menginspirasi, atau bahkan menyugesti umat muslim. Kekeliruan ini sangat miris di saat kondisi masyarakat kekinian yang terkadang mudah nyinyir, haus figur kharismatik dan cerdas melampauai zaman, dan Islam sebagai trending topik dunia.

(link youtube video Nani Handayani: https://www.youtube.com/watch?v=Owi2DC7zoCc)

Menjadi bahan tertawaan dan seolah Indonesia kekurangan stok penceramah mumpuni. Seiring dengan merebaknya pendai/penceramah dadakan, sebutan ustaz atau ustazah “karbitan”, ulama google dan sebagainya, ini sangat mengkhawatirkan bagi bangsa. Seolah sebutan ustaz/ustazah atau ulama kini terkesan peyoratif dan generatif. Padahal predikat itu sangat mulia sesuai dengan makna dari kata dasarnya dari bahasa Arab yakni, guru atau seseorang yang memiliki kapabilitas keilmuan tertentu, khususnya pengetahuan agama.

Sebelum problematika kasus Nani Handayani ini, tentu jika kita kilas balik bisa mengingat kasus yang menimpa artis yang tiba-tiba ngustad dan sembrono sebab menggiring opini keras karena menyatakan suatu hal di luar kapasitasnya, lihat madinaonline.com dan acara Beritas Islami di Trans Tv (pubilkasi 1 dan 3 September 2015). Terlebih, ini cukup mengundang tawa sumpit, sebab sempat dibandingkan dengan Ahli Tafsir seperti Prof. Quraish Shihab soal kafir-mengafirkan pula. Memperihatinkan.

Tentu momen ini perlu perhatian khalayak dengan kesadaran dan tanggung jawab untuk meluruskan. Tidak bisa berdiam saja, atau hanya sekadar menyalahkan dan menuding kepentingan politik tertentu serta memperkeruh suasana bangsa yang lagi “sakit komplikasi” ini. Ulama yang telah lama bergelut dengan keilmuan dari sumber klasik yang sahih, bertahun-tahun berguru saatnya turun gunung. Saatnya mereka memperluas jaringan dakwahnya melalui media. Demi keselamatan dan kebaikan umat Islam tentunya.

Kembali ke kasus Nani Handayani, atas kesalahan fatal penulisan ayat Alquran yang blunder. Menurut KH Agus Ali Masyhuri, Pengasuh Pesantren Bumi Shalawat Sidoarjo tersebut. “Mengapa mereka yang tidak kompeten ternyata mendapatkan tempat di media, termasuk di media sosial? Karena mereka lebih progresif dan bergerak maju,” (lihat NU online, 06 Des 2017)

Tidak cukup di situ, “Ustazah Nani Handayani bukan saja keliru menuliskan ayat, tapi juga keliru jelasin soal jama’ dan qashar.  Karena tidak paham beda antara jama’ & qashar maka sejak awal penjelasannya berputar-putar gak karuan. Sebaiknya buka kitab fiqh dulu sebelum ceramah,” kata Prof Nadirsyah Hosen atau yang akrab dipanggil Gus Nadir, melalui akun twitternya @na_dirs (05/12/2017) (lihat Dutaislam.com, 05 Des 2017).

Jika sudah begini, sebagai penyampai kalam Allah tidak asal semenjana kapasitasnya. Mereka harus betul-betul mumpuni dan tidak asal camera face saja. Usulan sertifikat pendakwah atau apalah yang terpenting seleksi ketat menjadi perhatian khusus. Dan yang perlu diingat adalah tujuan mulia berdakwah yakni, menyampaikan kabar baik dan buruk semata karena Allah SWT semata. Itu saja, tanpa embel-embel lainnya.

Berdakwah bukan soal menyampaikan saja, keilmuawan dangkal berakibat blunder jika tampil di media profesional. Ini bukan mie instan yang hanya butuh 3 menit direbus lalu meniriskannya dalam piring berbumbu, bisa jadi rasa kaldu ayam, soto, gulai ayam dan sebagainya. Berdakwah  di media professional hanya untuk sosok yang profesional pula bukan? Butuh belajar dan menempa pengetahuan serta pengalaman baru berdakwah.

(baca juga: Harga Sebuah Kekayaan Intelektual, Menulis)

Tetapi apresiasi tetap disampaikan salut kepada “Ustazah” Nani Handayani telah berusaha melaksanakan sunnah Rasulullah yakni, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.” (HR.Bukhari) di luar kefatalan dan kelemahannnya itu. Juga kerendahan hatinya mengklarifikasi kesalahan dan permohonan maafnya. Jadi, tak perlu larut dan menyulut bara atas “kekhilafan” ini. Mari bersikap bijak.

Semoga cukup Nani Handayani yang menjadi “korban” pragmatisme budaya yang mulai menjangkiti bangsa Indonesia. Keterburuan, asal-asalan cepat, diburu waktu dan sebagainya sehingga terlupa betapa proses itu kebutuhan, bukan sekadar hasil yang kasat dan melenakan itu. Menjadi penceramah bukan seperti mie instan seperti temuan asal Jepang, Momofuku Ando pada 1958, yang kini—menjadi—makanan “pokok” sebagian besar bangsa Indonesia.[]

Profil Ustazah Nani Handayani (Sumber informasi: Tribunnews.Makassar.06/12/2017)

  1. Direktur Yayasan Iqro Bekasi

Yayasan Iqro ini berlokasi di Jl Ayat No 78 Jatimakmur, Pondok Gede-Bekasi, Jawa Barat. Yayasan IQRO” adalah lembaga nonprofit yang didirikan pada tanggal 25 Juli 1990. Yayasan bertujuan membantu masyarakat memenuhi kebutuhan keIslamannya, mengembangkan potensi serta kekuatanya, khususnya dalam bidang da’wah, pendidikan dan sosial.

Yayasan ini menaungi sejumlah lembaga;

Lembaga Pendidikan, Lembaga Dakwah & Keumatan, dan Lembaga Ekonomi.
Jumlah karyawan/guru 330 orang.

Dengan jumlah santri

TKIT IQRO’: 145

SDIT IQRO’: 597

SMPIT IQRO’: 165

LTQ IQRO’: 3.261

PTQ IQRO’: 40

 Pembicara di beberapa perkantoran dan Majelis Ta’lim

Mengisi pengajian majelis taklim salah satu rutinitasnya. Kadang dibagi di akun twitternya; Maupun menghadiri kajian keislaman di kantor-kantor

Mengelola perjalanan travel umroh dan haji

 

 

 

Alumni SMA, IKIP, dan Jurusan Tafsir Hadis di Sini

Di profil akun Facebooknya, Nani Handayani mencantumkan latar belakang pendidikannya.

Tamatan SMA Negeri 11 Jakarta, Jurusan Kimia di IKIP Jakarta, Jurusan Tafsir Hadits Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Darul Hikmah, Bekasi.

penulis: Achmad Faizal, Staff Pengajar Bahasa Indonesia di MA Unggulan Nuris

Related Post