Hari Raya, Antara Sunnah dan Syiah


Oleh: M. Fuad Abdul Wafi

Al-Imam al-Dzahabi bercerita dalam kitabnya Siyar A’lam al-Nubala’ juz 15 hlm 374, ketika menulis biografi al-Imam al-Habali, Qadhi atau hakim agama Kota Barqah di Syria. Beliau bernama lengkap Muhammad bin al-Habali. Suatu ketika, Gubernur Barqah datang kepada beliau, dan berkata: “Besok hari raya.” Al-Habali menjawab: “Kita harus menunggu melihat hilal. Masyarakat tidak boleh berhenti puasa dulu. Saya tidak mau menanggung dosa mereka.”

Al-Imam al-Dzahabi bercerita dalam kitabnya Siyar A’lam al-Nubala’ juz 15 hlm 374, ketika menulis biografi al-Imam al-Habali, Qadhi atau hakim agama Kota Barqah di Syria. Beliau bernama lengkap Muhammad bin al-Habali. Suatu ketika, Gubernur Barqah datang kepada beliau, dan berkata: “Besok hari raya.” Al-Habali menjawab: “Kita harus menunggu melihat hilal. Masyarakat tidak boleh berhenti puasa dulu. Saya tidak mau menanggung dosa mereka.”

Gubernur berkata: “Ketetapan besok hari raya, sesuai dengan surat yang datang dari Khalifah al-Manshur.” Pada waktu itu, Barqah masuk dalam otoritas kekuasaan Bani Fathimiyah di Mesir, yang beraliran Syiah Ismailiyah. Dalam pandangan Bani Fathimiyah, hari raya itu ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan ilmu hisab, tanpa melakukan rukyat. Sementara mayoritas umat Islam Ahlussunnah Wal-Jamaah, mengikuti rukyat. Hisab hanya sebagai sarana memudahkan melakukan rukyat saja. Ternyata pada sore itu, hilal tidak kelihatan. Tetapi Gubernur tetap saja melakukan penabuhan genderang sebagai pertanda besok hari raya dan persiapan juga dilakukan.

(baca juga: Abu Bakar dan Umar di Mata Rasulullah SAW)

Karena pada sore itu, hilal tidak berhasil dilihat, al-Habali berkata: “Aku tidak akan keluar untuk menyampaikan khutbah dan tidak akan shalat hari raya besok pagi.” Akhirnya Gubernur memerintahkan orang lain untuk menyampaikan khutbah. Kemudian sikap Qadhi al-Habali yang menolak instruksi tersebut dilaporkan kepada al-Manshur.

Lalu al-Manshur meminta Gubernus agar al-Habali didatangkan ke hadapannya. Setelah berhadapan, al-Manshur berkata kepada al-Habali: “Kamu harus mencari alasan atas tindakannya, agar aku dapat memaafkanmu.” Ternyata al-Habali menolak untuk mencari alasan dan membela diri dari sikapnya itu.

(baca juga: Ayah Nabi SAW di Surga)

Akhirnya beliau dihukum di bawah panas Matahari hingga meninggal dunia karena kehausan. Pada waktu kehausan, beliau meminta air minum, namun tidak boleh dilayani. Lalu beliau disalib di atas kayu, hingga wafat. Beliau meninggal sebagai syahid, karena mempertahankan kebenaran, yaitu berhari raya berdasarkan rukyat, sebagaimana dilakukan oleh mayoritas umat Islam. Para ulama memberinya gelar al-Imam al-Syahid, karena meninggalnya di bawah hukuman penguasa Syiah yang berhari raya berdasarkan ilmu hisab.

Penulis adalah staf pengajar BMK dan Tafsir di MA Unggulan Nuris

Related Post