Oleh: M. Fuad Abdul Wafi
Siwak adalah menggosok gigi dengan kayu arak yang telah kita kenal, atau dengan ujung baju. Siwak hukumnya sunnah dalam setiap keadaan, terutama ketika akan menunaikan shalat, baca al-Qur’an, ketika bau mulut berubah karena lama terdiam, makan makanan yang berefek bau mulut dan atau bangun tidur.
Bagi orang yang berpuasa, siwak tetap disunnahkan, kecuali setelah tergelincirnya Matahari (Matahari bergeser ke arah Barat ketika masuk waktu dhuhur), maka siwak hukumnya makruh.
(baca juga : Meninggalkan Alquran dan Maraknya Suap di Akhir Zaman)
Bagaimana jika seorang yang berpuasa bau mulutnya berubah setelah tergelincirnya Matahari karena tidur atau karena efek makanan seperti bawang? Di sini ada perbendaan pendapat di kalangan ulama. Menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitami, setelah tergelincirnya Matahari hukum bersiwak adalah makruh bagi yang berpuasa, meskipun bau mulut berubah karena tidur atau efek makanan. Sedangkan menurut Imam al-Ramli, apabila bau mulut berubah karena tidur atau efek makanan, maka siwak setelah tergelincirnya Matahari tidak makruh. Pendapat al-Ramli ini juga diikuti oleh Syaikh al-Syarqawi dalam Hasyiyah Tuhfah al-Thullab.
(baca juga: Manusia yang Berkontribusi)
Perlu diketahui bahwa sikat gigi dengan menggunakan pasta gigi tidak sama dengan siwak yang kita bicarakan sebagaimana telah kami bicarakan secara khusus dalam tulisan sebelumnya, bahwa hukumnya makruh bagi yang berpuasa. Wallahu a’lam.
Referensi:
1. Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj juz 1 hlm 223.
2. Syihabuddin al-Ramli, Hasyiyah ‘ala Asna al-Mathalib juz 1 hlm 36.
3. Syamsuddin al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj juz 1 hlm 183.
4. Habib Umar Ba-Faraj Ba-‘Alwi al-Hadlrami, Fath al-‘Ali hlm 831.
5. Ba-Shabrin, Itsmid al-‘Ainain hlm 7.
Penulis adalah staf pengajar BMK dan Tafsir di MA Unggulan Nuris