Penulis: M. Qorib Hamdani*
Mengikuti perintah Kyai,ngalap barakah, mewadahi ilmu yang telah dipelari, berkelana melawan letih, malas, dan lain-lain, semua hal itu dilakukan oleh sejagat santri Nusantara ditempat yang suci dari berbagai etika yang buruk itulah Pesantren.
Tidak sedikit dari kalangan orang tua yang berininsiatif untuk menempatkan anaknya di Pesantren, karena mereka tahu bahwa apa yang telah terjadi di lingkup luar saat ini sangatlah tak karuan dan mengalami perubahan evaluasi moral sebab adanya arus globalisasi yang kini gencar-gencarnya menyebarkan budaya uar kepada bangsa Indonesia. Oleh karena itu beberapa orang tua menempatkan ankanya di Pesantren.
Pesantren merupakan sebuah lembaga yang mentranformasikan nilai-nilai pendidikan dan sifat keteladan di setiap jam, menit bahkan detik untuk mengabdikan dirinya kepada kyai.Kyai mentranformasikan ilmunya kepada santri, begitu juga yang dilakukan oleh santri yaitu menyebarkan atau menerapkan ilmu yang telah diajarkan oleh kyai. Hal ini bisa disebut dengan ekosistem alam yaitu simbiosis mutualisme yang berarti saling menguntungkan satu sama lain.
Lembaga pendidikan dan dakwah dalam bingkai Pesantren pasti tidak akan luput dari peran Walisongo. Menurut Wahjoetomo tentang perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia tidak dapat lepas dari peran Walisongo, karena pada awal abad 15 M, Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) berdakwah dengan cara mendirikan Pesantren di daerah Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Konon, Syekh Maulana Malik Ibrahim mengadopsi cara pandita dalam mendidik para cantriknya.
Seiring berjalannya waktu dan zaman, Pondok Pesantren mulai tertata rapi semenjak Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) mendirikan Pesantren di daerah Ampel Denta Surabaya.Murid Raden Ali Rahmatullah saat itu salah satunya adalah Raden Paku (Sunan Giri) dan Raden Makdum yang kini telah sukses dan menjadi ulama’ terkenal.
(Baca juga: Harapan dan doa mengalir di milad yang ke-38 Pesantren Nuris Jember)
Mendefinisikan tentang Pondok Pesantren jika diartikan secara etimologi menurut Zarkasyi berasal dari kata “santri” yang mendapat imbuhan “pe” dan “an” yang menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang pula pesantren dianggap sebagai gabungan dari kata ”santri” (manusia baik) dengan suku kata ”tra” (suka menolong) sehingga kata pesantren dapat diartikan tempat pendidikan manusia baik-baik.
Dalam sudut pandang terminologi menurut Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) mendefinisikan pesantren sebagai lembaga tafaqquh fi al-dîn yang mengemban misi meneruskan risalah Muhammad Saw sekaligus melestarikan ajaran Islam yang berhaluan Ahlu al-sunnah wa al-jama’ah ala Tariqah al-Mazahib al-Arba’ah.
Komponen Pesantren sebagai media pendidikan
Ilmu merupakan sesuatu yang wajib kita miliki, sebagaimana dalam hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah yang berbunyi “mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”. Rasulullah mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu, karena dengan ilmu seseorang bisa berkarya dan beribadah lebih sempurna. Juga, ilmu bisa menyelamatkan seseorang dari kefakiran dan kebodohan.
Hadirnya Pesantren bagi pribmumi Nusantara sangatlah berarti, yaitu sebagai media lembaga pendidikan ilmu sekaligus menjadi lembaga pendidikan karakter. Banyak pemerintah yang memakai cara atau strategi yang ampuh untuk bisa meluluhkan hati seseorang yang awalnya sangat keras atau sangat sulit untuk diatur menjadi lemah lembut seperti seorang bayi yang terlahir dengan kasih sayang seorang bunda. Diantaranya yang telah dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan perombakan kurikulum dari KTSP 2006 menjadi K13, dan juga pemerintah menggunakan system Full Day School yang diatur dengan sangat prihatin, agar mampu membentuk atau merubah karakter seseorang menjadi pemuda Indonesia yang tangguh dan mandiri.
Tentang keilmuan Pesantren sudah tak diragukan lagi, karena pada saat ini Pesantren selalu mendapat apresiasi dari golongan kiri. Pasalnya, ketika santri boyong (keluar) dari Pesantrennya, kerap kali ditunjuk untuk dijadikan pemimpin dan dipercayai terutama dalam bingkai religius di tempat tinggalnya. Lebih dari itu, paradigma Pesantren masa kini telah berubah menjadi ruang terbuka oleh dunia modern yang kian ramai di lingkup luar.Sebelum Pesantren menjadi ruang terbuka untuk dunia teknologi, dulunya santri dikenal sebagai orang yang kolot.Namun saat ini perkataan atau klaim semacam itu seakan telah memudar dengan iringan waktu yang kian berputar cepat oleh perubahan zaman.Buktinya pada akhir-akhir ini banyak para santri yang menjuarai lomba international, mulai dari bidang sains, robotik, agribisnis dan lain-lain.Hal ini bisa kita jadikan argumen atau hujjah bahwa santri yang mempelajari ilmu agama bisa mengkolaborasikan dengan ilmu umum bahkan bisa bersaing sekolah-sekolah elit lainnya.
Memang benar apa yang telah dikatakan oleh Gus Irwan Masduqi selaku Pengurus Lakpesdam PBNU bahwa santri harus menguasai ilmu pengetahuan secara kompherensif atau tidak dikotomi terhadap ilmu pengetahuan. Sebab sesungguhnya segala ilmu pengetahuan bersumber dari Al-Quran.Santri seharusnya menguasai ilmu secara kompherensif agar dapat mempertahankan keilmuan.
Bagi santri yang belajar dan mengabdikan dirinya di Pesantren lalu boyong, kebanyakan sukses dalam menempuh hidupnya di luar, contohnya adalah Wakil Presiden saat ini yaitu KH Ma’ruf Amin.Beliau adalah salah satu yang pernah mengarungi ilmu dan mengabdikan dirinya di Pesantren, tapi lihatlah beliau bisa menempati jabatan yang startegis dan masih banyak lagi alumnus Pesantren yang menempati jabatan strategis lainnya.
Mengapa dari contoh diatas banyak alumnus Pesantren yang menempati jabatan strategis?Apakah ada rahasia kesuksesan dalam pendidikan Pesantren? Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi suksesnya pendidikan pesantren:
Integrasi SQ,EQ,dan IQ yang mumpuni
Kecerdasan manusia dibagi menjadi tiga kategori, kecerdasan spiritual (SQ), kecerdasan spiritual EQ, dan kecerdasan intelektual IQ. Kesuksesan manusia terletak pada tiga kategori kecerdasan tersebut, namun jika manusia hanya berbekal kecerdasan intelektualnya saja, mungkin seseorang tidak akan sukses. Benar apa yang ditulis oleh Daniel Goleman dalam bukunya Emotional intellegence bahwa kontribusi IQ dalam bingkai kesuksesan hanya sekedar 20%. Kesuksesan bisa diraih apabila seseorang mampu mengkolaborasikan atau mentribusikan ketiga kecerdasan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Evaluasi moral para pemuda Indonesia akhir-akhir ini sangatlah merosot.Salah satu contohnya adalah seorang siswa menampar gurunya.hal tersebut menjadi peringatan keras bagi Indonesia terutamanya dalam konteks pendidikan. Namun apabila diruntut permasalahannya, sumber dari semua problematika semua ini adalah lemahnya karakter akhlaq pada diri siswa atau bisa disebut dengan Emotional Question EQ.
Strategi sebuah Pesantren untuk mendidik santrinya adalah dengan menekankan pentingnya moral. Dalam kehidupan sehari-hari para santri dilatih untuk menambah atau meningkatkan evaluasi akhlaqul karimah sebagai bekal masa depan. Bukti yang konkret tentang hal ini adalah tercerminnya dari perilaku santri yang mengutamakan rasa saling tolong menolong dan bekerja sama. Slogan santri di Pesantren adalah bahwa sikap lebih penting dari pada kecerdasan.
Bukan hanya mengajarkan tentang Emotional Question tapi Pesantren juga mengajarkan spiritualitas dalam setiap jam, menit, bahkan detik aktivitas yang dilakukan oleh santri. Beberapa fakta yang konkret hal ini adalah bahwa santri tidak pernah meninggalkan sholatnya meskipun setiap harinya digandrungi oleh kesibukannya.
Ary Ginanjar memaparkan sebuah argumen dalam hasil observasi pengetahuan yang nyata dalam bukunya Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual bahwasannya Spirtual Question adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan atau menjalankan Intelektual Question dan Emotional Question secara efektif. SQ merupakan model yang penting untuk bisa menggapai kesuksesan di masa mendatang.Perlu kita ketahui bahwa tiga kategori kecerdasan yang paling tinggi adalah Spiritual Question.
(Baca juga: 1 Agustus Pesantren Nuris Peringati Hari Scraf Se-dunia)
Tidak terkontaminasi dengan dunia luar
Paling baiknya seseorang dalam mencari ilmu adalah tidak ada kontaminasi dengan sesuatu yang bisa menyebabkan kita terhambat untuk belajar, terutamanya pada lingkup luar. Mengapa para pencari ilmu tidak boleh berkontaminasi dengan lingkup luar? Karena lingkup luar adalah paling buruknya moral. Saat moral kita rusak otomatis otak kita juga akan ikut pada apa yang kita lakukan, karena yang menggerakkan anggota tubuh seseorang adalah otak, sedangkan otak adalah tempat titik kedua setelah hati yang akan menggerakkan semua anggota tubuh kita, dan otak juga berhubungan atau bekerja sama pada hati yang akan menghasilkan sebuah kesepakatan yang akan dilakukan oleh angoota tubuh.
Awalnya dunia luar adalah lingungan yang sangat indah, namun semenjak arus globalisasi datang, paradigma globalisasi dengan gencar-gencarnya menyebarkan beberapa budaya barat yang tak pantas ditiru oleh pribumi Indonesia. Beberapa contoh yang telah dibawa oleh globalisasi diantaranya: merajalelanya narkoba, pergaulan bebas, kenakalan remaja, dan lain-lain.
Akan tetapi semenjak hadirnya Pesantren, seorang pencari ilmu bisa mengarunginya di tempat yang telah meyediakan beberapa sumber kebutuhan manusia sebagai alat untuk belajar.Maka dari itu Pesantren sebagai tempat berladang untuk mencari ilmu, dan diharapkan bisa memfunsikan dengan kondisi zaman yang telah berubah menjadi seraba modern. Santri juga diawasi penuh oleh kyai dan pengurus Pesantren, sehingga bisa dikontrol dan dilindungi dari pengaruh negatif di atas.
Barakah
Sesuatu yang abstrak, tak bisa dirasakan dengan akal namun bisa dirasakan oleh hati, tak bernilai di mata memandang, tak bisa diprediksi keberadaanya, itulah barakah yang ada pada tempat yang tak disangka keberadaannya.
Sebagai seorang santri pasti paham dengan apa yang dinamakan barakah apalagi dalam dunia Pesantren yang telah populer bagi kalangan santri. Secara singkat, KH. Thantowi Djauhari sebagai Rais Syuriah PCNU Garut mendefinisikan barakah sebagai sesuatu yang membawa kebaikan atau bisa disebut sebagai istilah bahasa arab yaitu jalbul khair.
Santri yang paham akan barakah pasti akan mencari keberadaan barakah tersebut, pelbagai cara dilakukan oleh santri demi mendapat barakah dari Sang kyai. Mulai dari menata terompah kyai, membersihkan lingkungan, membersihkan kamar mandi kyai, dan masih banyak lagi yang dilakukan oleh santri untuk mendapatkan barakah.
Pondok Pesantren dengan sistem pendidikan yang seimbang (SQ,IQ, dan EQ) dan diiringi dengan barakah, membuat para santri semakin mudah untuk mewadahi ilmu yang telah diajarkan di Pesantren. Hal ini telah menjadi bukti nyata atau konkret dengan alumnus Pesantren yang menjadi panutan di tempat tinggalnya masing-masing.
Konsep Pesantren Sebagai Media Dakwah
Agama Islam masuk ke pulau Jawa kira-kira sejak abad ke 7 M. Waktu itu saat khalifah Utsman bin Affan mengirimkan delegasi yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abi Sufyan ke Jawa Tengah yang masih dalam naungan Ratu Sima. Strategi atau cara ini menarik perhatian Jay Sima dan pada akhirnya masuk Islam. Lalu selang beberapa lama kemudian para saudagar muslim dari Arab makin banyak yang datang ke Jawa Tengah untuk berdagang dan juga diselingi untuk berdakwah menyiarkan agama Islam.
Walisongo sebagai penyebar Islam secara berturut-turut menyebarkan Islam di beberapa Pulau tertentu. Diantaranya yang ikut menyebarkan agam Islam di Jawa yaitu Syaikh Jumadil Kubra, Maulana Maghribi dan lain-lain. Startegi yang digunakan dengan cara membumi menghasilkan percepatan penyebaran Islam di Jawa. Kemudian lahirlah beberapa kerajaan Islam di Nusantara, seperti kerjaan Ternate, Sumatra, Kalimantan, dan lain-lain.
Akselerasi penyebaran Islam oleh Nusantara disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
Pertama, Islam sangat menjunjung tinggi egaliterianisme, karena Islam adalah agama yang adil. Maka dari itu banyak orang-orang yang masuk Islam karena tidak membeda-bedakan pangkat atau menyelaraskan semua umat islam.
Kedua, para Ulama’ penyebar Islam di Nusantara adalah penganut faham ahlusunnah waljamaah.umumnya mereka memiliki pemikiran yang moderat dan arif, sehingga pada akhirnya pola pikir yang seperti itu menjadi pola dakwah yang kompromsitif, dan memperhatikan gradasi yang memperkecil tingkat kesulitan.
Ketiga, Islam adalah agama yang rahmatan lilalamin dengan itulah, cara penyebaran Islam dipolakan. Sebagaimana sifat Islam tersendiri. Penyebaran itu dilakukan secara damai dan menghormati tradisi nilai-nilai yang sudah berkembang di masyarakat. Sedangkan tradisi yang salah menurut ajaran islam, para Ulama’tidak langsung menolak atau membantah secara keras melainkan menggunakan cara yang argumentatif, lalu tradisi itu diluruskan secara bertahap, sedangkan tradisi yang tidak bertentangan dibiarkan keberadaannya dengan diberi nafas nilai-nilai keislaman.
Dalam Islam posisi dakwah sangatlah urgensi atau penting karena dakwah merupakan kegiatan untuk merubah masyarakat agar mengikuti perintah Allah, mengajaknya seorang da’I (pendakwah) kepada masyarakat adalah konteks ajakan secara langsung dalam pembentukan rekontruksi sosial untuk didesain dan dipolakan oleh ajaran islam serta mentranformasikan nilai-nilai atau syariat Islam kepada masyarakat, sehingga tercapailah pembentukan masyarakat yang sesuai apa yang Allah inginkan.
Kini eksistensi telah memudahkan untuk menyebarkan agama Islam. Penyebaran Islam di Pesantren adalah seorang kyai yang menjadi panutan bagi para santri. Setelah beberapa lama kemudian, santri boyong dan membawa beberapa ilmu yang telah didapatkan ketika di Pesantren. Lalu santri menyebarkan di masyarakat yang masih minim akan religius. Namun apakah yang dimaksud dengan dakwah?
Menurut beberapa ahli bahasa mengemukakan bahwa dakwah secara terminologi adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemashlahatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.Apabila diartikan secara etimologi dakwah berasal dari kata da’a yad’u da’watan yang artinya mengajak atau menyeru.
Dakwah merupakan rekontruksi sosial untuk dipolakan oleh ajaran Islam serta mentranformasikan nilai-nilai religius kepada masyarakat, sehinga Islam bisa mencapai pada tujuannya yaitu pembentukan masyarakat.
Secara global tujuan dari dakwah adalah bidikan perilaku agar mau menerima ajaran Islam dan agar bisa mengamalkannya sehingga menjadi tatan hidup yang lebih baik, mulai dari pribadi, keluarga, maupun masyarakat. Menurut Asmuni Syukir dalam karyanya yang berjudul “Dasar-Dasar Strategi Islam” menyatakan bahwa tujuan dari dakwah adalah mengajak umat manusia kepada jalan yang benar dan diridhoi oleh Allah SWT agar dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia dan di akhirat.
Agar dakwah bisa dipahami dan menarik hati para audience seharusnya da’i dapat menghadirkan kegembiraan dan solusi hidup, seperti yang telah difirmankan oleh Allah SWT dalam QS. an-Nahl ayat 125 yang artinya “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Penafsiran ayat di atas menurut Tafsir Al-Muyassar mengatakan bahwa Allah memerintahkan Rasul untuk mengajak pribumi kepada Islam dengan cara yang sesuai dengan kondisi audience, mulai dari pemahaman dan ketundukannya melalui jalur nasehat yang mengandung motivasi dan peringatan. Jika dakwah menghasilkan debat maka Allah menyuruh untuk berdebat dengan baik mulai dari dimensi perkataan, pemikiran, dan pengkondisian. Allah menyuruh kepada Rasul untuk berdakwah bukan memberi hidayah. Sesunggunya Allah lebih mengetahui siapa yang tersesat dari agama Islam dan Allah tahu siapa yang mendapat petunjuk.
Ajaklah wahai Rasul kepada agama Islam, kamu dan orang-orang beriman yang mengikutimu dengan cara yang sesuai dengan keadaan objek dakwah, pemahaman dan ketundukannya, melalui nasihat yang mengandung motivasi dan peringatan, debatlah mereka dengan cara yang lebih baik dari sisi perkataan, pemikiran dan pengkondisian. Kamu tidak bertugas memberi manusia hidayah, akan tetapi tugasmu hanya menyampaikan kepada mereka.
Sesungguhnya Rabbmu lebih mengetahui siapa yang tersesat dari agama Islam dan Dia lebih mengetahui siapa yang mendapatkan petunjuk, karena itu jangan sia-siakan dirimu dengan kesedihan mendalam atas mereka.
Benang merah dari beberapa rangakaian beberapa kata tersebut adalah Pesantren bukan hanya sebagai tempat mengarungi ilmu religius akan tetapi Pesantren juga sebagai tempat media dakwah dan pendidikan bagi santri yang akan meneruskan perjuangan para Ulama’ dan pahlawan untuk mewujudkan bangsa yang lebih baik.
Penulis merupakan siswa kelas XI PK MA Unggulan Nuris yang aktif di ekstrakurikuler jurnalistik